Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain.
Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini.
Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui.
Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terjadi. Mamanya tidak tahu saja, jika calon mantu idamannya itu adalah manusia paling menyebalkan di muka bumi ini.
Ana berkali-kali melihat jam di layar ponsel miliknya, jika tidak salah hitung sudah tiga puluh menit ia menunggu di sini. Lagi pula, kenapa orang yang katanya terlanjur kaya sabtu-sabtu gini masih juga bekerja? Dia curiga, sebenarnya Keenan bukanlah anak kandung dari keluarganya, sebab tidak ada mirip-miripnya laki-laki itu dengan ayahnya, yang masih terlihat ganteng walau usianya sudah tidak muda.
Menyipitkan kedua matanya, saat kembali Ana melihat laki-laki yang beberapa hari yang lalu sudah resmi menjadi tunangannya.
Lihat, bahkan laki-laki itu berjalan dengan begitu santainya, padahal sudah tiga puluh menit Ana menunggunya di sini.
"Kenapa muka lo? Jelek amat," ejek Keenan.
Ana sibuk dengan ponsel miliknya pura-pura tidak mendengar perkataan Keenan, padahal sebenarnya yang dia lakukan hanyalah menscroll ponsel miliknya itu tanpa tujuan. Biar saja, biar laki-laki itu sadar jika dirinya sedang marah.
“An...,” panggil Keenan.
"An!" teriak Keenan tepat di telinga Ana.
Saking kagetnya, tangan Ana otomatis memukul kepala laki-laki itu.
Keenan mengusap kepalanya. "Santai aja sih!" geramnya. Ia pun lalu melihat bingkisan yang dibawa oleh Ana. "Apa itu?" tanyanya kemudian.
Ana melihat apa yang ia bawa lalu melempar bingkisan itu kepada Keenan. "Titipan dari mama, gak tahu juga apa isinya," tuturnya.
Ia malas mengingat betapa mamanya mendorong-dorongnya agar segera keluar dari rumah, padahal menurut Ana, bisa juga kan mengirim bingkisan itu dengan jasa pengiriman atau paling tidak menunggu sampai Keenan pulang dulu ke rumahnya. Bukan Ana ingin bertamu ke rumah Keenan, dia hanya tidak ingin ada kejadian dia harus bertemu dengan Beni.
"Oh...," balas Keenan singkat lalu menarik tangan Ana begitu perempuan itu berbalik dan akan langsung pergi.
Ana menepis cekalan tangan Keenan. "Jangan pegang-pegang! Apaan sih...," sungutnya tidak suka.
Tangan Ana terlalu suci untuk manusia songong seperti Keenan.
"Mau ke mana?" tanya Keenan. Dia bertanya tapi raut wajah laki-laki itu selalu sukses bikin Ana naik darah saking menyebalkannya.
"Gak usah banyak tanya, yang jelas gue sibuk!"
"Sibuk?"
"Iya, gue mau bikin planning masa depan."
"Jangan sok gaya-gaya planning masa depan segala deh ... bilang aja lo mau molor."
"Terus apa hubungannya sama situ?"
"Mau bareng?" tawar Keenan tiba-tiba.
Ana melongo. "Gue gak salah dengar, kan?"
"Mau enggak?"
"Ya jelas enggaklah...," tolak Ana jelas tanpa berpikir. Lagi pula aneh banget itu manusia pasti ada maunya, tidak mungkin laki-laki itu menawarkan sesuatu tanpa ada pamrih di baliknya.
"Ya udah," jawab laki-laki itu santai tanpa beban.
Keenan berbalik dan berniat akan pergi, lagian toh dia hanya basa-basi saja. Tetapi begitu kakinya baru satu langkah melangkah, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Ana dari belakang. Bahkan Keenan sampai menubruk tubuh perempuan itu saking kuatnya tarikan tangannya.
Keenan dibuat melotot dengan kekuatan Ana, apa lagi begitu Ana mulai memeluk dirinya.
"Lo gil ... mmpf...."
Buru-buru Ana membungkam mulut Keenan dengan salah satu tangannya, agar laki-laki itu berhenti berbicara.
"Ssst ... jangan GR, ada Beni," bisik Ana.
Keenan berontak tapi herannya tenaganya kalah oleh perempuan yang terlihat mungil itu. Ana tersenyum yang menurut pandangan Keenan, itu merupakan sebuah seringaian dari pada sebuah senyuman.
Akhirnya Ana melepas pelukannya, tersenyum ke arah Keenan, lalu mengamit tangan laki-laki itu. "Ayo pulang," katanya kemudian.
"Tas gu--"
"Aku," potong Ana dengan menekankan kata “aku” sambil membungkam mulut Keenan dengan jari telunjuknya.
"Tas aku masih di dalam," ralat Keenan.
Sial kenapa dia mau saja mengikuti perintah dari perempuan jahat itu?
"Ok, aku tunggu di sini," ucap Ana. Ia melirik Beni yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka berdua.
Buru-buru Keenan berbalik, tepat di belakangnya, ia melihat Beni tengah melirik cincin yang melekat di jari manisnya.
"Lo udah mau pulang, Ben?" tanya Keenan basa-basi.
Beni mengangguk, tapi pandangan matanya tak bisa lepas dari cincin yang di pakai oleh Keenan. Berganti, pandangan matanya lalu tertuju pada jari tangan Ana yang berdiri tepat di belakang Keenan. Bola matanya bergetar, perasaannya campur aduk.
Sepeninggal Keenan, Ana menunduk berniat kembali duduk pada kursi yang digunakannya untuk menunggu Keenan. Tentu saja, demi menghindari berpapasan dengan Beni.
"Selamat...," tutur Beni lirih.
Bukan itu yang Ana ingin dengarkan. Dari pada ucapan selamat, yang dia inginkan hanyalah kata maaf. Dia ingin Beni meminta maaf ke pada dirinya atau paling tidak menjelaskan kenapa dia melakukan hal seperti itu ke pada dirinya. Sampai kapan pun Ana masih belum mempercayai apa yang beberapa hari yang lalu ia lihat. Dia tidak percaya Beni seperti itu. Dia mengenal Beni, itu yang coba ia percayai.
Ana hanya diam, dia tidak sanggup walau hanya membalas ya, pada ucapan Beni.
Cukup lama Beni berdiri mematung di belakangnya, Ana tidak tahu kenapa Beni harus berlaku demikian. Bukan kah dia sudah mendapatkan pengganti yang lebih dari Ana? Tapi, kenapa yang Ana lihat jika laki-laki itu tidak bahagia? Laki-laki itu pun, akhirnya pergi dan beberapa waktu kemudian Keenan sudah kembali datang menemuinya.
"Lo jadi bareng?" tanya Keenan memastikan.
Ana menggeleng. "Gue duluan aja."
Keenan menahan tangan Ana, ia memandangi mata perempuan itu yang mulai memerah. Sepertinya, perempuan itu baru saja menangis. Mereka sempat terdiam cukup lama, hingga tiba-tiba Keenan menarik tangan Ana dan membawa perempuan itu bersembunyi.
"Kenapa sih lo! Dibilang jangan peg--"
"Ssst ... ada cewek gue," potong Keenan buru-buru.
Ana melotot mencari sosok yang dimaksud oleh Keenan.
"An, dia ke sini!"
Belum sempat Ana bisa melihat perempuan yang dimaksud oleh Keenan, laki-laki itu dengan teganya sudah mendorongnya masuk ke dalam lift yang ada di belakangnya.
"An ... lo ke atas dulu, ya? Please ... cewek gue nanti bisa salah paham. Lo pulang sendiri aja, ok!" tutur Keenan panjang lebar dengan membelakangi dirinya. Laki-laki itu pun berjalan pergi meninggalkan Ana begitu saja.
Ana memijat pelipisnya sembari melihat angka-angka di depannya yang terus berjalan. Dia di bawa ke lantai tiga puluh, Ana sendiri tidak tahu ke tempat apa yang ia akan tuju. Dia tersenyum tapi air matanya terus saja keluar. Betapa mirisnya dirinya ini?
"Kamu enggak kenapa-napa?" tanya seseorang yang berada di belakangnya.
Ana melotot melihat pantulan di pintu lift, karena ternyata ada seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa,
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. B
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. "Terus kamu nyuruh aku pak
"Cik mau makan di sini yakin lo?" Cika mengangguk sambil tersenyum. Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman. "Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?" Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya. Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"
"Ngapain lo senyum-senyum?" Ana menopang dagu menatap menu-menu yang tadi ia pesan bersama Keenan dengan tatapan malas. Laki-laki itu tidak tahu apa, jika saat ini dirinya sedang dilanda rasa bosan yang amat sekali. Sudah hampir satu jam Ana hanya diam di sini melihat Keenan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Di menit kesepuluh perempuan itu masih mencoba untuk tetap baik-baik saja. Akan tetapi di menit-menit selanjutnya dia sudah tidak tahan lagi. Keenan menggelengkan kepalanya. Entah kenapa melihat sesuatu yang ia beli kemarin sekarang berada di leher Ana, membuat dia senang setengah mati. "Kalung lo bagus. Siapa yang beli?" tanya Keenan. "Elo! Puas?" Lagi, Keenan tertawa setelahnya. Semakin lama hubungannya dengan Ana semakin berjalan dengan baik, itu menurutnya. Walau kata-kata yang mereka ucapkan satu sama lain masih banyak yang terkadang memicu amarah, akan tetapi mereka masih bisa melanjutkannya dengan obrolan tanpa adanya baku hant
"Weeee ... beneran ini kalian memang pacaran?" Adit berlari memukul bahu Keenan dari belakang. Laki-laki itu begitu antusias melihat teman misteriusnya yang tidak pernah mengumbar hal-hal pribadinya itu sekarang kedapatan tengah dekat dengan seorang wanita. Keenan terlihat ramah dengan siapa saja, tetapi sebenarnya dari pada dengan yang lain, laki-laki itu yang paling jarang berbaur dengan yang lainnya. Hanya dengan Adit, Raka, dan Beni sajalah dia bisa berbicara dengan santai. Walau banyak perempuan yang tertarik dengannya pun, tidak pernah terlihat sama sekali dia menanggapinya. "Muka lo kayak abis ketangkap basah aja, Keen?" tanya Adit macam detektif. "Jadi beneran?" Adit menyenggol lengan Keenan. Niat Adit sih bukan apa-apa. Sekedar ingin bercanda saja dengan Keenan, mereka pacaran pun sebenarnya tidak penting juga buatnya. Akan tetapi mengapa ekspresi keduanya seperti orang yang tengah terciduk oleh Satpol PP? Keenan dan Sinta saling tatap. Laki-
Keenan sungguh benar-benar tampak bodoh. Banyak mata selama ini yang ternyata selalu mengawasi dia di mana saja dan harusnya ia tahu. Senyum sinis kedua orang tuanya masih terpatri dengan jelas di dalam otak laki-laki itu, ketika dia menjelaskan kenyataan yang sebenarnya. Ternyata keduanya hanya menunggu Keenan untuk berkata jujur. Itulah sebabnya tidak terlihat sama sekali raut keterkejutan dari wajah mama atau pun papa Keenan. Keenan menghela napas berat. Kepalanya sekarang dipenuhi oleh apa yang dikatakan kedua orang tuanya beberapa waktu yang lalu. Papa dan mama Keenan mengatakan, jika memutuskan pertunangan dengan Ana adalah perkara yang mudah, asal laki-laki itu siap dicoret dari daftar anggota keluarga Bagaskara. Tentu saja Keenan belum seberani itu. Ia masih sangat menyayangi kedua orang tuanya. Drrrrrt ... drrrrrrt.... "Halo. Apa! Iya ... iya, aku ke sana sekarang." Keenan segera bergegas begitu mendapatkan telepon dari Sinta yang terdengar b
Hari ini Ana memutuskan untuk tidak masuk kerja dulu. Dia tidak mungkin masuk kerja dengan tampilan macam preman habis dikeroyok warga seperti ini. Tidak apalah, hitung-hitung istirahat dari semua masalahnya juga. Kemarin sesuai prediksi dari Ana, mamanya benar-benar menelepon Cika. Untungnya sahabatnya itu sudah tahu apa yang mesti dilakukan, walaupun tanpa adanya briefing terlebih dahulu tentunya. Cika sudah sangat pro memainkan perannya dari zaman sekolah, sehingga Ana tidak perlu mengkhawatirkan masalah tentang dirinya berbohong kepada sang mama. Ada temannya yang selalu bisa diandalkan. Saat Ana sedang asyik bergumul dengan selimut hangatnya, tiba-tiba bunyi ketukan pintu yang bertubi-tubi mengganggu indra pendengarannya. Buru-buru Ana masuk ke dalam kamar mandi dan keluar tiga puluh menit kemudian. Dia sengaja berlama-lama kendati dia hanya cuci muka dan sikat gigi saja. Biar saja orang di luar itu lebih lama menunggu. Itu setimp