Satu jam lagi harusnya Ana sudah ada di kantor, tapi walau sudah rapi siap untuk berangkat dia masih harus menunggu waktu yang tepat supaya bisa keluar dari kamar dengan aman. Sudah dua minggu ini ia menghindari orang rumah, berangkat kerja sepagi mungkin dan pulang saat penghuni rumah sudah tertidur. Sayangnya hari ini ia bangun kesiangan, jadi semoga saja ia tidak harus berpapasan dengan sang mama.
Ia melihat jam di pergelangan tangan miliknya, membuang napas saat angka tujuh muncul dari dalam sana. Mengendap-endap ia memberanikan diri keluar dari kamar miliknya, bibirnya mulai bergerak membentuk senyuman saat ia berhasil melihat pintu gerbang rumahnya. Akan tetapi ternyata dia terlalu cepat untuk berbahagia, sebelum dia dapat menggapai pintu gerbang rumahnya suara sang mama membuyarkan rencananya.
"An, ke sini sebentar Mama sama papa mau ngomong sama kamu," panggil sang mama dari belakang sana.
Ana membeku sampai saat mama memegang tangan dan menuntun dirinya untuk kembali masuk ke dalam rumah, dia masih belum bisa berkutik.
Begitu sudah berada di dalam rumah, di sana Ana bisa melihat papanya sudah duduk di sova ruang tamu, ekspresi beliau serius tidak seperti papanya yang biasa. Suasana hari ini benar-benar mencekam lebih mencekam dari pada saat kemarin ia bermain di wahana rumah hantu bersama adiknya Tiara.
"Sudah dua minggu sejak acara ulang tahun Mama, dan Beni masih belum juga berani ke sini?"
Mamanya tersenyum sinis dan itu menakutkan bagi Ana. Mamanya selalu sukses membuat bulu kuduknya merinding.
"Kamu tahu konsekuensinya, kan? Iya, Mama yakin kamu sudah tahu. Itu sebabnya selama ini kamu menghindari Mama, kan? Gedung sudah Mama dan papa siapkan, seminggu lagi acara pertunangan kamu dan kami tidak mau ada protes lagi. Mama dan papa sudah banyak memberi waktu buat kalian," lanjut mamanya.
"Bisa dibatalkan, kalau Beni ke sini melamar kamu. Ya ... kalau dia berani sama Papa dan itu tidak akan mungkin, Papa yakin." Kali ini giliran sang papa yang ikut bersuara.
"Papa sama Mama gak boleh jahat gitu dong sama Ana main jodoh-jodohin, ini udah tahun 2022 Pa ... Maaaa ...!" protes Ana.
"Kita tidak pernah minta apa-apa sama kamu selama ini, selalu menuruti segala apa yang kamu mau ... tidak mengambil kuliah bisnis, tidak meneruskan perusahaan Papa, Papa tidak masalah, tapi Papa akan memilih laki-laki yang cocok, selain cocok untuk menjadi suami kamu juga harus cocok memimpin perusahaan Papa."
Kali ini wajah papa benar-benar terlihat serius, dan Ana tahu jika ini berarti tidak akan baik bagi kelanjutan hubungannya dengan Beni.
"Mama gak suka kamu sama Beni," putus sang mama tanpa memberi alasan yang pasti.
Mama menyilangkan kaki dan bersedekap, hal itu selalu sukses mengintimidasi Ana. "Siapa saja asal jangan Beni," lanjutnya.
"Kenapa Mama segitu gak sukanya si sama Beni?"
Orang tuanya hanya diam saja, jelas pendapatnya tidak akan berpengaruh apa-apa bagi mereka. Ana akhirnya memutuskan meninggalkan mereka, berlari memasuki kamar membatalkan niatnya untuk pergi bekerja.
Ia benar-benar kecewa dengan kedua orang tuanya. Beni, setahu Ana selalu berbuat baik dan bersikap sopan dengan mereka, dia laki-laki yang cukup baik. Ana tahu itu dan dia bisa merasakannya, tapi kenapa mama dan papa setega itu membuat keputusan. Mereka benar-benar aneh dan tentu saja jahat.
"Halo...."
Akhirnya setelah beberapa kali panggilannya berada di luar jangkauan sekarang Ana berhasil juga mendengar suara Beni.
“Ben....”
"Iya Sayang, kenapa?" jawab laki-laki itu.
Ana memijat kepalanya yang mulai berdenyut. Kenapa? Dia tidak habis pikir dari sekian pertanyaan hanya pertanyaan itu yang pertama kali muncul dari mulut sang kekasih, padahal mereka sama sekali belum bertemu sejak insiden dompet Beni yang tertinggal di mobil miliknya. Sudah dua minggu lebih dan hanya kenapa? Beni bahkan tidak mau repot-repot menghubunginya terlebih dahulu.
"Kenapa? Serius? Aku telepon dan kamu hanya tanya kenapa?"
"Kenapa lagi Sayang ... kamu gak kerja? Aku masih kerja ini."
Ana memejamkan mata, mencoba mengais sisa-sisa kesabarannya. "Aku mau dijodohin Ben, seminggu lagi acaranya. Kalau kamu enggak ke sini dalam seminggu ini, kita benar-benar selesai."
"Kalau kamunya enggak mau, itu enggak akan terjadi An, kayak sebelum-sebelumnya," jawab Beni dari seberang sana.
"Kali ini aku enggak bisa tolak, Ben." lirih Ana, ia mulai mengeluarkan buliran air mata. Kenapa dari dulu seperti hanya dia yang berusaha untuk hubungan mereka?
Begitu tak ada balasan dari Beni, akhirnya Ana pun memutuskan menutup telepon miliknya. Ia lalu membuang ponsel pintar itu ke sembarang arah, Jika pun dia diam saja tadi, maka Beni akan melakukan hal sama dan itu akan membuat dirinya semakin kesakitan.
Ini kali terakhir Ana akan menghubungi Beni, jika laki-laki itu tidak berinisiatif menghubunginya lebih dulu, maka dirinya juga tidak akan repot-repot menghubungi laki-laki itu. Akan sangat melelahkan saat lagi-lagi dia kembali harus mengalah atas hubungan mereka.
Beni benar-benar sudah banyak berubah, dulu kekasihnya itu tidaklah seperti itu. Semakin lama Ana semakin tidak bisa mengenalinya.
Beberapa hari ini Ana mulai gelisah, walau pada awalnya dia sudah berultimatum tidak akan menghubungi Beni terlebih dahulu, tetapi pada kenyataannya itu tidaklah mudah.
Rasa rindu yang semakin lama semakin bertumpuk membuatnya semakin goyah.
Sampai tiba-tiba ponsel miliknya bergetar satu pesan gambar dan sebuah alamat muncul dari Tiara, teman SMA-nya dulu.
Ana melebarkan kedua matanya, berharap apa yang dia lihat bukanlah gambar dari sang kekasih. Tapi walau beberapa kali dia mengerjap, gambar itu tetaplah sama dan sama sekali tidak berubah. Di sana ada Beni dengan seorang wanita yang ada di dekatnya.
Buru-buru ia pergi memastikan apa yang dilihatnya baru saja adalah salah.
Dan benar, ada Beni di sana dengan seorang wanita yang tengah bergelayut manja pada bahunya. Mereka terlihat begitu akrab, saling menebar senyum dan entah membicarakan apa yang jelas tampak begitu serunya, seolah hanya ada mereka saja di klub ini dan tidak ada orang lain di sekitarnya.
Seseorang memegang tangan Ana, begitu ia menoleh, di sana Renata menggelengkan kepala sembari menatapnya simpati.
"Pulang yuk, kita begal aja di luar jadi jangan berantem di sini ya, please...," mohon Renata, karena wanita itu pasti tahu apa yang biasa Ana lakukan jika dirinya merasa disakiti.
"Terus kenapa kirim pesan tadi kalau ujung-ujungnya nyuruh gue pulang?"
Bola mata Renata bergerak gelisah. Ana tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan dari temannya itu. Saat Ana masih bergumul dengan pikirannya matanya menangkap sesuatu yang sulit sekali ia terima.
"Beni!" teriak Ana.
Ia menarik bahu Beni menampar laki-laki itu setelahnya. Kali ini Ia benar-benar kecewa, beberapa detik yang lalu ia melihat tepat dengan kedua matanya jika kekasihnya itu sedang berciuman dengan perempuan lain.
Yang lebih konyolnya lagi adalah sikap Beni yang tampak biasa saja mendapati ada dirinya di hadapannya. Tidak ada raut terkejut sama sekali terlihat di wajah Beni, dan detik itu Ana sadar jika dia tidak berpengaruh apa-apa bagi laki-laki itu.
Bahkan, si perempuan dengan tidak punya rasa bersalahnya malah dengan sengaja mengapit lengan Beni begitu posesif, padahal ada dia di sana. Sekali lagi, Beni hanya diam tampak tidak terlihat risi walau lengan tangannya dibelai manja oleh wanita itu.
Ingin rasanya Ana menarik tangan wanita itu atau menjambak rambut panjangnya dengan kasar karena bisa-bisanya ia menyentuh Beni nya sembarangan. Tapi, tidak dia tidak akan membuang-buang energi untuk hal semacam itu.
"Beni yang aku lihat ini tidak benar, kan? Itu cewek yang nyium kamu duluan, kan? Kamu gak ada hubungan apa-apa, kan sama cewek itu?" Ana mencoba mendekati Beni masih berusaha untuk mendengar penjelasan dari Beni. Dia akan memaafkannya jika ini murni benar-benar kesalah pahaman saja. Ya, pasti dia salah paham.
"Yang kamu lihat, itu benar semua An."
Ana mundur satu langkah, bahkan Beni tidak mau repot-repot menyangkalnya.
"Ben?" Ana menggeleng. "Kamu pasti bercanda."
Beni menatap Ana lekat. "Kita ... aku dan dia pacaran An ... aku selingkuh sama dia, bahkan kita udah ngelakuin hal yang lebih dari ciuman kalau kamu mau tahu. Mau aku ceritain?"
"Bohong, aku tahu kamu bohong kamu gak bakat Ben tipu aku."
"Terserah kamu," jawab laki-laki itu acuh.
Beni berbalik, bahkan sekarang satu tangannya berpindah merangkul pinggang si cewek.
"Jadi ini alasan kamu gak mau serius sama aku. Ben?"
Dia sungguh tidak pernah menyangka akan ada hal seperti saat ini.
Beni bergeming tanpa membalikkan badannya.
"Aku mati-matian berusaha untuk hubungan ini dan kamu malah asyik sama cewek lain di belakang aku?"
"Mereka setuju, keluarga dia setuju, semua keluarganya setuju. Aku enggak perlu mohon-mohon ke keluarga dia buat menerima aku jadi cowoknya," tutur Beni. Laki-laki itu sekarang bahkan enggan menatapnya.
"Maksud kamu?"
"Aku enggak perlu repot-repot ngeyakinin keluarganya seperti yang aku lakuin ke keluarga kamu."
"Bukannya banci itu namanya Ben?"
Laki-laki itu diam, sepertinya terkena pukulan telak.
"Aku dengan bodohnya berharap, nunggu kamu menghubungi aku ... aku berharap lebih sama kamu Ben...."
Ana mati-matian menahan air matanya agar tidak sampai jatuh di depan Beni, laki-laki brengsek yang sayangnya sangat ia cintai.
"Kalo Beni uda enggak mau sama elo ya gak usah mengiba! Takut gak ada yang mau lagi sama elo?"
Ana menggigit bibirnya menahan amukan. Dia harus berpikir jernih jangan lagi memakai kekerasan, jangan sampai dia lebih malu lagi dari ini.
Ketika dia melihat sosok laki-laki yang begitu dikenalinya, dia tidak lagi bisa berpikir panjang.
Ana berjalan menghampiri laki-laki tersebut mengapit lengannya lalu menyeretnya di hadapan Beni dan kekasih barunya. Ana kacau, tapi harga dirinya tidak bisa direndahkan seperti ini apalagi di hadapan selingkuhan Beni.
"Please deh Mbak yang mau sama gue banyak ... ini kenalin calon tunangan gue, Ben." Ana melirik si perempuan yang berada di dekat Beni. "Kamu kenal dia, kan? Sekarang aku mutusin buat terima dia," terangnya.
"Tadinya aku masih berharap banyak sama kamu, bela-belain buat nemuin kamu, tapi setelah melihat kamu sama dia aku yakin keputusan orang tuaku ternyata keputusan yang paling tepat," lanjut Ana.
Si cewek yang dekat dengan Beni dan juga Renata yang masih berdiri di samping Ana sama-sama melotot saking kagetnya.
"Keenan?" ucap mereka berbarengan.
Ana menopang dagu, menoleh ke arah jendela di samping ia duduk, menatap lalu-lalang orang-orang dari dalam kafe, lalu mendial nomor atas nama Cika. Sahabat sejak SMA-nya dulu. "Hey!" Belum sempat ia menelepon, sahabatnya itu sudah muncul di hadapannya. Kebiasaan baik Cika adalah tepat waktu, bertolak belakang dengan dirinya yang dari zaman SMA seringnya datang paling akhir. Ana merasa jika di dunia ini semuanya tepat waktu, maka dunia jadi terasa tidak asyik, maka Analah yang harus berbaik hati melengkapi dunia itu. Tidak ada pilihan lain, kan? Ya, tentu saja itu hanyalah dalih dari Ana saja. Cika tersenyum cantik dan mengambil tempat duduk tepat di hadapannya. Anggun sekali, waktu benar-benar berlari begitu cepat. Cika teman sebangkunya yang sering berlari dengan rok dijinjing, kini sudah menjabat sebagai direktur salah satu perusahaan fashion terbesar di Jakarta. Ana menjadi salah satu desainer juga yang bekerja di dalamnya. "Sorry b
Keenan melihat Ana dari kejauhan, sempat terbengong beberapa detik melihat tampilan wanita itu yang tidak biasa. Wanita itu berdandan dan memakai kebaya. Dia tidak menyangka, jika Ana bisa melakukannya. "Kenapa lo bawa ransel gede gitu?" tanya Keenan begitu sampai di tempat mereka janjian. Ia merasa aneh dengan ketidak sesuaian tampilan dari wanita yang ada di depannya itu. "Kenapa lo baru sampai? Ini sudah satu jam tahu, gue nunggu!" serbu Ana tidak berniat menjawab pertanyaan dari Keenan. Lagi pula, mau Ana pakai ransel atau tas karung beras juga bukan urusan dia. "Lonya aja yang kegirangan mau ketemu gue jadi lo sengaja, kan datang tepat waktu? Biasanya juga lo lelet." "Gue lebih tepat waktu dari pada lo!" balas Ana penuh emosi. Ia lalu berdehem, memandangi tampilan laki-laki di hadapannya. Jika dilihat-lihat tampilan mereka agak ... begitu mirip. "Lo habis kondangan? Klimis amat," sindir Ana saat melihat tampilan Keenan yang juga t
Ana duduk di lobi kantor yang sudah familiar sekali bagi dirinya. Tapi kali ini berbeda, hari ini dia tidak menjemput Beni atau mengantar laki-laki itu berangkat kantor. Sayangnya, untuk kali ini dia harus bertemu dengan orang lain. Jakarta akhir-akhir ini terasa begitu panas. Berkali-kali Ana mengusap keringat yang mulai menetes di pelipisnya. Jika saja bukan karena mamanya, dia tidak akan mau-maunya repot keluar kamar di hari sabtu yang terik ini. Mamanya memaksa Ana menjadi kurir dadakan. Bahkan agar lebih cepat sampai di kantor Keenan, beliau sudah memesankan ojek online untuk Ana. Mamanya benar-benar ratu tega. Ini waktu istirahat Ana dan dia harus menemui laki-laki yang paling tidak mau ingin ia temui. Entah bingkisan apa yang berada di tangan cantiknya, dia sendiri juga tidak mau repot-repot ingin mengetahuinya. Palingan ini hanyalah modus mamanya saja untuk mendekatkan dia dengan sang calon mantu idamannya, hal yang sama sekali tidak akan pernah terja
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa,
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. B
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di dada. "Terus kamu nyuruh aku pak
"Cik mau makan di sini yakin lo?" Cika mengangguk sambil tersenyum. Ana menatap ngeri tampilan dirinya. Sandal jepit, baju oblong, dan celana jeans pendek belel melekat di badannya. "Gue gembel Cik." Dia benar-benar tidak menyadari dandanan on point Cika sedari tadi. Ia kira Cika baru pulang dari suatu acara, sehingga wanita itu sampai memasang bulu mata karenanya. Kalau gini lebih mirip dia mengantar juragannya dari pada makan dengan teman. "Gue pikir mau beli mie ayam doang. Gue cuma pakai celana sama kaos belel gini, kok gak bilang mau ke restoran ini?" Begitu masuk Ana langsung mengamati suasana yang ada di dalam salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta itu. Suasana yang sepi, pencahayaan yang tidak begitu sempurna, dan jendela besar yang ada di depannya entah kenapa malah membuat bulu kuduknya meremang. Pikirannya melantur ke mana-mana, karena dia memang setidak percaya itu dengan sahabatnya. Cika menowel lengan Ana. "Duduk di sini,"
"Ngapain lo senyum-senyum?" Ana menopang dagu menatap menu-menu yang tadi ia pesan bersama Keenan dengan tatapan malas. Laki-laki itu tidak tahu apa, jika saat ini dirinya sedang dilanda rasa bosan yang amat sekali. Sudah hampir satu jam Ana hanya diam di sini melihat Keenan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Di menit kesepuluh perempuan itu masih mencoba untuk tetap baik-baik saja. Akan tetapi di menit-menit selanjutnya dia sudah tidak tahan lagi. Keenan menggelengkan kepalanya. Entah kenapa melihat sesuatu yang ia beli kemarin sekarang berada di leher Ana, membuat dia senang setengah mati. "Kalung lo bagus. Siapa yang beli?" tanya Keenan. "Elo! Puas?" Lagi, Keenan tertawa setelahnya. Semakin lama hubungannya dengan Ana semakin berjalan dengan baik, itu menurutnya. Walau kata-kata yang mereka ucapkan satu sama lain masih banyak yang terkadang memicu amarah, akan tetapi mereka masih bisa melanjutkannya dengan obrolan tanpa adanya baku hant