Keenan beberapa kali melirik Ana yang sedang asyik menyantap baksonya. Dia tidak pernah melihat ada wanita yang lebih antusias dengan makanannya, dari pada cowok tampan yang menemaninya. Ya, dia memang terlalu percaya diri? Buktinya anak dari penjual bakso tadi kedapatan beberapa kali mencuri pandang kepadanya.
Sejak bertemu dengan Beni tadi, banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di kepalanya. Ia sempat akan langsung bertanya kepada Ana, tapi wanita itu malah selalu memotong pembicaraannya.
"Kenapa Beni ke rumah lo, An?"
Ana menggeleng. Ya, karena memang dia tidak tahu. Dia sempat bertanya kepada sang mama, tapi penjelasan dari mamanya menurutnya begitu mengada-ada.
"Tante, udah setuju?" tanya Keenan memastikan. Entah untuk apa, dia sendiri juga tidak mengerti. Dia hanya sedikit merasa resah.
"Setuju?"
"Setuju sama Beni."
Ana yang baru ngeh hanya ber "oh" ria dan lagi-lagi menggelengkan kepala, lalu kembali melanjutkan a
Ana mematri dirinya di depan cermin. Menghela napas saat berkali-kali melihat jam dinding, tetapi jarum jam yang ada di sana masih saja menunjukkan angka lima. Ini adalah bangun terpagi Ana seumur hidupnya. Janjian mereka adalah jam delapan pagi, akan tetapi perempuan itu sudah siap untuk berangkat sedari tadi. Karena memang, dia begitu tidak sabarnya menunggu hari ini. Seminggu setelah pertemuan Ana dengan Beni, tiba-tiba laki-laki itu menghubunginya dan mengajak dia untuk keluar berjalan-jalan. Perempuan itu tidak mungkin berkata tidak, jika itu adalah Beni. "An ... Ana, An." Ana terlonjak dari tidurnya. Hal yang pertama kali ia lihat adalah senyum dari Beni. Laki-laki itu berjongkok di samping ranjang tidurnya. Topi yang dikenakan begitu cocok bertengger di kepalanya. Oh betapa mantan memang selalu terlihat lebih tampan.... Perlahan Ana bangun dari tidurnya. Beni tersenyum begitu pula dengan perempuan itu. Ini benar-benar luar bias
Setelah menempuh dua jam perjalanan, tiba juga akhirnya mereka di Malang. Ya, Ana baru tahu tujuan mereka saat mereka berdua sudah berada di Bandara. Akan tetapi, tetap saja untuk apa Beni mengajak Ana pergi ke Malang, masih saja rahasia katanya. Beni melambaikan tangan ke arah tiga orang yang berada tepat di sebelah jeep hardtop yang terparikir di sekitaran Bandara. Mereka semua membawa carier, juga memakai baju khas yang biasanya dikenakan oleh orang-orang yang akan mendaki, yang jelas berbanding terbalik dengan apa yang Ana kenakan saat ini bersama Beni. Beni tersenyum menatap Ana yang berada di sampingnya. "Sudah bisa tebak belum, kita mau ke mana?" Ana tampak ragu. "Kita mau naik gunung, Ben?" Perempuan itu langsung mengamati tampilannya bersama Beni. Dia tidak membawa apa-apa selain tas mininya yang hanya berisi dompet dan ponsel, begitu pula dengan laki-laki yang bersamanya itu. Sedangkan setahunya, naik gunung harusnya butuh persiapan yang lebih matan
Entah kenapa walau perjalanannya dengan Beni terasa menyenangkan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Dia tidak tahu itu apa, tapi semoga saja tidak lagi membuatnya terluka. Kata-kata Beni kemarin begitu mengganggu Ana. Laki-laki itu bilang ingin memberitahukan sesuatu kepadanya, tapi harus menunggu dulu sampai lima hari lagi lamanya. Kenapa harus lima hari? Kenapa tidak waktu itu saja Beni mengatakan sesuatu itu? Apa Beni akan melamarnya? Ok, kalau itu, mungkin Ana terlalu berlebihan. Kalau niat Beni memang melamar Ana, Ranukumbolo adalah tempat yang tepat untuk melakukannya. Akan tetapi tidak, Beni tidak melakukannya. Laki-laki itu hanya membuatnya semakin pusing memikirkan apa yang akan dikatakannya lima hari nanti kepadanya. Tidak biasanya Beni melakukan tebak-tebakan seperti itu. Ini begitu membingungkan buat Ana. Menghela napas panjang Ana memasuki rumahnya. Perempuan itu mengerutkan kedua alisnya, begitu nyony
Gerimis pada pagi hari, biasanya membuat siapa pun malas untuk pergi ke mana saja, tak terkecuali Ana. Tapi tidak untuk hari ini. Walau hujan, angin topan, atau bahkan badai sekali pun, tidak masalah. Tidak ada yang bisa menghadang dia untuk bertemu dengan pangerannya. Perempuan itu berusaha menyemangati dirinya, harus tetap berpikiran positif, agar pertemuannya dengan Beni bisa berjalan dengan kondusif. Rambut cek, make-up cek, baju cek. Ok, kali ini Ana sudah merasa paling cantik sedunia. Hari ini adalah hari "H" setelah empat hari yang dijanjikan oleh Beni berlalu, jadi dia harus berpenampilan paripurna. Suara Tiara seolah seperti jadi alarm, agar Ana bisa segera menyelesaikan aksi dandannya. Ternyata benar, sudah ada Beni di sana, di ruang tamu tengah mengobrol asyik dengan adiknya. Begitu Ana mendekat, laki-laki itu langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Senyum seperti magnet, yang membuat dirinya selalu ingin berhambur ke pelukan laki-laki itu begi
“Beni adalah kakaknya?” “Beninya adalah kakaknya?” “Laki-laki itu adalah juga anak dari mamanya.” Sepanjang perjalanan Ana terus berbicara layaknya orang gila. Menyadarkan dirinya sendiri dengan kenyataan yang baru ia terima dengan kata-katanya. Terkadang ia tertawa, di sela-sela tawa ia juga menangis. Dia tidak peduli kenapa bisa Beni jadi kakaknya, dia tidak mau tahu. Dia tidak butuh seorang kakak, apalagi itu Beni. Ana tidak peduli suara klakson atau pun orang-orang yang melihatnya dengan keadaan kacau seperti ini. Dia tidak mau tahu. Ana berlari sekuat yang ia mampu. Berlari saja, berharap Beni tidak bisa mengejarnya. Apa Ana terlalu percaya diri mengira, jika laki-laki itu akan mengejarnya? Sudahlah, yang penting ia berlari saja, hingga rasa lelah membuatnya akhirnya berhenti juga. Perempuan itu jongkok menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan, di tepi jalan yang kebetulan sekali tidak terdapat orang berlalu lalang. Syukurlah, tidak ak
"An, bangun!" Ana semakin mengencangkan selimut yang ia kenakan. Dia berusaha mengabaikan tendangan Cika, yang walaupun tidak terasa sakit, tetapi sangat mengganggu tidur nyenyaknya. "Lo, beneran gak mau pulang?" "Itu pertanyaan lo yang keseratus dua puluh tujuh juta kali, deh ... kalau gue gak salah hitung," jawab Ana di sela-sela aktivitas menguapnya. "Dan lo sama sekali gak ada niatan menjawab pertanyaan gue yang keseratus dua puluh tujuh juta kali itu? Luar biasa.” Cika bertepuk tangan. "Cik, Apaan sih lo!" seru Ana ketika tendangan Cika semakin lama semakin mirip tendangan kapten Tsubasa. "Pulang sono!" seru Cika. Semakin lama perempuan itu semakin menaikkan volume suaranya. "Lo ngusir, gue?" "Iya gue ngusir lo! Mau sampai kapan lo sembunyi di rumah gue? Lo gak kasihan sama orang rumah?" "Palingan lo juga udah ember." Ana tahu betul sahabatnya itu seperti apa. Cika mengalihkan tatapan matanya. Tepat
Begitu mendengar pertanyaan terakhir dari Keenan, Ana otomatis berlari tergopoh-gopoh. Perempuan itu bahkan sampai menabrak bahu Keenan, saking semangatnya. "Ayo buruan lemot amat sih!" seru Ana begitu berhasilmendahului Keenan. Jangan sampai gara-gara egonya dia menyesal di kemudian hari. Ana harus ikut Keenan sekarang. Persetan dengan wajah julit laki-laki yang ada di belakangnya. Keenan lalu terkekeh mendekat dan tanpa sadar menggandeng tangan perempuan itu. Dari setengah jam yang lalu Ana dan Keenan saling dorong untuk menentukan siapa dulu yang harus menyapa Beni dengan gerombolan yang mengelilingi laki-laki itu. Padahal jarak antara keduanya dengan Beni juga tidak begitu jauh. Bukannya apa-apa, Ana hanya malas saja, sebab di dekat Beni ada wanita yang dulu mengaku sebagai kekasih laki-laki itu. Selain itu, sebenarnya dia memang masih belum siap untuk bertemu dengan Beni. "Samperin jangan ngedrama ... lo itu uda gede selesai
“Turun, An!” seru Keenan. Dia sudah tidak tahan lagi dengan Ana yang sedari tadi hanya diam mengamati kediamannya dari dalam mobil. Perempuan itu menempelkan kedua tangannya di kaca mobil untuk membantu agar dia bisa lebih fokus mengamati area sekitar. Persis seperti maling yang sedang mencari cela untuk melaksanakan tugasnya. Ana menggelengkan kepala. “Enggak mau, Keen!” “Udah sampek ini.” Mobil Keenan sudah hampir tiga puluh menit terparkir di depan rumah Ana, akan tetapi perempuan itu sepertinya tidak ada sama sekali niatan untuk turun dari mobil miliknya. “Jangan-jangan lo gak mau pisah sama gue, ya?” tabaknya asal, sambil menunggu ekspresi yang akan ditampilkan oleh Ana. “Idiih!” Ana bergidik geli. Keenan terkekeh sambil menyenderkan badannya di pintu mobil, bersila, dan melipat kedua tangannya di dada. Ia dapat dengan jelas melihat berbagai macam ekspresi Ana dari tempatnya ini. Selucu itu memang melihat spontanitas Ana begitu mendengarn
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be