"Cik mau makan di sini yakin lo?"
Cika mengangguk sambil tersenyum.
Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman.
"Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?"
Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya.
Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"
"Ngapain lo senyum-senyum?" Ana menopang dagu menatap menu-menu yang tadi ia pesan bersama Keenan dengan tatapan malas. Laki-laki itu tidak tahu apa, jika saat ini dirinya sedang dilanda rasa bosan yang amat sekali. Sudah hampir satu jam Ana hanya diam di sini melihat Keenan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Di menit kesepuluh perempuan itu masih mencoba untuk tetap baik-baik saja. Akan tetapi di menit-menit selanjutnya dia sudah tidak tahan lagi. Keenan menggelengkan kepalanya. Entah kenapa melihat sesuatu yang ia beli kemarin sekarang berada di leher Ana, membuat dia senang setengah mati. "Kalung lo bagus. Siapa yang beli?" tanya Keenan. "Elo! Puas?" Lagi, Keenan tertawa setelahnya. Semakin lama hubungannya dengan Ana semakin berjalan dengan baik, itu menurutnya. Walau kata-kata yang mereka ucapkan satu sama lain masih banyak yang terkadang memicu amarah, akan tetapi mereka masih bisa melanjutkannya dengan obrolan tanpa adanya baku hant
"Weeee ... beneran ini kalian memang pacaran?" Adit berlari memukul bahu Keenan dari belakang. Laki-laki itu begitu antusias melihat teman misteriusnya yang tidak pernah mengumbar hal-hal pribadinya itu sekarang kedapatan tengah dekat dengan seorang wanita. Keenan terlihat ramah dengan siapa saja, tetapi sebenarnya dari pada dengan yang lain, laki-laki itu yang paling jarang berbaur dengan yang lainnya. Hanya dengan Adit, Raka, dan Beni sajalah dia bisa berbicara dengan santai. Walau banyak perempuan yang tertarik dengannya pun, tidak pernah terlihat sama sekali dia menanggapinya. "Muka lo kayak abis ketangkap basah aja, Keen?" tanya Adit macam detektif. "Jadi beneran?" Adit menyenggol lengan Keenan. Niat Adit sih bukan apa-apa. Sekedar ingin bercanda saja dengan Keenan, mereka pacaran pun sebenarnya tidak penting juga buatnya. Akan tetapi mengapa ekspresi keduanya seperti orang yang tengah terciduk oleh Satpol PP? Keenan dan Sinta saling tatap. Laki-
Keenan sungguh benar-benar tampak bodoh. Banyak mata selama ini yang ternyata selalu mengawasi dia di mana saja dan harusnya ia tahu. Senyum sinis kedua orang tuanya masih terpatri dengan jelas di dalam otak laki-laki itu, ketika dia menjelaskan kenyataan yang sebenarnya. Ternyata keduanya hanya menunggu Keenan untuk berkata jujur. Itulah sebabnya tidak terlihat sama sekali raut keterkejutan dari wajah mama atau pun papa Keenan. Keenan menghela napas berat. Kepalanya sekarang dipenuhi oleh apa yang dikatakan kedua orang tuanya beberapa waktu yang lalu. Papa dan mama Keenan mengatakan, jika memutuskan pertunangan dengan Ana adalah perkara yang mudah, asal laki-laki itu siap dicoret dari daftar anggota keluarga Bagaskara. Tentu saja Keenan belum seberani itu. Ia masih sangat menyayangi kedua orang tuanya. Drrrrrt ... drrrrrrt.... "Halo. Apa! Iya ... iya, aku ke sana sekarang." Keenan segera bergegas begitu mendapatkan telepon dari Sinta yang terdengar b
Hari ini Ana memutuskan untuk tidak masuk kerja dulu. Dia tidak mungkin masuk kerja dengan tampilan macam preman habis dikeroyok warga seperti ini. Tidak apalah, hitung-hitung istirahat dari semua masalahnya juga. Kemarin sesuai prediksi dari Ana, mamanya benar-benar menelepon Cika. Untungnya sahabatnya itu sudah tahu apa yang mesti dilakukan, walaupun tanpa adanya briefing terlebih dahulu tentunya. Cika sudah sangat pro memainkan perannya dari zaman sekolah, sehingga Ana tidak perlu mengkhawatirkan masalah tentang dirinya berbohong kepada sang mama. Ada temannya yang selalu bisa diandalkan. Saat Ana sedang asyik bergumul dengan selimut hangatnya, tiba-tiba bunyi ketukan pintu yang bertubi-tubi mengganggu indra pendengarannya. Buru-buru Ana masuk ke dalam kamar mandi dan keluar tiga puluh menit kemudian. Dia sengaja berlama-lama kendati dia hanya cuci muka dan sikat gigi saja. Biar saja orang di luar itu lebih lama menunggu. Itu setimp
"Sorry ... sorry uda lama nunggu, An?" Ana menyenderkan punggungnya di sofa sebuah restoran cepat saji. Memutar bola matanya sembari melipat kedua tangan di dada. "Lo yang minta ketemu dan gue yang selalu harus nunggu. Bagus banget! Nyebelinnya benar-benar gak tanggung-tanggung, ya?" sindir Ana. "Sorry ... baru juga tiga puluh menit, An," Keenan seperti biasa selalu saja berkilah tidak mau kalah. "Baru tiga puluh menit lo bilang? Lo kira gue gak ada kerjaan lain apa selain nunggu lo? Gue ini orang sibuk, kalau lo gak tahu. Tiga puluh menit itu berharga banget buat gue!" "Mbak-mbak pesan coffe lattenya satu. Lo mau pesan lagi?" Keenan seperti biasa tidak mengindahkan amarah Ana. Ana menarik napasnya jengkel. "Kenyang gue!" Keenan terkekeh saat melihat bekas makanan dan bergelas-gelas minuman di atas meja. Cukup jelas menandakan seberapa lama Ana menunggu dirinya. "Lo ada urusan apa panggil gue?" "Gue kemarin udah ngomong
Sudah dari lima menit yang lalu Keenan memandangi ponsel miliknya. Laki-laki itu mulai gelisah, sebab beberapa panggilan dan pesan darinya tak kunjung ada balasan dari Sinta. Dia jadi berpikir apa lagi kesalahannya kali ini? Keenan ingin langsung menemui Sinta di kantor sebelah, tetapi itu bukan ide yang bagus. Bisa-bisa Sinta malah tambah marah kepada dirinya. Dia benar-benar serba salah, bahkan saat berkunjung ke apartemen Sinta saja, jika tidak janjian terlebih dulu dia tidak akan bertemu dengan kekasihnya. Ya, memang begitu kenyataannya. Apa kata-katanya kemarin melukainya? Tetapi, setelahnya Sinta tetap bersikap biasa saja. Mereka juga sempat janjian bertemu, ya, walaupun mendadak wanitanya memang membatalkannya. "Kerja ... kerja ... jangan mantengin HP terus! Kayak punya pacar aja," sindir Adit. "Usil banget lo jadi orang, Dit!" Adit terkekeh. "Habisnya lo kan yang biasanya yang nyuruh-nyuruh kita kerja. Eh, situ
Keenan berusaha memejamkan kedua matanya, tapi nihil usahanya sia-sia. Mungkin karena beberapa masalah tidak mampu ia selesaikan dengan baik. Tidak seperti pekerjaannya yang selalu dapat ia cari jalan keluarnya. Urusan kantor ternyata lebih mudah daripada urusan kehidupannya. Setelah kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu, sekarang Keenan tidak lagi bisa menghubungi Ana. Wanita itu tidak pernah mengangkat panggilan darinya atau pun membalas pesannya. Pertunangan mereka benar-benar sudah batal. Untung saja statusnya sebagai anak dari kedua orang tuanya juga tidak ikut menjadi batal. Karena, ya mungkin bukan dia yang memutus pertunangan itu, melainkan Analah yang memutuskannya. Entah apa alasan yang dibuat dari perempuan itu, dirinya juga tidak tahu karena kedua orang tuanya pun tidak mengatakannya. Hubungan Keenan dengan Sinta setelah itu juga tidak pernah ada masalah. Walau sikap kedua orang tuanya agak terlihat sedikit berbeda. Mungkin itu hanya peras
Sinta keluar dari kamar hotel, berjalan dengan penuh percaya diri seperti biasa. "Sin?" Sinta enggan sekali menoleh, karena ia sudah hafal betul suara siapa itu yang tadi memanggil namanya. Dia Beni adalah seseorang yang pernah menjadi manusia terpenting di hidupnya. Selama ini perempuan itu begitu menghindari Beni, sebab takut jika dia akan kembali menjatuhkan hatinya. Usaha Sinta mengacuhkan Beni ternyata sia-sia, saat laki-laki itu menghadang jalannya. "Gue buru-buru, Ben?" Dia sungguh takut melihat laki-laki itu yang sudah lama tidak dilihatnya walau kantor mereka di gedung yang sama. "Lo mau pulang? Gue anter ya?" Sinta memicingkan matanya. "Gue uda biasa pulang sendiri!" "Lo kenapa sih, Sin?" "Gue kenapa?" Bisa-bisanya Beni bertanya dirinya kenapa? Laki-laki itu dari dulu memang tidak pernah peka. Apakah selama ini dia juga tidak tahu, jika dirinya menghindarinya karena apa? "Lo tiba-tiba ngejauhin gue, tiba-tiba