Lebih dari dua puluh menit Ana menunggu Keenan di dalam lobi kantornya, dia tidak masalah karena ini bukan yang pertama kali.
Satu persatu rekan kerja Ana menyapa saat melewatinya. Ada yang berjalan sendirian, bergerombol dengan teman-teman yang lain, ada juga yang terlihat dijemput, bahkan beberapa orang yang menjemput teman-temannya itu menunggu di sebelahnya untuk sekedar berbincang hal-hal random dengan dirinya. Ana tidak masalah, itu cukup mengusir rasa jenuh karena ketidakpastian.
Ana memang sengaja pulang kantor lebih awal demi agar Keenan tidak sampai menunggunya. Tapi, jelas itu adalah keputusan bodoh. Ana benar-benar tidak belajar dari pengalaman. Tidak ada kamus di mana pun yang menuliskan, jika Keenan akan menunggunya atau bahkan tepat waktu saat akan menemuinya.
Ana memang nekat, karena dia sungguh penasaran dengan hal apa yang akan dikatakan oleh Keenan. Mengingat kemarin laki-laki itu terlihat sangat serius saat berbicara kepada dirinya. Memikirka
Keenan terdiam, beribu-ribu kata yang seharusnya akan ia lontarkan tadi tiba-tiba melayang. Otaknya mendadak kosong. Kalau saja itu dulu, ajakan itu akan membuatnya bahagia. Tanpa berpikir akibatnya pun dia pasti menyetujuinya. Situasi mereka saat ini sungguh sudah berbeda.Sinta tertawa. “Lupain.” Perempuan itu berjalan menjauh.Begitu Keenan memejamkan kedua matanya, bayangan Ana langsung berkelebat di dalam kepalanya. Harusnya hari ini ia bersama dengan Ana, wanita itu pasti sekarang tengah menunggu dirinya.Kenapa saat dia sudah berani dan berniat mengungkapkan isi hatinya, ada saja masalah yang menahannya. Harus bagaimana dia sekarang?Mata Keenan makin erat memejam, sebelum akhirnya ia buka kembali. Laki-laki itu lalu menatap punggung Sinta yang semakin lama semakin menjauh.Dari semenjak ia berjalan membuntuti Sinta tadi, seharusnya dia sudah bisa menebak. Sedikit banyak, hal seperti ini akan terjadi kepadanya."Kalo itu p
"Lo ternyata lebih brengsek dari yang gue pikir, Keen!!" Beni benar-benar marah dia tidak peduli bahwa yang tengah ia pukuli sekarang adalah atasannya di kantor.Ini seperti kesempatan emas untuk mengeluarkan segala unek-unek yang ada di hatinya selama ini. Semacam pelampiasan segala masalah yang ada di hidup Beni.Puncak dari segala puncak adalah sebuah undangan yang sekarang ada di meja kerjanya. Bukan undangan yang bertuliskan nama Ana dan Keenan melainkan nama Sinta yang tertera di sana.Menjengkelkan sekali, kenapa masalah seperti lingkaran setan di hidupnya tidak pernah ada habisnya? Memikirkan bagaimana keadaan Ana begitu melihat undangan ini sungguh menakutkan baginya. Setelah dia menyakiti perempuan itu, sekarang ada lagi yang menambah luka sakit di hidup Ana. Dirinya pikir melihat perempuan itu akhir-akhir ini bisa membuat perasaannya lega. Ana terlihat lebih bahagia dari pada biasanya saat bersama dengan Keenan.Orang-orang berusaha memisahkann
“Lo mau nikah sama Keenan?""Sudah gue duga lo mau nanyain ini,” balas Sinta. Bahkan perempuan itu belum sepenuhnya meletakkan bokong miliknya di atas kursi yang ada di sebuah tempat makan. Walau agak sangsi juga keduanya akan makan di tempat ini, saat melihat perangai dari Beni."Keenan gak cinta sama lo," ujar Beni to the point.Sinta tertawa getir. Beni benar-benar sudah banyak berubah. Laki-laki itu dulu akan memikirkan perasaannya terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Sekarang bahkan sorot matanya saja sudah berbeda. Tidak ada lagi keberpihakan laki-laki itu kepadanya, tidak ada Beni yang akan membelanya seperti dulu. Sahabat sekaligus cinta pertamanya sudah jauh berjarak dengan dirinya. Dan itu karena satu wanita.“Keenan, gue gak tahu apa alasan pastinya. Yang jelas mungkin lo menjebaknya atau entahlah yang membuat bocah bodoh itu mau menikah sama lo.”Sinta menyeringai, bahkan untuk dia merasa sakit hati pun s
“Gak nyangka banget kamu ternyata adik Beni, An. Kalian mirip sih,” ujar Daren di sela-sela ia mengendarai mobilnya.Ana lebih tidak menyangka lagi, dia bahkan sampai kabur dari rumah karena mengetahui kenyataan itu. Tapi, tidak mungkin Ana mengatakan hal itu kepada Daren, jadi yang ia lakukan hanya tersenyum saja mengamini.Mirip, semua orang juga mengatakan hal yang sama. Dikatakan seperti itu, dulu Ana begitu senang, karena banyak yang bilang jika pasangan kita mirip itu berarti mereka sungguh berjodoh. Ternyata alasan keduanya mirip, sebab memang mereka bersaudara.“Kok berhenti Daren?” tanya Ana, menyadari mobil yang mereka kendarai berhenti di tepian jalan.“Makan dulu, ya?” ajak Daren dengan menunjuk sebuah tempat makan yang ternyata ada di depan mereka.Ajakan Daren mengingatkan Ana, bahwa ternyata dia memang seharian belum mengisi perutnya.Ana tidak menyangka di pinggiran kota Jakarta ada tempat
"Ana mana, Ma?" tanya Beni."Itu dia lagi kasih makan Lion,” tunjuk sang mama di tengah-tengah ia mengadon kue. Nyonya Kamila baru mendapat resep kue terbaru dari teman arisannya, karena itu ibu dari tiga manusia itu sedang dalam masa tidak mau berpisah dari dapur kesayangannya.“Kok kak Ana aja yang dicari Kak Ben?” Tiara tentu saja merasa iri.“Aku kan tahu Ra kamu ada.” Beni sudah melihat Tiara dari tadi mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Mencomot kue yang baru keluar dari oven lalu kembali lagi untuk menonton televisi, begitu saja terus. Alasannya tidak mengambil beberapa kue sekalian, karena dia harus menggelontorkan lemak dulu untuk berjalan kaki sebelum mengisi badannya dengan energi."Ada apa, Ben?" Beni terlonjak saat tiba-tiba Ana muncul dari bawah meja dengan membawa kucing gembul kesayangannya yang bernama Lion. Menoleh sekilas wanita itu berjalan menuju kandang Lion dan berjongkok untuk memberi makan
Keenan tahu ini salah, tapi dia tidak bisa menghentikannya. Hanya dengan mendapatkan luka di tubuhnya, maka akan membuat luka hatinya sedikit menjadi samar. Hanya samar, tidak benar-benar hilang walau sementara.Ini murni keputusan Keenan sendiri, dia sudah memikirkan segala konsekuensi yang akan terjadi akibat keputusan dadakannya. Salahnya, pengaruhnya tidak ia prediksi akan menjadi sehebat ini.Pengaruh Ana tidak ia sangka seluar biasa ini.Seluruh badannya seolah kebas saking banyaknya ia menerima pukulan dan tendangan yang dia tidak tahu siapa orang itu yang memukulnya. Dia hanya secara acak mencari gara-gara, agar mereka memukulinya dan alih-alih dendam, Keenan malah berterimaksih kepada orang-orang itu.Dengan tertatih ia berjalan menuju mobilnya, menarik napas sejenak sebelum ia melajukan mobilnya kembali. Laki-laki itu hanya singgah saat melihat beberapa orang bergerombol, dan untungnya ia tidak sampai mati.Berkeliling di jalanan seperti
Ana benar-benar terkejut saat membuka pintu, Keenan sudah berdiri di sana di antara pintu tersenyum kaku ke arahnya. Setelah beberapa hari ia bersusah payah menata hidupnya, laki-laki itu datang lagi memorak-porandakannya. Usaha Ana sungguh akan sia-sia, dia akan kembali lagi ke tahap awal saat baru pertama kali tahu, bahwa laki-laki itu tidak bisa lagi menjadi harapannya.Keadaan Keenan sudah tampak membaik dari terakhir kali Ana melihatnya, walau beberapa luka masih terlihat samar, belum seratus persen memudar. Akan tetapi, itu sudah cukup melegakan bagi dirinya. Laki-laki itu secara fisik sudah terlihat baik-baik saja.“Boleh masuk?” tanya Keenan.Ana tergagap, cukup aneh berhadapan dengan Keenan dalam mode serius seperti ini. Tapi bagaimana lagi, dia juga harus memerankan perannya. Dia pun mengangguk mempersilahkan dan berjalan mendahului Keenan. Agak aneh memang dengan dia yang memperlakukan laki-laki itu seperti seorang tamu yang baru berkunjun
Beni menatap iba pada laki-laki yang berada di hadapannya ini, luka akibat pukulannya beberapa waktu yang lalu saja masih terlihat di wajahnya walau samar.Keenan tampak jauh terlihat lebih kacau dari dirinya tempo hari setelah mengetahui bahwa Ana ternyata adalah adiknya. Laki-laki itu bahkan sampai menghabiskan berbotol-botol minuman yang membuat dia jadi tidak berdaya seperti saat ini.Harusnya Keenan bahagia, mengingat beberapa minggu lagi laki-laki itu akan menikah. Tidak malah mabuk-mabukan dan meminta dirinya untuk menjemputnya di tempat seperti ini. Padahal Beni dulu memutuskan tidak akan pernah datang ke tempat seperti ini lagi, setelah Ana menamparnya tempo hari.“Hari ini bersejarah banget, Ben. Ayo bantu gue merayakannya.” Keenan memberinya sebuah gelas berisikan minuman lalu dia sendiri yang malah meminumnya. Beni tersenyum kecut, ternyata dirinya hanya disuruh saja memegangkan gelas itu.“Jadi lo minta gue datang ke sini cu
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be