“Beni adalah kakaknya?”
“Beninya adalah kakaknya?”
“Laki-laki itu adalah juga anak dari mamanya.”
Sepanjang perjalanan Ana terus berbicara layaknya orang gila. Menyadarkan dirinya sendiri dengan kenyataan yang baru ia terima dengan kata-katanya. Terkadang ia tertawa, di sela-sela tawa ia juga menangis. Dia tidak peduli kenapa bisa Beni jadi kakaknya, dia tidak mau tahu. Dia tidak butuh seorang kakak, apalagi itu Beni.
Ana tidak peduli suara klakson atau pun orang-orang yang melihatnya dengan keadaan kacau seperti ini. Dia tidak mau tahu.
Ana berlari sekuat yang ia mampu. Berlari saja, berharap Beni tidak bisa mengejarnya. Apa Ana terlalu percaya diri mengira, jika laki-laki itu akan mengejarnya? Sudahlah, yang penting ia berlari saja, hingga rasa lelah membuatnya akhirnya berhenti juga. Perempuan itu jongkok menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan, di tepi jalan yang kebetulan sekali tidak terdapat orang berlalu lalang. Syukurlah, tidak ak
"An, bangun!" Ana semakin mengencangkan selimut yang ia kenakan. Dia berusaha mengabaikan tendangan Cika, yang walaupun tidak terasa sakit, tetapi sangat mengganggu tidur nyenyaknya. "Lo, beneran gak mau pulang?" "Itu pertanyaan lo yang keseratus dua puluh tujuh juta kali, deh ... kalau gue gak salah hitung," jawab Ana di sela-sela aktivitas menguapnya. "Dan lo sama sekali gak ada niatan menjawab pertanyaan gue yang keseratus dua puluh tujuh juta kali itu? Luar biasa.” Cika bertepuk tangan. "Cik, Apaan sih lo!" seru Ana ketika tendangan Cika semakin lama semakin mirip tendangan kapten Tsubasa. "Pulang sono!" seru Cika. Semakin lama perempuan itu semakin menaikkan volume suaranya. "Lo ngusir, gue?" "Iya gue ngusir lo! Mau sampai kapan lo sembunyi di rumah gue? Lo gak kasihan sama orang rumah?" "Palingan lo juga udah ember." Ana tahu betul sahabatnya itu seperti apa. Cika mengalihkan tatapan matanya. Tepat
Begitu mendengar pertanyaan terakhir dari Keenan, Ana otomatis berlari tergopoh-gopoh. Perempuan itu bahkan sampai menabrak bahu Keenan, saking semangatnya. "Ayo buruan lemot amat sih!" seru Ana begitu berhasilmendahului Keenan. Jangan sampai gara-gara egonya dia menyesal di kemudian hari. Ana harus ikut Keenan sekarang. Persetan dengan wajah julit laki-laki yang ada di belakangnya. Keenan lalu terkekeh mendekat dan tanpa sadar menggandeng tangan perempuan itu. Dari setengah jam yang lalu Ana dan Keenan saling dorong untuk menentukan siapa dulu yang harus menyapa Beni dengan gerombolan yang mengelilingi laki-laki itu. Padahal jarak antara keduanya dengan Beni juga tidak begitu jauh. Bukannya apa-apa, Ana hanya malas saja, sebab di dekat Beni ada wanita yang dulu mengaku sebagai kekasih laki-laki itu. Selain itu, sebenarnya dia memang masih belum siap untuk bertemu dengan Beni. "Samperin jangan ngedrama ... lo itu uda gede selesai
“Turun, An!” seru Keenan. Dia sudah tidak tahan lagi dengan Ana yang sedari tadi hanya diam mengamati kediamannya dari dalam mobil. Perempuan itu menempelkan kedua tangannya di kaca mobil untuk membantu agar dia bisa lebih fokus mengamati area sekitar. Persis seperti maling yang sedang mencari cela untuk melaksanakan tugasnya. Ana menggelengkan kepala. “Enggak mau, Keen!” “Udah sampek ini.” Mobil Keenan sudah hampir tiga puluh menit terparkir di depan rumah Ana, akan tetapi perempuan itu sepertinya tidak ada sama sekali niatan untuk turun dari mobil miliknya. “Jangan-jangan lo gak mau pisah sama gue, ya?” tabaknya asal, sambil menunggu ekspresi yang akan ditampilkan oleh Ana. “Idiih!” Ana bergidik geli. Keenan terkekeh sambil menyenderkan badannya di pintu mobil, bersila, dan melipat kedua tangannya di dada. Ia dapat dengan jelas melihat berbagai macam ekspresi Ana dari tempatnya ini. Selucu itu memang melihat spontanitas Ana begitu mendengarn
"Lo ... lo apa-apaan sih, Keen!" Jantung Ana hampir lupa dengan tugasnya, begitu Keenan dengan santainya mendekat lalu dengan wajah polos mencomot es krim yang sedang dia pegang dengan mulutnya. Jarak mereka begitu dekat, bahkan jika dengan sengaja Ana memajukan sedikit kepalanya, maka perempuan itu akan dengan mudah mencium pipi Keenan. Meskipun fokus Keenan terlihat hanya kepada es krim yang dipegang Ana, bukan berarti sang pemilik es krim juga sama. Perempuan itu mati-matian menahan debaran yang bertabuh di dadanya. Memang tidak ada perasaan apa pun terhadap Keenan, dan Ana juga termasuk ke dalam golongan perempuan yang tidak gampang terbawa perasaan. Tapi, yah ... walau pun begitu Ana tetaplah perempuan normal, yang lama-lama akan hanyut juga, jika di hadapkan dengan situasi semacam ini yang terus saja terjadi secara berulang-ulang. Salahkan Keenan yang suka sekali tebar pesona, tanpa melihat situasi. Seperti biasa, Keenan selalu menatap A
Sejak pertama kali Ana turun dari tangga rumah Cika dan melihat Beni sudah duduk di ruang tamu bersama sahabatnya itu, otaknya mendadak tidak berfungsi. Ia tidak mampu berpikir dengan jernih tentang dengan siapa sekarang ia bertemu. Di dalam kepalanya masih saja berpikir, jika laki-laki yang tengah berbincang itu adalah laki-laki yang ia sukai, yang ia cintai dan Ana harapkan sebagai jodohnya sehidup semati. Sama seperti Ana tadi, ekspresi terkejut juga langsung Beni tampilkan begitu melihat Ana mendekat. Senyum hangat yang laki-laki itu tampilkan tampak berbeda. Bukan hanya senyum, keseluruhan tampilan Beni juga berbeda. Ada bulu-bulu halus di sekitar rahang, yang sekali pun tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan ada kantong yang terlihat di bawah mata. Rambut laki-laki itu juga sudah terlihat agak panjang dari terakhir Ana melihatnya. Sepertinya dirinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan laki-laki itu. Walau tampilan Beni yang sekarang malah membuatnya m
Dua belas tahun yang lalu.... Seharian dikejar-kejar oleh makhluk yang berjenis kelamin perempuan membuatnya dehidrasi dan kehilangan banyak energi. Keenan harus sembunyi-sembunyi, untuk sekedar ingin membeli makan di kantin. Bisa dihitung dengan jari, kakinya melangkah di area kantin sekolah, sebab dia tidak ingin semakin tidak berenergi. Keenan adalah tipe orang yang akan kehilangan banyak energi, jika ada di keramaian. Dia benar-benar tidak menyukai ada di tengah-tengah orang lain. Apalagi di kerumunan perempuan-perempuan bar-bar yang selalu saja histeris kendati mereka sudah sering bertemu. Kepalanya rasanya mau pecah mendengar kehebohan-kehebohan para siswi. Hingga suatu hari Keenan tidak sengaja terjebak di dalam toilet sekolah. Berulang kali laki-laki itu menggedor-gedor pintu, akan tetapi tidak satu pun manusia yang menyadari. Karena dia terlalu fokus melarikan diri, dia tidak tahu pintu toilet rusak yang mengakibatkan dirinya sampai terkunci
Dari semenjak kaki Ana menginjak area pekarangan rumahnya, jantung Ana sudah berdetak tidak karuan. Walau ragu, ia tetap berusaha melanjutkan langkahnya, karena dia tidak ingin membuat semuanya bertambah sedih lagi.Lalu Ana menghentikan langkahnya, begitu beberapa meter pandangan matanya menangkap bangunan empat lantai yang temboknya bercat krim itu. Perempuan itu menatap lamat-lamat bangunan yang sudah ia tinggali sejak ia dilahirkan.Bangunan yang menyimpan berjuta-juta kenangannya, bangunan tempat ia selalu mengadu segala macam permasalahan yang menimpanya dengan sang mama, juga bangunan tempat dia diam-diam memergoki mamanya selalu menangis di malam hari tanpa tahu alasan beliau apa. Karena pagi harinya sang mama bersikap ceria, memarahinya seperti biasa, dan terlihat tidak terjadi apa-apa. Kini ia tahu, dari mana sifatnya berasal. Berlagak baik-baik saja adalah keahlian yang diturunkan turun temurun oleh keluarganya.Ana yang dulu bingung juga takut, jika
"Aku seneng deh punya kakak cowok, lebih pengertian dari pada kakak cewek," terang Tiara. Suaranya terdengar seperti suara pengeras TOA saat lewat di telinga Ana. "Durhaka!" seru Ana sebal. "Kak Ben, nanti anterin Tiara ngampus lagi, ya? Teman-teman pada suka sama Kakak tapi enggak percaya kalo aku punya kakak cowok secakep Kak Beni. Mau mengaku pacarnya Tiara, eh malah mereka enggak percayanya nambah-nambah. Mereka bilang Tiara gak boleh halu masak, kan sebel!" Beni terkekeh. "Iya nanti Kakak antar.” Ana bergidik geli dengan tingkah Tiara. “Jijik banget sih, Ra!" serunya. "Iri? Bilang booos!" Berbeda dengan Ana yang uring-uringan pada awalnya, adiknya malah sebahagia itu mendengar kenyataan, jika Beni adalah kakak mereka. Bahkan Tiara terang-terangan menunjukkan bahwa dia lebih menyukai Beni dari pada dirinya. Perempuan itu juga sering sekali memamerkan Beni kepada teman-temannya, memalukan sekali. Anak itu suka mengajak Beni