Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
"Sayang ... bisa ya?" rayu Ana kesekian kalinya. Sudah seminggu ini Ana mencoba membujuk kekasihnya Beni untuk menghadiri acara ulang tahun mamanya, tapi usahanya tetap saja sia-sia. Meskipun dari awal dia sudah menyiapkan hatinya untuk jawaban yang akan keluar dari mulut kekasihnya, tetap saja rasa kecewa itu masih ada. Dia berlagak baik-baik saja di depan Beni, dan sialnya Beni mempercayainya. Hubungan mereka seperti jalan di tempat, sama sekali tidak ada kemajuan. Walau sudah tujuh tahun mereka berpacaran, tapi satu sama lain belum juga sama-sama saling memahami. Setidaknya, itu yang dirasakan Ana. Beberapa tahun belakangan ini, Beni selalu menolak diajak bertemu oleh kedua orang tua Ana, bahkan Ana lupa apa saja alasan dari kekasihnya itu karena saking banyaknya. Berawal dari acara ulang tahun mamanya yang keempat puluh empat tepatnya di tahun kelima mereka berpacaran, waktu itu Ana mengajak Beni untuk hadir, tetapi tanggapan k
Satu jam lagi harusnya Ana sudah ada di kantor, tapi walau sudah rapi siap untuk berangkat dia masih harus menunggu waktu yang tepat supaya bisa keluar dari kamar dengan aman. Sudah dua minggu ini ia menghindari orang rumah, berangkat kerja sepagi mungkin dan pulang saat penghuni rumah sudah tertidur. Sayangnya hari ini ia bangun kesiangan, jadi semoga saja ia tidak harus berpapasan dengan sang mama. Ia melihat jam di pergelangan tangan miliknya, membuang napas saat angka tujuh muncul dari dalam sana. Mengendap-endap ia memberanikan diri keluar dari kamar miliknya, bibirnya mulai bergerak membentuk senyuman saat ia berhasil melihat pintu gerbang rumahnya. Akan tetapi ternyata dia terlalu cepat untuk berbahagia, sebelum dia dapat menggapai pintu gerbang rumahnya suara sang mama membuyarkan rencananya. "An, ke sini sebentar Mama sama papa mau ngomong sama kamu," panggil sang mama dari belakang sana. Ana membeku sampai saat mama memegang tangan dan menuntun diri
Ana menopang dagu, menoleh ke arah jendela di samping ia duduk, menatap lalu-lalang orang-orang dari dalam kafe, lalu mendial nomor atas nama Cika. Sahabat sejak SMA-nya dulu. "Hey!" Belum sempat ia menelepon, sahabatnya itu sudah muncul di hadapannya. Kebiasaan baik Cika adalah tepat waktu, bertolak belakang dengan dirinya yang dari zaman SMA seringnya datang paling akhir. Ana merasa jika di dunia ini semuanya tepat waktu, maka dunia jadi terasa tidak asyik, maka Analah yang harus berbaik hati melengkapi dunia itu. Tidak ada pilihan lain, kan? Ya, tentu saja itu hanyalah dalih dari Ana saja. Cika tersenyum cantik dan mengambil tempat duduk tepat di hadapannya. Anggun sekali, waktu benar-benar berlari begitu cepat. Cika teman sebangkunya yang sering berlari dengan rok dijinjing, kini sudah menjabat sebagai direktur salah satu perusahaan fashion terbesar di Jakarta. Ana menjadi salah satu desainer juga yang bekerja di dalamnya. "Sorry b
Keenan melihat Ana dari kejauhan, sempat terbengong beberapa detik melihat tampilan wanita itu yang tidak biasa. Wanita itu berdandan dan memakai kebaya. Dia tidak menyangka, jika Ana bisa melakukannya. "Kenapa lo bawa ransel gede gitu?" tanya Keenan begitu sampai di tempat mereka janjian. Ia merasa aneh dengan ketidak sesuaian tampilan dari wanita yang ada di depannya itu. "Kenapa lo baru sampai? Ini sudah satu jam tahu, gue nunggu!" serbu Ana tidak berniat menjawab pertanyaan dari Keenan. Lagi pula, mau Ana pakai ransel atau tas karung beras juga bukan urusan dia. "Lonya aja yang kegirangan mau ketemu gue jadi lo sengaja, kan datang tepat waktu? Biasanya juga lo lelet." "Gue lebih tepat waktu dari pada lo!" balas Ana penuh emosi. Ia lalu berdehem, memandangi tampilan laki-laki di hadapannya. Jika dilihat-lihat tampilan mereka agak ... begitu mirip. "Lo habis kondangan? Klimis amat," sindir Ana saat melihat tampilan Keenan yang juga t
Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain. Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini. Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui. Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terja