"Lo ... lo apa-apaan sih, Keen!" Jantung Ana hampir lupa dengan tugasnya, begitu Keenan dengan santainya mendekat lalu dengan wajah polos mencomot es krim yang sedang dia pegang dengan mulutnya.
Jarak mereka begitu dekat, bahkan jika dengan sengaja Ana memajukan sedikit kepalanya, maka perempuan itu akan dengan mudah mencium pipi Keenan.
Meskipun fokus Keenan terlihat hanya kepada es krim yang dipegang Ana, bukan berarti sang pemilik es krim juga sama. Perempuan itu mati-matian menahan debaran yang bertabuh di dadanya.
Memang tidak ada perasaan apa pun terhadap Keenan, dan Ana juga termasuk ke dalam golongan perempuan yang tidak gampang terbawa perasaan. Tapi, yah ... walau pun begitu Ana tetaplah perempuan normal, yang lama-lama akan hanyut juga, jika di hadapkan dengan situasi semacam ini yang terus saja terjadi secara berulang-ulang.
Salahkan Keenan yang suka sekali tebar pesona, tanpa melihat situasi.
Seperti biasa, Keenan selalu menatap A
Sejak pertama kali Ana turun dari tangga rumah Cika dan melihat Beni sudah duduk di ruang tamu bersama sahabatnya itu, otaknya mendadak tidak berfungsi. Ia tidak mampu berpikir dengan jernih tentang dengan siapa sekarang ia bertemu. Di dalam kepalanya masih saja berpikir, jika laki-laki yang tengah berbincang itu adalah laki-laki yang ia sukai, yang ia cintai dan Ana harapkan sebagai jodohnya sehidup semati. Sama seperti Ana tadi, ekspresi terkejut juga langsung Beni tampilkan begitu melihat Ana mendekat. Senyum hangat yang laki-laki itu tampilkan tampak berbeda. Bukan hanya senyum, keseluruhan tampilan Beni juga berbeda. Ada bulu-bulu halus di sekitar rahang, yang sekali pun tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan ada kantong yang terlihat di bawah mata. Rambut laki-laki itu juga sudah terlihat agak panjang dari terakhir Ana melihatnya. Sepertinya dirinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan laki-laki itu. Walau tampilan Beni yang sekarang malah membuatnya m
Dua belas tahun yang lalu.... Seharian dikejar-kejar oleh makhluk yang berjenis kelamin perempuan membuatnya dehidrasi dan kehilangan banyak energi. Keenan harus sembunyi-sembunyi, untuk sekedar ingin membeli makan di kantin. Bisa dihitung dengan jari, kakinya melangkah di area kantin sekolah, sebab dia tidak ingin semakin tidak berenergi. Keenan adalah tipe orang yang akan kehilangan banyak energi, jika ada di keramaian. Dia benar-benar tidak menyukai ada di tengah-tengah orang lain. Apalagi di kerumunan perempuan-perempuan bar-bar yang selalu saja histeris kendati mereka sudah sering bertemu. Kepalanya rasanya mau pecah mendengar kehebohan-kehebohan para siswi. Hingga suatu hari Keenan tidak sengaja terjebak di dalam toilet sekolah. Berulang kali laki-laki itu menggedor-gedor pintu, akan tetapi tidak satu pun manusia yang menyadari. Karena dia terlalu fokus melarikan diri, dia tidak tahu pintu toilet rusak yang mengakibatkan dirinya sampai terkunci
Dari semenjak kaki Ana menginjak area pekarangan rumahnya, jantung Ana sudah berdetak tidak karuan. Walau ragu, ia tetap berusaha melanjutkan langkahnya, karena dia tidak ingin membuat semuanya bertambah sedih lagi.Lalu Ana menghentikan langkahnya, begitu beberapa meter pandangan matanya menangkap bangunan empat lantai yang temboknya bercat krim itu. Perempuan itu menatap lamat-lamat bangunan yang sudah ia tinggali sejak ia dilahirkan.Bangunan yang menyimpan berjuta-juta kenangannya, bangunan tempat ia selalu mengadu segala macam permasalahan yang menimpanya dengan sang mama, juga bangunan tempat dia diam-diam memergoki mamanya selalu menangis di malam hari tanpa tahu alasan beliau apa. Karena pagi harinya sang mama bersikap ceria, memarahinya seperti biasa, dan terlihat tidak terjadi apa-apa. Kini ia tahu, dari mana sifatnya berasal. Berlagak baik-baik saja adalah keahlian yang diturunkan turun temurun oleh keluarganya.Ana yang dulu bingung juga takut, jika
"Aku seneng deh punya kakak cowok, lebih pengertian dari pada kakak cewek," terang Tiara. Suaranya terdengar seperti suara pengeras TOA saat lewat di telinga Ana. "Durhaka!" seru Ana sebal. "Kak Ben, nanti anterin Tiara ngampus lagi, ya? Teman-teman pada suka sama Kakak tapi enggak percaya kalo aku punya kakak cowok secakep Kak Beni. Mau mengaku pacarnya Tiara, eh malah mereka enggak percayanya nambah-nambah. Mereka bilang Tiara gak boleh halu masak, kan sebel!" Beni terkekeh. "Iya nanti Kakak antar.” Ana bergidik geli dengan tingkah Tiara. “Jijik banget sih, Ra!" serunya. "Iri? Bilang booos!" Berbeda dengan Ana yang uring-uringan pada awalnya, adiknya malah sebahagia itu mendengar kenyataan, jika Beni adalah kakak mereka. Bahkan Tiara terang-terangan menunjukkan bahwa dia lebih menyukai Beni dari pada dirinya. Perempuan itu juga sering sekali memamerkan Beni kepada teman-temannya, memalukan sekali. Anak itu suka mengajak Beni
Lebih dari dua puluh menit Ana menunggu Keenan di dalam lobi kantornya, dia tidak masalah karena ini bukan yang pertama kali.Satu persatu rekan kerja Ana menyapa saat melewatinya. Ada yang berjalan sendirian, bergerombol dengan teman-teman yang lain, ada juga yang terlihat dijemput, bahkan beberapa orang yang menjemput teman-temannya itu menunggu di sebelahnya untuk sekedar berbincang hal-hal random dengan dirinya. Ana tidak masalah, itu cukup mengusir rasa jenuh karena ketidakpastian.Ana memang sengaja pulang kantor lebih awal demi agar Keenan tidak sampai menunggunya. Tapi, jelas itu adalah keputusan bodoh. Ana benar-benar tidak belajar dari pengalaman. Tidak ada kamus di mana pun yang menuliskan, jika Keenan akan menunggunya atau bahkan tepat waktu saat akan menemuinya.Ana memang nekat, karena dia sungguh penasaran dengan hal apa yang akan dikatakan oleh Keenan. Mengingat kemarin laki-laki itu terlihat sangat serius saat berbicara kepada dirinya. Memikirka
Keenan terdiam, beribu-ribu kata yang seharusnya akan ia lontarkan tadi tiba-tiba melayang. Otaknya mendadak kosong. Kalau saja itu dulu, ajakan itu akan membuatnya bahagia. Tanpa berpikir akibatnya pun dia pasti menyetujuinya. Situasi mereka saat ini sungguh sudah berbeda.Sinta tertawa. “Lupain.” Perempuan itu berjalan menjauh.Begitu Keenan memejamkan kedua matanya, bayangan Ana langsung berkelebat di dalam kepalanya. Harusnya hari ini ia bersama dengan Ana, wanita itu pasti sekarang tengah menunggu dirinya.Kenapa saat dia sudah berani dan berniat mengungkapkan isi hatinya, ada saja masalah yang menahannya. Harus bagaimana dia sekarang?Mata Keenan makin erat memejam, sebelum akhirnya ia buka kembali. Laki-laki itu lalu menatap punggung Sinta yang semakin lama semakin menjauh.Dari semenjak ia berjalan membuntuti Sinta tadi, seharusnya dia sudah bisa menebak. Sedikit banyak, hal seperti ini akan terjadi kepadanya."Kalo itu p
"Lo ternyata lebih brengsek dari yang gue pikir, Keen!!" Beni benar-benar marah dia tidak peduli bahwa yang tengah ia pukuli sekarang adalah atasannya di kantor.Ini seperti kesempatan emas untuk mengeluarkan segala unek-unek yang ada di hatinya selama ini. Semacam pelampiasan segala masalah yang ada di hidup Beni.Puncak dari segala puncak adalah sebuah undangan yang sekarang ada di meja kerjanya. Bukan undangan yang bertuliskan nama Ana dan Keenan melainkan nama Sinta yang tertera di sana.Menjengkelkan sekali, kenapa masalah seperti lingkaran setan di hidupnya tidak pernah ada habisnya? Memikirkan bagaimana keadaan Ana begitu melihat undangan ini sungguh menakutkan baginya. Setelah dia menyakiti perempuan itu, sekarang ada lagi yang menambah luka sakit di hidup Ana. Dirinya pikir melihat perempuan itu akhir-akhir ini bisa membuat perasaannya lega. Ana terlihat lebih bahagia dari pada biasanya saat bersama dengan Keenan.Orang-orang berusaha memisahkann
“Lo mau nikah sama Keenan?""Sudah gue duga lo mau nanyain ini,” balas Sinta. Bahkan perempuan itu belum sepenuhnya meletakkan bokong miliknya di atas kursi yang ada di sebuah tempat makan. Walau agak sangsi juga keduanya akan makan di tempat ini, saat melihat perangai dari Beni."Keenan gak cinta sama lo," ujar Beni to the point.Sinta tertawa getir. Beni benar-benar sudah banyak berubah. Laki-laki itu dulu akan memikirkan perasaannya terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Sekarang bahkan sorot matanya saja sudah berbeda. Tidak ada lagi keberpihakan laki-laki itu kepadanya, tidak ada Beni yang akan membelanya seperti dulu. Sahabat sekaligus cinta pertamanya sudah jauh berjarak dengan dirinya. Dan itu karena satu wanita.“Keenan, gue gak tahu apa alasan pastinya. Yang jelas mungkin lo menjebaknya atau entahlah yang membuat bocah bodoh itu mau menikah sama lo.”Sinta menyeringai, bahkan untuk dia merasa sakit hati pun s