"Sayang ... bisa ya?" rayu Ana kesekian kalinya.
Sudah seminggu ini Ana mencoba membujuk kekasihnya Beni untuk menghadiri acara ulang tahun mamanya, tapi usahanya tetap saja sia-sia. Meskipun dari awal dia sudah menyiapkan hatinya untuk jawaban yang akan keluar dari mulut kekasihnya, tetap saja rasa kecewa itu masih ada.
Dia berlagak baik-baik saja di depan Beni, dan sialnya Beni mempercayainya.
Hubungan mereka seperti jalan di tempat, sama sekali tidak ada kemajuan. Walau sudah tujuh tahun mereka berpacaran, tapi satu sama lain belum juga sama-sama saling memahami. Setidaknya, itu yang dirasakan Ana.
Beberapa tahun belakangan ini, Beni selalu menolak diajak bertemu oleh kedua orang tua Ana, bahkan Ana lupa apa saja alasan dari kekasihnya itu karena saking banyaknya.
Berawal dari acara ulang tahun mamanya yang keempat puluh empat tepatnya di tahun kelima mereka berpacaran, waktu itu Ana mengajak Beni untuk hadir, tetapi tanggapan kedua orang tua Ana memang sungguh di luar ekspektasi. Mereka, papa dan mama Ana yang biasanya ramah mendadak jadi orang yang paling menyebalkan, bahkan mamanya sampai meninggalkan acara demi menghindari Beni.
Itu cukup aneh, sebab sebelumnya keluarga Ana mendukung sekali hubungan mereka berdua.
"Aku enggak bisa, An."
Ana menyipitkan kedua matanya mencoba peruntungan siapa tahu dia bisa membaca pikiran sang kekasih, tapi dia lupa dia bukanlah seorang yang mempunyai kekuatan untuk hal semacam itu.
"Mau kamu mereka membahas gaji, bibit, bebet, bobot aku lagi?"
Bahu Ana lemas seketika mendengar alasan terbaru dari sang kekasih. Alasan klasik yang selalu berubah-ubah di setiap tahunnya.
"Sayang, mereka cuma bertanya sama kamu."
Ana tidak akan pernah patah arang berusaha meyakinkan kekasihnya agar bisa mendengarkan dirinya. Kali ini saja.
Permintaan dia cukup mudah sebenarnya, dia tidak pernah menuntut apa-apa kepada Beni, yang dia ingin hanya laki-laki itu menghadiri acara ulang tahun mamanya, itu saja tidak lebih. Lagi pula juga tidak setiap hari Ana mengajaknya untuk menemui orang tuanya, tapi kenapa sulit sekali diwujudkannya.
Beni bergerak kelimpungan mencari kata-kata yang pas agar dia tidak harus bertemu dengan orang tua Ana. "Mereka enggak suka sama aku An, bahkan mama kamu enggak mau nemuin aku.”
Ya, bukankah itu alasan yang paling tepat?
"Makanya ayo usaha, meyakinkan mereka Ben, aku butuh usaha kamu ... kita bujuk mereka sama-sama, ya, Ben? Please ...," mohon Ana.
"Aku hanya karyawan kantoran biasa Ana, ayahku cuma pegawai PNS biasa, dan ibuku hanya ibu rumah tangga, dari mananya aku bis--"
"Beeen!"
Yang Ana harapkan adalah usaha Beni untuk meyakinkan kedua orang tuanya, juga untuk meyakinkan dirinya agar Ana yakin jika Beni benar-benar mencintainya, benar-benar mau memperjuangkan dirinya, itu saja. Karyawan biasa? Apa-apaan si Beni ini, memang dia pikir orang tuanya sematre itu apa?
Ana beranjak dari duduknya, ia menyerahkan kunci mobil miliknya kepada Beni. "Jam makan siang kamu sudah habis, kan sayang? Ayo..." Lebih baik ia memikirkan cara lain untuk membujuk Beni. Beni benar-benar sama keras kepalanya seperti dirinya.
Beni melepas seat belt-nya, mencium kening Ana tanpa banyak berkata-kata lagi, lalu akhirnya beranjak keluar. Ada jarak di antara mereka, tentu saja dan itu cukup bisa dilihat oleh Ana.
Ana selalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Apakah hubungan mereka terlalu lama? Sehingga bisa jadi Beni mulai merasa bosan dengan dirinya. Hal lain yang lebih mengerikan lagi adalah jika Beni memiliki kekasih lain karena hubungan mereka yang semakin lama semakin membosankan ini. Sebab dua tahun ini kekasihnya itu seperti menjaga jarak dengan dirinya, tidak salah kan dia berpikiran hal-hal semacam itu?
Ana menghela napas berat. "Apa yang harus aku lakuin?" Tentu saja ia hanya bisa berbicara dengan dirinya sendiri.
Ana ingin beralih ke kemudi ketika dilihatnya dompet Beni tertinggal di bangku sopir. Ia memutuskan untuk menyusul kekasihnya.
Ia mencoba menelepon kekasihnya setiba di kantor, berharap Beni akan segera keluar menemuinya.
"Ada yang bau, tapi bukan kotoran."
Ana menoleh ke sumber suara. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi di sampingnya.
"Tapi apa ya? Perasaan gue tadi sebelum berangkat ngantor sudah mandi kembang tujuh rupa deh," ucap laki-laki itu lagi.
Ana memutar bola matanya jengah, mengetik pesan ke pada Beni. Ia berniat akan berbalik menuju ruang tunggu, menunda keinginannya masuk ke dalam lift. Dia tidak ingin repotrepot berurusan dengan manusia paling menyebalkan itu lagi.
“Ini gantungan kunci siapa sih? Bentuknya abstrak gini ... ini tikus?”
Ana menghentikan langkah kakinya ketika kata “tikus” lewat di telinganya. Begitu berbalik, ia melihat laki-laki itu sedang asyik memutar gantungan kunci keberuntungannya di udara.
Buru-buru Ana berjalan mendekat, dan dengan gerakan kilat ia pun berhasil merebutnya.
“Ini kelinci bukan tikus! Gak lulus TK, ya lo?” sinis Ana.
Laki-laki itu tersenyum, karena akhirnya umpannya termakan juga.
“Itu sih lebih mirip tikus dari pada seekor kelinci. Masih lo simpan aja gantungan kunci tidak berfaedah itu?”
Ana menggertakkan gigi menahan amarahnya. Ia jadi teringat di masa lalu saat laki-laki itu sengaja menyembunyikan gantungan kunci miliknya di saat ujian akan berlangsung, padahal dia tahu jika gantungan kunci itu adalah gantungan kunci keberuntungannya. Alhasil, dia gagal pada ujian yang paling ia kuasai di pelajaran olahraga dan itu gara-gara makhluk satu itu.
"Ada perlu apa lo ke kantor gue, kangen?"
Memejamkan mata buru-buru, Ana berjalan mendekat ke arah laki-laki itu, lalu dengan gerakan kilat menjepit mulut Keenan dengan tangan kanannya sambil menggertakkan giginya gemas. Bukan gemas karena Keenan lucu melainkan gemas saking menyebalkannya wajah laki-laki itu.
Laki-laki itu melotot tidak siap dengan serangan lawan. Begitu tersadar ia pun segera menampik tangan Ana.
Ana melipat tangan di dadanya, mundur satu langkah, memandangi musuh bebuyutan semenjak zaman duduk di bangku SMA dulu. Namanya Keenandra Bagaskara. Ia mengamati lagi laki-laki yang ada di depannya itu dari atas hingga bawah.
Laki-laki ini memang tidak banyak berubah. Kulitnya masih putih bersih, tampak tidak ada cela, mungkin yang tercela hanyalah kelakuannya saja. Kedua mata yang bulat indah, bulu mata yang masih lentik, bahkan lebih lentik dari dirinya. Hidung yang masih mancung, dan juga ada sedikit bekas luka di pipi kirinya yang masih Ana ingat dengan jelas tapi dia tidak tahu karena apa sebabnya.
Meskipun sejak kelulusan dulu Ana baru bertemu dengan dirinya hari ini, tidak ada perubahan dari laki-laki ini. Hanya perawakannya saja sekarang menjadi seperti laki-laki dewasa pada umumnya apa namanya ya? Lebih matang mungkin.
"Lo nyumpahi gue?" tanya laki-laki itu sinis.
Is, casingnya saja yang dewasa, mulutnya ternyata masih sama, sama-sama mengandung cabai dan mengundang untuk dia tampol.
Perlu diingat juga jangan sampai tertipu oleh tampang polosnya, sebab semua itu hanyalah tipuan mata semata. Sekali senyum songongnya keluar, dan sekali juga ia berucap maka orang waras bisa masuk rumah sakit saking pedasnya. Ana yakin sifatnya masih sama bocahnya seperti dulu.
"Uda sono lu ... hus ... hus ...," usir Ana.
Ana mendorong bahu Keenan. Menjauhinya adalah ide yang paling brilian sebelum dia sendiri yang terkena strok di usia muda akibat berdekatan dengan laki-laki itu.
Ting....
Pintu lift terbuka, muncul Beni yang sempat kaget karena melihat Ana yang terlihat tampak akrab dengan seseorang yang ia kenal sebagai teman satu divisinya.
Satu jam lagi harusnya Ana sudah ada di kantor, tapi walau sudah rapi siap untuk berangkat dia masih harus menunggu waktu yang tepat supaya bisa keluar dari kamar dengan aman. Sudah dua minggu ini ia menghindari orang rumah, berangkat kerja sepagi mungkin dan pulang saat penghuni rumah sudah tertidur. Sayangnya hari ini ia bangun kesiangan, jadi semoga saja ia tidak harus berpapasan dengan sang mama. Ia melihat jam di pergelangan tangan miliknya, membuang napas saat angka tujuh muncul dari dalam sana. Mengendap-endap ia memberanikan diri keluar dari kamar miliknya, bibirnya mulai bergerak membentuk senyuman saat ia berhasil melihat pintu gerbang rumahnya. Akan tetapi ternyata dia terlalu cepat untuk berbahagia, sebelum dia dapat menggapai pintu gerbang rumahnya suara sang mama membuyarkan rencananya. "An, ke sini sebentar Mama sama papa mau ngomong sama kamu," panggil sang mama dari belakang sana. Ana membeku sampai saat mama memegang tangan dan menuntun diri
Ana menopang dagu, menoleh ke arah jendela di samping ia duduk, menatap lalu-lalang orang-orang dari dalam kafe, lalu mendial nomor atas nama Cika. Sahabat sejak SMA-nya dulu. "Hey!" Belum sempat ia menelepon, sahabatnya itu sudah muncul di hadapannya. Kebiasaan baik Cika adalah tepat waktu, bertolak belakang dengan dirinya yang dari zaman SMA seringnya datang paling akhir. Ana merasa jika di dunia ini semuanya tepat waktu, maka dunia jadi terasa tidak asyik, maka Analah yang harus berbaik hati melengkapi dunia itu. Tidak ada pilihan lain, kan? Ya, tentu saja itu hanyalah dalih dari Ana saja. Cika tersenyum cantik dan mengambil tempat duduk tepat di hadapannya. Anggun sekali, waktu benar-benar berlari begitu cepat. Cika teman sebangkunya yang sering berlari dengan rok dijinjing, kini sudah menjabat sebagai direktur salah satu perusahaan fashion terbesar di Jakarta. Ana menjadi salah satu desainer juga yang bekerja di dalamnya. "Sorry b
Keenan melihat Ana dari kejauhan, sempat terbengong beberapa detik melihat tampilan wanita itu yang tidak biasa. Wanita itu berdandan dan memakai kebaya. Dia tidak menyangka, jika Ana bisa melakukannya. "Kenapa lo bawa ransel gede gitu?" tanya Keenan begitu sampai di tempat mereka janjian. Ia merasa aneh dengan ketidak sesuaian tampilan dari wanita yang ada di depannya itu. "Kenapa lo baru sampai? Ini sudah satu jam tahu, gue nunggu!" serbu Ana tidak berniat menjawab pertanyaan dari Keenan. Lagi pula, mau Ana pakai ransel atau tas karung beras juga bukan urusan dia. "Lonya aja yang kegirangan mau ketemu gue jadi lo sengaja, kan datang tepat waktu? Biasanya juga lo lelet." "Gue lebih tepat waktu dari pada lo!" balas Ana penuh emosi. Ia lalu berdehem, memandangi tampilan laki-laki di hadapannya. Jika dilihat-lihat tampilan mereka agak ... begitu mirip. "Lo habis kondangan? Klimis amat," sindir Ana saat melihat tampilan Keenan yang juga t
Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain. Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini. Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui. Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terja
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa,
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. B
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. "Terus kamu nyuruh aku pak
"Cik mau makan di sini yakin lo?" Cika mengangguk sambil tersenyum. Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman. "Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?" Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya. Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"