Sinta keluar dari kamar hotel, berjalan dengan penuh percaya diri seperti biasa.
"Sin?"
Sinta enggan sekali menoleh, karena ia sudah hafal betul suara siapa itu yang tadi memanggil namanya. Dia Beni adalah seseorang yang pernah menjadi manusia terpenting di hidupnya. Selama ini perempuan itu begitu menghindari Beni, sebab takut jika dia akan kembali menjatuhkan hatinya.
Usaha Sinta mengacuhkan Beni ternyata sia-sia, saat laki-laki itu menghadang jalannya. "Gue buru-buru, Ben?" Dia sungguh takut melihat laki-laki itu yang sudah lama tidak dilihatnya walau kantor mereka di gedung yang sama.
"Lo mau pulang? Gue anter ya?"
Sinta memicingkan matanya. "Gue uda biasa pulang sendiri!"
"Lo kenapa sih, Sin?"
"Gue kenapa?" Bisa-bisanya Beni bertanya dirinya kenapa? Laki-laki itu dari dulu memang tidak pernah peka. Apakah selama ini dia juga tidak tahu, jika dirinya menghindarinya karena apa?
"Lo tiba-tiba ngejauhin gue, tiba-tiba
Saat akan meletakkan helm miliknya ke dalam jok motor, Keenan menyadari jika kue favorit Sinta, kekasihnya masih ada di stang motor miliknya. Mungkin karena kekasihnya itu tadi buru-buru, jadi ia juga tidak sempat mengingat ada kue itu yang ternyata masih ia letakkan di sana. Bergegas ia pun kembali menuju apartemen perempuannya. Menekan password yang sudah begitu Keenan hafal, ia pun membuka pintu setelah bunyi bib panjang berbunyi. Laki-laki itu perlahan melangkahkan kaki memasuki ruangan kekasihnya. Akhir-akhir ini hubungan mereka berjalan lebih baik dari sebelumnya. Bahkan sedikit demi sedikit mulai sudah ada perkembangan. Dari Sinta yang lebih sering mengajaknya keluar, hingga yang paling membuat laki-laki itu tidak menyangka adalah perempuannya memberitahukan kode masuk rumahnya. Itu berarti Sinta sudah percaya dengan Keenan. Dengan senyum yang masih terukir di wajahnya ia berjalan memasuki ruang tengah apartemen sang kekasih. Mengernyitkan wajah, laki-
"Mau minum apa, Nak Keenan?" tawar mama Ana. Saat ini Keenan sedang berada di rumah Ana untuk menjemputnya menghadiri acara ulang tahun kantor. Butuh usaha ekstra untuk mengajak perempuan itu, karena sekarang status mereka bukan lagi sebagai tunangan. Tetapi, dilain hal Keenan merasa bersyukur, sebab perlakuan orang tua Ana kepada dirinya masih sama seperti dulu. Orang tua Ana masih sebaik itu. "Gak usah repot-repot, Tante." "Minuman aja. Eh, itu Ana! Tumben cepat." tunjuk mama Ana kepada anaknya. "Yuk, Keen! Capcuuus. Ana pergi dulu, Ma." Ana mencium pipi mamanya untuk berpamitan, disusul oleh Keenan yang mencium tangan mama Ana. "Lo ngapain sih ngajak gue segala, Keen?" "Abis ngajak siapa lagi gue?" "Dasar jomblo!" "Apa kabar situ?" "Ayok ah masuk," ajak Keenan begitu mereka sudah ada di depan venue, tempat acara kantor akan diadakan. Meneruskan perdebatan dengan Ana, tidak akan pernah ada ujungnya.
"Uda lama gak lari, lari sebentar capeknya bukan main, deh...." Beni menyodorkan sebotol air mineral kepada Sinta. Saat ini mereka baru saja selesai berlari berkeliling di acara car freeday. "Kriuuuuuk...." Sinta nyengir mendengar bunyi perutnya yang mulai minta jatah untuk diisi. Beni yang sadar, menatap Sinta jahil sambil terkekeh. "Mau bubur ayam? Beli buryam yuuuk...," ajak Beni pada akhirnya. "Braaaaaaak!!!" Beni yang kaget mendengar suara keras itu otomatis menoleh. Sontak ia terkaget, begitu mengetahui tak jauh darinya ada seseorang yang penting bagi dirinya tengah jatuh tersungkur akibat sepeda yang menabraknya. Jantung Beni bahkan seolah terhenti melihat darah yang mengalir dari kaki Ana. Perempuan itu terduduk menahan sakit, dengan posisi salah satu kakinya masih tertimpa oleh roda sepeda. Tanpa berpikir panjang Beni langsung berlari menghampiri Ana, seolah lupa sekarang dirinya sedang dengan siapa. "K
Dua manusia yang memiliki ikatan darah itu saling diam. Mereka sama-sama bingung akan memulai pembicaraan dari mana. Bukan waktu yang sebentar mereka terpisah, jadi mereka belum terbiasa. Beni dan Kamila, masing-masing hanya mengangguk dan tersenyum saja. Hampir satu jam keduanya bertatap muka dan hanya itu saja yang mereka lakukan. Tersenyum dan mengangguk. Lucu sekali. Kamila meremas kedua tangan miliknya di bawah meja. Sebelum mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. "Kenapa semua yang Mama kasih buat kamu, selalu kamu tolak? Kamu masih belum mau menerima, jika Mama ini adalah Mama kamu, Ben?" Perempuan paruh baya berbaju cokelat itu menatap sedih, laki-laki yang merupakan anak pertama dari suami pertamanya itu. Beni menggelengkan kepalanya lemah. Bukan karena dia tidak menghargai pemberian mamanya, hanya saja dia masih belum senyaman itu menerima semuanya. Dia belum terbiasa. Beni berpikir, jika dia menerima segala pemberian itu, maka o
Keenan beberapa kali melirik Ana yang sedang asyik menyantap baksonya. Dia tidak pernah melihat ada wanita yang lebih antusias dengan makanannya, dari pada cowok tampan yang menemaninya. Ya, dia memang terlalu percaya diri? Buktinya anak dari penjual bakso tadi kedapatan beberapa kali mencuri pandang kepadanya. Sejak bertemu dengan Beni tadi, banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di kepalanya. Ia sempat akan langsung bertanya kepada Ana, tapi wanita itu malah selalu memotong pembicaraannya. "Kenapa Beni ke rumah lo, An?" Ana menggeleng. Ya, karena memang dia tidak tahu. Dia sempat bertanya kepada sang mama, tapi penjelasan dari mamanya menurutnya begitu mengada-ada. "Tante, udah setuju?" tanya Keenan memastikan. Entah untuk apa, dia sendiri juga tidak mengerti. Dia hanya sedikit merasa resah. "Setuju?" "Setuju sama Beni." Ana yang baru ngeh hanya ber "oh" ria dan lagi-lagi menggelengkan kepala, lalu kembali melanjutkan a
Ana mematri dirinya di depan cermin. Menghela napas saat berkali-kali melihat jam dinding, tetapi jarum jam yang ada di sana masih saja menunjukkan angka lima. Ini adalah bangun terpagi Ana seumur hidupnya. Janjian mereka adalah jam delapan pagi, akan tetapi perempuan itu sudah siap untuk berangkat sedari tadi. Karena memang, dia begitu tidak sabarnya menunggu hari ini. Seminggu setelah pertemuan Ana dengan Beni, tiba-tiba laki-laki itu menghubunginya dan mengajak dia untuk keluar berjalan-jalan. Perempuan itu tidak mungkin berkata tidak, jika itu adalah Beni. "An ... Ana, An." Ana terlonjak dari tidurnya. Hal yang pertama kali ia lihat adalah senyum dari Beni. Laki-laki itu berjongkok di samping ranjang tidurnya. Topi yang dikenakan begitu cocok bertengger di kepalanya. Oh betapa mantan memang selalu terlihat lebih tampan.... Perlahan Ana bangun dari tidurnya. Beni tersenyum begitu pula dengan perempuan itu. Ini benar-benar luar bias
Setelah menempuh dua jam perjalanan, tiba juga akhirnya mereka di Malang. Ya, Ana baru tahu tujuan mereka saat mereka berdua sudah berada di Bandara. Akan tetapi, tetap saja untuk apa Beni mengajak Ana pergi ke Malang, masih saja rahasia katanya. Beni melambaikan tangan ke arah tiga orang yang berada tepat di sebelah jeep hardtop yang terparikir di sekitaran Bandara. Mereka semua membawa carier, juga memakai baju khas yang biasanya dikenakan oleh orang-orang yang akan mendaki, yang jelas berbanding terbalik dengan apa yang Ana kenakan saat ini bersama Beni. Beni tersenyum menatap Ana yang berada di sampingnya. "Sudah bisa tebak belum, kita mau ke mana?" Ana tampak ragu. "Kita mau naik gunung, Ben?" Perempuan itu langsung mengamati tampilannya bersama Beni. Dia tidak membawa apa-apa selain tas mininya yang hanya berisi dompet dan ponsel, begitu pula dengan laki-laki yang bersamanya itu. Sedangkan setahunya, naik gunung harusnya butuh persiapan yang lebih matan
Entah kenapa walau perjalanannya dengan Beni terasa menyenangkan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Dia tidak tahu itu apa, tapi semoga saja tidak lagi membuatnya terluka. Kata-kata Beni kemarin begitu mengganggu Ana. Laki-laki itu bilang ingin memberitahukan sesuatu kepadanya, tapi harus menunggu dulu sampai lima hari lagi lamanya. Kenapa harus lima hari? Kenapa tidak waktu itu saja Beni mengatakan sesuatu itu? Apa Beni akan melamarnya? Ok, kalau itu, mungkin Ana terlalu berlebihan. Kalau niat Beni memang melamar Ana, Ranukumbolo adalah tempat yang tepat untuk melakukannya. Akan tetapi tidak, Beni tidak melakukannya. Laki-laki itu hanya membuatnya semakin pusing memikirkan apa yang akan dikatakannya lima hari nanti kepadanya. Tidak biasanya Beni melakukan tebak-tebakan seperti itu. Ini begitu membingungkan buat Ana. Menghela napas panjang Ana memasuki rumahnya. Perempuan itu mengerutkan kedua alisnya, begitu nyony