Ana menopang dagu, menoleh ke arah jendela di samping ia duduk, menatap lalu-lalang orang-orang dari dalam kafe, lalu mendial nomor atas nama Cika. Sahabat sejak SMA-nya dulu.
"Hey!"
Belum sempat ia menelepon, sahabatnya itu sudah muncul di hadapannya.
Kebiasaan baik Cika adalah tepat waktu, bertolak belakang dengan dirinya yang dari zaman SMA seringnya datang paling akhir. Ana merasa jika di dunia ini semuanya tepat waktu, maka dunia jadi terasa tidak asyik, maka Analah yang harus berbaik hati melengkapi dunia itu. Tidak ada pilihan lain, kan? Ya, tentu saja itu hanyalah dalih dari Ana saja.
Cika tersenyum cantik dan mengambil tempat duduk tepat di hadapannya.
Anggun sekali, waktu benar-benar berlari begitu cepat. Cika teman sebangkunya yang sering berlari dengan rok dijinjing, kini sudah menjabat sebagai direktur salah satu perusahaan fashion terbesar di Jakarta. Ana menjadi salah satu desainer juga yang bekerja di dalamnya.
"Sorry babe, ada meeting mendadak tadi," tutur Cika polos.
Ana mengernyit, terlambat? Ini karena dia saja yang datang lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan.
"Cik ... Beni sebenarnya cinta enggak sih sama gue?" Ana mulai memperlihatkan wajah sedihnya.
"Putus aja deh...," jawab Cika santai.
Sebab dia tahu, jika Ana tidak butuh jawabannya. Jawaban dari dirinya tidak akan berarti apa-apa bagi Ana, karena wanita itu tidak akan pernah mendengarkannya. Sudah sering dia dibuat kesal, jadi dia sudah terbiasa.
"Sudah," ucap lirih Ana, terlihat tidak begitu bertenaga.
"Apa?"
"Gue putus Ciiik ... putus! P-U-T-U-S ! bisa dengar gak sih?" sebal Ana.
"Kok bisa?" tanya Cika, wanita itu terlihat tidak terlalu percaya dengan perkataan Ana.
"Beni selingkuh."
"Beneran? Gue kok gak yakin ya kalo Beni nyelingkuhin lo."
La kan, benar. Cika saja merasakan hal yang sama seperti apa yang saat ini Ana sedang rasakan.
"Gue lihat dia ciuman Cik sama perempuan," terang Ana kemudian.
"Bagus dong...."
"Lah ... kok, Bagus? Lo gila ya?"
"Ya bagus An, sedih lo akan tambah berlipat ganda kalau yang dicium Beni itu cowok."
"Gak lucu deh, Cik."
Cika tertawa kecil lalu menatap sahabatnya itu sambil berpikir. Dia ragu dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ana, sebab setahu dia Beni sendiri juga sama bucinnya seperti Ana. Dia masih ingat betul, waktu zamannya mereka berdua masih menjalin hubungan jarak jauh. Dulu banyak sekali yang mencuri-curi kesempatan agar bisa dekat dengan Beni, maklum waktu itu Beni merupakan salah satu mahasiswa yang diperhitungkan di kampus mereka. Selain karena keramahannya, prestasinya juga tidak main-main, walau termasuk mahasiswa abadi juga. Entah, dia sendiri juga tidak tahu apa sebabnya. Dia hanya pernah mendengar, jika Beni sempat cuti kuliah cukup lama.
Beni, laki-laki itu tidak memperdulikan berbagai macam perempuan yang mendekatinya. Ia selalu bilang jika dirinya sudah memiliki kekasih, padahal kesempatan menjadi fak boy, juga terbuka dengan begitu lebarnya.
"Cik ... gue harus gimana? Kenapa dia tega gitu selingkuh hanya gara-gara gak mau disuruh ketemu sama ortu gue, Cik?
Cika menatap Ana. "Dengerin baik-baik An! Dia gak mau ketemu orang tua lo berarti dia memang gak serius sama lo, jadi sudah lupain Beni. Walau gue tahu itu gak mudah, tapi mau berapa lama lagi lo lagi-lagi ngalah gara-gara Beni. Masalah pekerjaan menurut gue sih bukan alasan deh, pekerjaan dia cukup mapan sebagai karyawan, gaji juga lumayanlah buat kebutuhan sehari-hari. Lagi pula, elo kan juga kerja," tutur Cika panjang lebar. Ia lalu menyemprotkan hand sanitizer ke kedua tangannya dengan penuh amarah.
"Tinggal ngeyakinin nyokap bokap lo aja. Nyokap bokap lo, menurut gue gak sematre itu deh ... yaah, mereka mungkin maunya yang terbaik buat anaknya. Siapa sih yang enggak mau anaknya terjamin hidupnya?" lanjutnya kemudian. Sering ia mendengar curhatan dari Ana, tentang masalah percintaan dari sahabatnya itu, jadi dia sudah mengetahui masalah apa saja yang terjadi di antara keduanya.
Ana mengangguk membenarkan semua perkataan Cika. Cika saja bisa berpikiran seperti itu, herannya kenapa Beni tidak?
"Gue cinta Cik sama Beni...," lirih Ana hampir tanpa tenaga.
"Terus lo mau mohon-mohon minta balikan lagi sama Beni?"
"Mungkin ... kalau Beni minta maaf sama gue, gue pasti bakalan maafin."
Cika menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ana. Kata orang cinta itu buta, tetapi Jika melihat sahabatnya, cinta bukan hanya sekedar membuat orang buta, akan tetapi juga membuat orang menjadi bodoh.
Ana berkali-kali curhat bagaimana sikap Beni beberapa tahun terakhir ini, meskipun mengaku tersakiti, tetapi tetap saja sahabatnya masih terus mencari kebenaran atas perilaku dari sang mantan kekasih. Miris.
Keenan bukan manusia seutuhnya is Calling....
Ana hanya melihat ponselnya sekilas, lalu melanjutkan acara curhatnya. Dia malas sekali, jika hari ini harus meladeni seseorang yang menurutnya tidak penting. Harinya sudah suram, maka ia tidak ingin menjadi lebih bertambah suram lagi. Menyesal dia memberikan nomor ponselnya kemarin malam kepada Keenan.
Begitu keluar dari klub kemarin, Keenan langsung meminta nomor Ana. Laki-laki itu berkata, jika memasukkan dirinya ke dalam sebuah drama tidaklah gratis, untuk sebab itu dia harus memiliki nomor Ana, agar wanita itu tidak kabur jika sewaktu-waktu Keenan mulai menagih hutang. Keenan tidak ingin uang, katanya laki-laki itu sudah terlalu kaya, jadi dia ingin balasan dalam bentuk lain.
Tentu saja awalnya Ana menolak. Dia tidak ingin ponsel miliknya ternoda oleh nomor manusia paling dibencinya itu, tapi bagaimana lagi di dalam klub masih ada Renata, Beni, dan juga kekasih barunya. Dia takut, jika ia menolak laki-laki itu akan kembali masuk ke dalam sana, lalu tentu saja membeberkan kebohongannya. Tidak ada pilihan lain, ini juga kebodohannya.
Beberapa menit kemudian muncul pesan dari seseorang yang baru saja menjadi beban pikirannya.
Keenan bukan manusia seutuhnya
Heh, angkat! Budek ya, lo?
Keenan bukan manusia seutuhnya
Mak lampir, balas!
Keenan bukan manusia seutuhnya
Awas ya, lo!
Keenan bukan manusia seutuhnya
Balas enggak? Kalo enggak gue ngomong ini sama Beni, kalau lo penipu!
Keenan menatap ponsel miliknya, tersenyum sinis saat ia yakin jika pesannya kali ini akan langsung dibalas oleh Ana. Tebakannya benar, belum sampai tiga menit, ponsel miliknya sudah berbunyi. Ada satu pesan dari Ana.
Ana si wanita jadi-jadian
Gak usah telepon-telepon, gue sibuk! Ada perlu apa?
Keenan bukan manusia seutuhnya
Besok temani gue, itu balas budi yang harus lo bayar sama gue!
Ana hanya membaca pesan dari Keenan tanpa berniat membalasnya lagi. Keputusannya kemarin meminta tolong ke pada Keenan adalah keputusan paling buruk yang pernah ia lakukan. Mau bagaimana lagi, dia memang tidak punya pilihan lain. Hanya laki-laki itu, yang tiba-tiba ditangkap oleh kedua matanya saat dia sudah tidak bisa berpikir lagi.
Ana lalu menaruh ponselnya di atas meja, memandang sekilas Cika yang sedang asyik berbicara, lalu menoleh ke arah samping ia duduk, sambil berniat meminum minuman yang dari tadi belum sempat ia sentuh sama sekali. Tapi baru sempat minuman itu masuk ke dalam tenggorokannya, ia sudah dibuat tersedak dengan tampang tengil dari laki-laki yang baru saja mengirim pesan ke pada dirinya. Keenan tersenyum sinis, di luar sana ia melambaikan tangan ke arahnya.
"Demi apa!" teriaknya frustrasi, ia lalu kabur setelah berpamitan dengan Cika.
Keenan melihat Ana dari kejauhan, sempat terbengong beberapa detik melihat tampilan wanita itu yang tidak biasa. Wanita itu berdandan dan memakai kebaya. Dia tidak menyangka, jika Ana bisa melakukannya. "Kenapa lo bawa ransel gede gitu?" tanya Keenan begitu sampai di tempat mereka janjian. Ia merasa aneh dengan ketidak sesuaian tampilan dari wanita yang ada di depannya itu. "Kenapa lo baru sampai? Ini sudah satu jam tahu, gue nunggu!" serbu Ana tidak berniat menjawab pertanyaan dari Keenan. Lagi pula, mau Ana pakai ransel atau tas karung beras juga bukan urusan dia. "Lonya aja yang kegirangan mau ketemu gue jadi lo sengaja, kan datang tepat waktu? Biasanya juga lo lelet." "Gue lebih tepat waktu dari pada lo!" balas Ana penuh emosi. Ia lalu berdehem, memandangi tampilan laki-laki di hadapannya. Jika dilihat-lihat tampilan mereka agak ... begitu mirip. "Lo habis kondangan? Klimis amat," sindir Ana saat melihat tampilan Keenan yang juga t
Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain. Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini. Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui. Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terja
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa,
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. B
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. "Terus kamu nyuruh aku pak
"Cik mau makan di sini yakin lo?" Cika mengangguk sambil tersenyum. Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman. "Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?" Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya. Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"
"Ngapain lo senyum-senyum?" Ana menopang dagu menatap menu-menu yang tadi ia pesan bersama Keenan dengan tatapan malas. Laki-laki itu tidak tahu apa, jika saat ini dirinya sedang dilanda rasa bosan yang amat sekali. Sudah hampir satu jam Ana hanya diam di sini melihat Keenan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Di menit kesepuluh perempuan itu masih mencoba untuk tetap baik-baik saja. Akan tetapi di menit-menit selanjutnya dia sudah tidak tahan lagi. Keenan menggelengkan kepalanya. Entah kenapa melihat sesuatu yang ia beli kemarin sekarang berada di leher Ana, membuat dia senang setengah mati. "Kalung lo bagus. Siapa yang beli?" tanya Keenan. "Elo! Puas?" Lagi, Keenan tertawa setelahnya. Semakin lama hubungannya dengan Ana semakin berjalan dengan baik, itu menurutnya. Walau kata-kata yang mereka ucapkan satu sama lain masih banyak yang terkadang memicu amarah, akan tetapi mereka masih bisa melanjutkannya dengan obrolan tanpa adanya baku hant
"Weeee ... beneran ini kalian memang pacaran?" Adit berlari memukul bahu Keenan dari belakang. Laki-laki itu begitu antusias melihat teman misteriusnya yang tidak pernah mengumbar hal-hal pribadinya itu sekarang kedapatan tengah dekat dengan seorang wanita. Keenan terlihat ramah dengan siapa saja, tetapi sebenarnya dari pada dengan yang lain, laki-laki itu yang paling jarang berbaur dengan yang lainnya. Hanya dengan Adit, Raka, dan Beni sajalah dia bisa berbicara dengan santai. Walau banyak perempuan yang tertarik dengannya pun, tidak pernah terlihat sama sekali dia menanggapinya. "Muka lo kayak abis ketangkap basah aja, Keen?" tanya Adit macam detektif. "Jadi beneran?" Adit menyenggol lengan Keenan. Niat Adit sih bukan apa-apa. Sekedar ingin bercanda saja dengan Keenan, mereka pacaran pun sebenarnya tidak penting juga buatnya. Akan tetapi mengapa ekspresi keduanya seperti orang yang tengah terciduk oleh Satpol PP? Keenan dan Sinta saling tatap. Laki-