Keenan melihat Ana dari kejauhan, sempat terbengong beberapa detik melihat tampilan wanita itu yang tidak biasa. Wanita itu berdandan dan memakai kebaya. Dia tidak menyangka, jika Ana bisa melakukannya.
"Kenapa lo bawa ransel gede gitu?" tanya Keenan begitu sampai di tempat mereka janjian. Ia merasa aneh dengan ketidak sesuaian tampilan dari wanita yang ada di depannya itu.
"Kenapa lo baru sampai? Ini sudah satu jam tahu, gue nunggu!" serbu Ana tidak berniat menjawab pertanyaan dari Keenan.
Lagi pula, mau Ana pakai ransel atau tas karung beras juga bukan urusan dia.
"Lonya aja yang kegirangan mau ketemu gue jadi lo sengaja, kan datang tepat waktu? Biasanya juga lo lelet."
"Gue lebih tepat waktu dari pada lo!" balas Ana penuh emosi. Ia lalu berdehem, memandangi tampilan laki-laki di hadapannya. Jika dilihat-lihat tampilan mereka agak ... begitu mirip.
"Lo habis kondangan? Klimis amat," sindir Ana saat melihat tampilan Keenan yang juga tidak biasa. Laki-laki itu menyisir rambutnya dengan rapi, memakai batik, dan sepatu pantofel.
Keenan otomatis menunduk melihat juga tampilannya. "Gak usah kepo deh, lo!" semburnya kemudian.
Gak ngaca emang tuh cewek....
"Lo ditanya baik-baik nyolot! Udah, lo mau minta tolong apa sama gue?"
"Gue gak minta tolong ya ... gue nyuruh lo balas budi."
Ana memejamkan mata, mengatur napasnya agar tidak lagi terpancing, dan membuat keributan di tempat umum seperti saat ini.
"Ok, lo mau gue balas budi apa?"
Begitu Keenan menarik sudut bibirnya ke atas sembari tersenyum sinis ke arahnya, Ana sadar jika hidupnya setelah ini akan semakin rumit dan tidak akan baik-baik saja.
....đ„đ„....
"Lo pokoknya nanti diam aja ya An, pokoknya iya-iya aja gak usah bawel!" seru Keenan.
Keenan mengambil jaket, lalu melemparnya ke wajah Ana. "Pakai tuh jaket! Gak dingin apa lo pakai baju bolong-bolong seperti itu!"
Ana cemberut memakai jaket yang baru diterimanya. Bukannya dari tadi cowok itu yang lebih bawel? Lagi pula, Ini itu namanya kebaya, apa dia bilang? Baju bolong-bolong? Dasar manusia primitif! Ana melihat sekeliling dan baru menyadari ke mana ia dan Keenan tengah berada.
"Eh, Keen?" panggil Ana gugup. Semoga apa yang baru saja terlintas di kepalanya tidaklah benar.
"Apa?"
"Gue mau ngomong."
"Ntaran ngomongnya," putus Keenan.
"Tapi, Keen?"
"An bawel banget sih lu, bawelnya nanti aja deh ... ditunda dulu!" keluh laki-laki itu.
Keenan lalu berjalan dengan tergesa, tanpa melepas cekalan tangannya dari Ana. Ia akan membekap mulut Ana saat wanita itu mulai akan berbicara, dan begitu seterusnya. Akhirnya, sampailah mereka di dalam sebuah gedung yang sudah banyak orang-orangnya di dalam sana.
Ana tiba-tiba sulit bernapas, jantungnya berpacu dengan begitu cepatnya, apa lagi saat melihat orang-orang yang berpakaian formal itu berseliweran menatap mereka.
Ana menghentikan langkah kakinya, menarik tangan Keenan agar laki-laki itu mau mendengarkannya, walaupun hanya sebentar saja.
"Keen, please dengerin gue...," mohon Ana. Tampangnya entah seperti apa saat ini.
Keenan akhirnya berhenti, ia mengamati wajah Ana yang mendadak terlihat pucat. Ia pun memegang kening Ana dengan telapak tangannya, memastikan keadaan wanita itu. "Enggak panas kok," ucapnya kemudian.
Ana menepis tangan Keenan jengkel. "Emang gue gak sakit dodoool!"
"Jadi kenapa? Lo uda janji tadi, An. Gue juga uda bantuin lo."
Ana sama sekali tidak merasa berjanji apa pun kepada Keenan. Laki-laki itu sendiri yang dengan seenaknya memaksanya, bahkan mengancamnya dengan berbagai macam hal, tapi sekarang bukan itu masalahnya.
"Bukan itu masalahnya, Keen!!!!" sergahnya.
"Terus?"
Keenan memutar kepala mencari keberadaan orang tuanya, tanpa berniat menunggu jawaban dari Ana. Ia semakin bersemangat menarik tangan perempuan itu, begitu berhasil menemukan mereka.
"Ma ... Pa!" panggil Keenan kepada dua pasang manusia yang tengah berdiri tak jauh dari mereka saat ini.
"Dari mana saja kamu? Semua bingung nyariin, tahu enggak?"
"Ma ... Pa ... Keenan gak bisa terima perjodohan ini."
Mama dan papa Keenan saling pandang, lalu berganti menatap Ana, yang ditatap malah mundur bersembunyi di balik punggung Keenan.
Matiiii ... mati ... mati .... habis sudah riwayatnya....
"Keenan sudah punya pacar, Ma. Lebih baik Keenan gak nikah sekalian, kalau enggak sama pacar Keenan. Perjodohan ini lebih baik dibatalin saja, Please...."
Ana hampir tersedak mendengar penuturan Keenan. Laki-laki itu belajar drama dari mana sih? Lebay amat.
"Mama gak setuju, kalau kamu masih berhubungan sama Sinta," tegas mama Keenan.
"Sampai kapan pun Mama gak akan pernah setuju," lanjut beliau.
Kayaknya dari dulu perempuan yang bernama Sinta memang sangat meresahkan. Dari sekian juta penduduk di dunia, herannya kenapa selalu nama itu yang ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Keenan menggeleng. "Keenan udah lama gak berhubungan sama Sinta, ini pacar Keenan yang sekarang."
Demi kutangnya spiderman....
Ana melotot mendengar penuturan Keenan, bahunya benar-benar lemas saat menyadari apa yang ia pikirkan selama ini memanglah benar.
Keenan menoleh dengan ekspresi yang seolah-olah Ana adalah udara yang ia butuhkan, yang bila Ana tidak ada dia akan benar-benar mati. Putus asa sekali sepertinya laki-laki ini, sama juga seperti dirinya.
Keenan menoleh kepada Ana yang bersembunyi di balik punggungnya. Laki-laki itu menariknya, lalu merangkul bahu Ana dengan begitu posesif.
Ana melotot menatap Keenan dengan tampang horor.
Laki-laki ini benar-benar enggak waras....
Kedua orang tua Keenan saling pandang dan malah tersenyum.
"Ma ... Mama bersedia, kan ngebatalin perjodohan ini?"
"Ngapain harus dibatalin?" Papa Keenan kali ini yang mulai bersuara. Laki-laki yang masih kelihatan rupawan, walau sudah berumur itu mendekati anaknya lalu menepuk-nepuk pundaknya.
"An, ya ampun kamu dicari dari tadi!" seru mama Ana.
"Mama...," cicit Ana takut-takut begitu mamanya mendekat ke arahnya.
Keenan menatap wajah Ana kaget. Dia tidak salah dengar, kan? Telinganya masih normal, kan?
"Mama?" tanyanya ragu.
Mama Keenan memeluk mama Ana. "Aduh Jeng, kalau tahu gini gak usah deh pakai acara jodoh-jodoh paksa gini, ternyata mereka pacaran."
"Pacaran?"
Mama Ana bingung, menatap anaknya meminta penjelasan. Ia baru saja bingung mencari anaknya tadi. Sekarang ketika melihat Ana, dirinya semakin dibuat lebih bingung lagi.
"Iya anakku sendiri lo Jeng yang bilang, gak mau nikah kalau gak sama Ana cinta, katanya."
Mama Keenan melirik Keenan jenaka. Kentara sekali jika beliau sangat bahagia mendapati anaknya berpacaran dengan Ana.
Mama Ana memandangi putrinya penuh selidik, berharap anaknya akan memberikan penjelasan. Karena yang dia tahu, pacar Ana terakhir kali adalah Beni. Sampai mendekati hari âHâ pertunangan pun anaknya itu masih saja ngotot memintanya untuk membatalkan acara ini.
Ada yang salah pikirnya, sebab dia kira anaknya tadi kabur....
"Hahaahha...," tawa menghiasi bibir orang tua Keenan, yang mau tidak mau mama Ana ikut juga tertawa dibuatnya.
"Mampus...," batin Ana.
Keenan menatap Ana horor. "An, maksudnya apa?" tanyanya masih belum juga mengerti apa yang sedang terjadi.
"Makanya dengerin dulu gue tadi mau ngomong. Lo sih ... sia-sia gue kabur kalau ujung-ujungnya datang ke sini lagi."
"Lo yang dijodohin sama gue, An?"
Keenan masih saja belum juga memahami apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka, dia benar-benar masih belum seratus persen mencerna apa yang tengah terjadi.
"Gue itu pengen banget narik tuh rambut lo, lalu gue gujek-gujek. Sebel gue sama lo," bisik Ana sarat akan peperangan.
"Sia-sia gue kabur," gerutu Ana lagi. Ia menghembuskan napas lelah setelahnya. Kenapa dia tidak sadar sih dengan kebetulan yang sebenarnya dari tadi sudah menjadi petunjuk?
"Mesra-mesranya nanti dulu ya An, kamu lebih baik ikut mamamu ngerapiin rambut kamu itu," sindir mama Keenan, ketika melihat Keenan dan Ana saling berbisik satu sama lain.
Ana tersenyum canggung, lalu dengan pasrah mengikuti mamanya ke kamar semula ia di make up.
Tempat ini lagi....
"Mau jelasin ke Mama?"
"Gak dijelasin enggak apa-apa deh, yang penting kamu ada di sini bersedia menerima perjodohan ini," lanjut mamanya.
Ana tidak berniat membalas perkataan mamanya, dia sudah lelah dengan gejolak batinnya.
"Mama pikir kamu tadi berniat kabur lo, An...," sindir mamanya.
Padahal sebenarnya mamanya tahu, jika Ana sepertinya memang benar-benar berniat untuk kabur. Entah apa alasannya, anaknya itu kembali lagi ke sini.
Ana merengut, ucapan mamanya terdengar seperti sindiran bagi Ana. "Mbak tolong rapiin rambut saya, ya?" pinta Ana kepada mbak-mbak MUA.
Mama Ana mengendikan bahu, ia mendekati anaknya dan memeluknya.
"Mama sama papa sangat sayang sama kamu dan Tiara, apa pun akan kami lakuin meskipun bertentangan dengan kamu sendiri. Kita lebih tahu siapa anak kita dibanding anaknya sendiri ... kamu mengerti feeling seorang ibu, An?"
Kali ini Ana membalas pelukan mamanya, ia tergugu. Sementara ini biarlah dia mengikuti arus dan takdirnya, mungkin.
"Sekarang gantian Ana, selipkan cincin kejari manis Keenan."
Ana menarik napasnya yang terasa semakin bertambah berat. Mengikuti arahan dari MC, ia pun menautkan cincin itu pada salah satu jari Keenan, lalu tepuk tangan pun terdengar setelahnya.
"Kak, aku tahu kenapa Kakak tadi gak jadi kabur."
Ana menoleh malas ke arah sang adik. Ia dapat melihat, jika Tiara tengah tersenyum manja ke arah Keenan. Beberapa kali bahkan adiknya itu menyelipkan helaian rambut pada telinganya dengan gerakan kalem yang dibuat-buat.
"Karena calon Kakak ternyata ganteng gitu ... tahu gitu aku mau banget kalau aku tadi yang gantiin Kakak, kok gak dilanjut sih kaburnya?"
Ana memutar bola matanya malas.
Tunggu ... jadi adiknya itu tahu, jika dia berniat kabur?
Tiara hanya nyengir lalu kembali mengusap lengan Ana. "Kak ... Kakak...," bisik Tiara.
Ana melotot, dia benar-benar tidak dalam suasana yang sedang baik-baik saja saat ini. Dia malas sekali sebenarnya meladeni adik satu-satunya itu.
"Kak Keenan pakai skincare apa ya? Kok mulus gitu mukanya, aku aja ini ada jerawatnya lo."
Kali ini Ana tidak tinggal diam, ia mendorong muka adiknya dengan telapak tangannya, gemas.
Keenan yang sedari tadi mendengar percakapan kedua orang yang ada di depannya itu tersenyum, ia lalu menaikkan salah satu alisnya menatap Ana. Akan tetapi, perempuan itu malah pura-pura tidak melihatnya.
"Kakak emang gini Kak ... suka main tangan. Jahatnya itu lo, sudah mendarah daging masuk ke dalam sumsum tulang. Kalau nanti Kakak berniat ganti calon sama saya aja ... free bonus kenyamanan dan kasih sayang."
Keenan akhirnya tertawa juga, sejenak melupakan kemelut yang ada di hatinya. Ya, hitung-hitung hiburan sebelum dia memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Karena banyak sekali PR yang musti ia selesaikan.
Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain. Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini. Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui. Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terja
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa,
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. B
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. "Terus kamu nyuruh aku pak
"Cik mau makan di sini yakin lo?" Cika mengangguk sambil tersenyum. Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman. "Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?" Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya. Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"
"Ngapain lo senyum-senyum?" Ana menopang dagu menatap menu-menu yang tadi ia pesan bersama Keenan dengan tatapan malas. Laki-laki itu tidak tahu apa, jika saat ini dirinya sedang dilanda rasa bosan yang amat sekali. Sudah hampir satu jam Ana hanya diam di sini melihat Keenan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Di menit kesepuluh perempuan itu masih mencoba untuk tetap baik-baik saja. Akan tetapi di menit-menit selanjutnya dia sudah tidak tahan lagi. Keenan menggelengkan kepalanya. Entah kenapa melihat sesuatu yang ia beli kemarin sekarang berada di leher Ana, membuat dia senang setengah mati. "Kalung lo bagus. Siapa yang beli?" tanya Keenan. "Elo! Puas?" Lagi, Keenan tertawa setelahnya. Semakin lama hubungannya dengan Ana semakin berjalan dengan baik, itu menurutnya. Walau kata-kata yang mereka ucapkan satu sama lain masih banyak yang terkadang memicu amarah, akan tetapi mereka masih bisa melanjutkannya dengan obrolan tanpa adanya baku hant
"Weeee ... beneran ini kalian memang pacaran?" Adit berlari memukul bahu Keenan dari belakang. Laki-laki itu begitu antusias melihat teman misteriusnya yang tidak pernah mengumbar hal-hal pribadinya itu sekarang kedapatan tengah dekat dengan seorang wanita. Keenan terlihat ramah dengan siapa saja, tetapi sebenarnya dari pada dengan yang lain, laki-laki itu yang paling jarang berbaur dengan yang lainnya. Hanya dengan Adit, Raka, dan Beni sajalah dia bisa berbicara dengan santai. Walau banyak perempuan yang tertarik dengannya pun, tidak pernah terlihat sama sekali dia menanggapinya. "Muka lo kayak abis ketangkap basah aja, Keen?" tanya Adit macam detektif. "Jadi beneran?" Adit menyenggol lengan Keenan. Niat Adit sih bukan apa-apa. Sekedar ingin bercanda saja dengan Keenan, mereka pacaran pun sebenarnya tidak penting juga buatnya. Akan tetapi mengapa ekspresi keduanya seperti orang yang tengah terciduk oleh Satpol PP? Keenan dan Sinta saling tatap. Laki-
Keenan sungguh benar-benar tampak bodoh. Banyak mata selama ini yang ternyata selalu mengawasi dia di mana saja dan harusnya ia tahu. Senyum sinis kedua orang tuanya masih terpatri dengan jelas di dalam otak laki-laki itu, ketika dia menjelaskan kenyataan yang sebenarnya. Ternyata keduanya hanya menunggu Keenan untuk berkata jujur. Itulah sebabnya tidak terlihat sama sekali raut keterkejutan dari wajah mama atau pun papa Keenan. Keenan menghela napas berat. Kepalanya sekarang dipenuhi oleh apa yang dikatakan kedua orang tuanya beberapa waktu yang lalu. Papa dan mama Keenan mengatakan, jika memutuskan pertunangan dengan Ana adalah perkara yang mudah, asal laki-laki itu siap dicoret dari daftar anggota keluarga Bagaskara. Tentu saja Keenan belum seberani itu. Ia masih sangat menyayangi kedua orang tuanya. Drrrrrt ... drrrrrrt.... "Halo. Apa! Iya ... iya, aku ke sana sekarang." Keenan segera bergegas begitu mendapatkan telepon dari Sinta yang terdengar b
âMa, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....â Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.âKenapa, Cik? Ada masalah apa?â tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.âBeni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?â Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.âSudah menunggu lama?â tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. âLumayan,â jawabnya.
âTerus ... apa jawaban lo, An?â tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.âKalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.â Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. âJangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,â tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.âKenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!â sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.âBuruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?â Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. âKeburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.âAna mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.âAn....âSelalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
âIih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!âMengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. âLo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?âAna terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. âEh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?â Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.âJorok, lu!â seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. âYa kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.ââBisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.âAna mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.âIdiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.âKita masih bisa berteman, kan?â ucap Ana menirukan Daren tadi. âGila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?â Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.âKe mana aja sih!â sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be