“Lo mau nikah sama Keenan?"
"Sudah gue duga lo mau nanyain ini,” balas Sinta. Bahkan perempuan itu belum sepenuhnya meletakkan bokong miliknya di atas kursi yang ada di sebuah tempat makan. Walau agak sangsi juga keduanya akan makan di tempat ini, saat melihat perangai dari Beni.
"Keenan gak cinta sama lo," ujar Beni to the point.
Sinta tertawa getir. Beni benar-benar sudah banyak berubah. Laki-laki itu dulu akan memikirkan perasaannya terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Sekarang bahkan sorot matanya saja sudah berbeda. Tidak ada lagi keberpihakan laki-laki itu kepadanya, tidak ada Beni yang akan membelanya seperti dulu. Sahabat sekaligus cinta pertamanya sudah jauh berjarak dengan dirinya. Dan itu karena satu wanita.
“Keenan, gue gak tahu apa alasan pastinya. Yang jelas mungkin lo menjebaknya atau entahlah yang membuat bocah bodoh itu mau menikah sama lo.”
Sinta menyeringai, bahkan untuk dia merasa sakit hati pun s
“Gak nyangka banget kamu ternyata adik Beni, An. Kalian mirip sih,” ujar Daren di sela-sela ia mengendarai mobilnya.Ana lebih tidak menyangka lagi, dia bahkan sampai kabur dari rumah karena mengetahui kenyataan itu. Tapi, tidak mungkin Ana mengatakan hal itu kepada Daren, jadi yang ia lakukan hanya tersenyum saja mengamini.Mirip, semua orang juga mengatakan hal yang sama. Dikatakan seperti itu, dulu Ana begitu senang, karena banyak yang bilang jika pasangan kita mirip itu berarti mereka sungguh berjodoh. Ternyata alasan keduanya mirip, sebab memang mereka bersaudara.“Kok berhenti Daren?” tanya Ana, menyadari mobil yang mereka kendarai berhenti di tepian jalan.“Makan dulu, ya?” ajak Daren dengan menunjuk sebuah tempat makan yang ternyata ada di depan mereka.Ajakan Daren mengingatkan Ana, bahwa ternyata dia memang seharian belum mengisi perutnya.Ana tidak menyangka di pinggiran kota Jakarta ada tempat
"Ana mana, Ma?" tanya Beni."Itu dia lagi kasih makan Lion,” tunjuk sang mama di tengah-tengah ia mengadon kue. Nyonya Kamila baru mendapat resep kue terbaru dari teman arisannya, karena itu ibu dari tiga manusia itu sedang dalam masa tidak mau berpisah dari dapur kesayangannya.“Kok kak Ana aja yang dicari Kak Ben?” Tiara tentu saja merasa iri.“Aku kan tahu Ra kamu ada.” Beni sudah melihat Tiara dari tadi mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Mencomot kue yang baru keluar dari oven lalu kembali lagi untuk menonton televisi, begitu saja terus. Alasannya tidak mengambil beberapa kue sekalian, karena dia harus menggelontorkan lemak dulu untuk berjalan kaki sebelum mengisi badannya dengan energi."Ada apa, Ben?" Beni terlonjak saat tiba-tiba Ana muncul dari bawah meja dengan membawa kucing gembul kesayangannya yang bernama Lion. Menoleh sekilas wanita itu berjalan menuju kandang Lion dan berjongkok untuk memberi makan
Keenan tahu ini salah, tapi dia tidak bisa menghentikannya. Hanya dengan mendapatkan luka di tubuhnya, maka akan membuat luka hatinya sedikit menjadi samar. Hanya samar, tidak benar-benar hilang walau sementara.Ini murni keputusan Keenan sendiri, dia sudah memikirkan segala konsekuensi yang akan terjadi akibat keputusan dadakannya. Salahnya, pengaruhnya tidak ia prediksi akan menjadi sehebat ini.Pengaruh Ana tidak ia sangka seluar biasa ini.Seluruh badannya seolah kebas saking banyaknya ia menerima pukulan dan tendangan yang dia tidak tahu siapa orang itu yang memukulnya. Dia hanya secara acak mencari gara-gara, agar mereka memukulinya dan alih-alih dendam, Keenan malah berterimaksih kepada orang-orang itu.Dengan tertatih ia berjalan menuju mobilnya, menarik napas sejenak sebelum ia melajukan mobilnya kembali. Laki-laki itu hanya singgah saat melihat beberapa orang bergerombol, dan untungnya ia tidak sampai mati.Berkeliling di jalanan seperti
Ana benar-benar terkejut saat membuka pintu, Keenan sudah berdiri di sana di antara pintu tersenyum kaku ke arahnya. Setelah beberapa hari ia bersusah payah menata hidupnya, laki-laki itu datang lagi memorak-porandakannya. Usaha Ana sungguh akan sia-sia, dia akan kembali lagi ke tahap awal saat baru pertama kali tahu, bahwa laki-laki itu tidak bisa lagi menjadi harapannya.Keadaan Keenan sudah tampak membaik dari terakhir kali Ana melihatnya, walau beberapa luka masih terlihat samar, belum seratus persen memudar. Akan tetapi, itu sudah cukup melegakan bagi dirinya. Laki-laki itu secara fisik sudah terlihat baik-baik saja.“Boleh masuk?” tanya Keenan.Ana tergagap, cukup aneh berhadapan dengan Keenan dalam mode serius seperti ini. Tapi bagaimana lagi, dia juga harus memerankan perannya. Dia pun mengangguk mempersilahkan dan berjalan mendahului Keenan. Agak aneh memang dengan dia yang memperlakukan laki-laki itu seperti seorang tamu yang baru berkunjun
Beni menatap iba pada laki-laki yang berada di hadapannya ini, luka akibat pukulannya beberapa waktu yang lalu saja masih terlihat di wajahnya walau samar.Keenan tampak jauh terlihat lebih kacau dari dirinya tempo hari setelah mengetahui bahwa Ana ternyata adalah adiknya. Laki-laki itu bahkan sampai menghabiskan berbotol-botol minuman yang membuat dia jadi tidak berdaya seperti saat ini.Harusnya Keenan bahagia, mengingat beberapa minggu lagi laki-laki itu akan menikah. Tidak malah mabuk-mabukan dan meminta dirinya untuk menjemputnya di tempat seperti ini. Padahal Beni dulu memutuskan tidak akan pernah datang ke tempat seperti ini lagi, setelah Ana menamparnya tempo hari.“Hari ini bersejarah banget, Ben. Ayo bantu gue merayakannya.” Keenan memberinya sebuah gelas berisikan minuman lalu dia sendiri yang malah meminumnya. Beni tersenyum kecut, ternyata dirinya hanya disuruh saja memegangkan gelas itu.“Jadi lo minta gue datang ke sini cu
Undangan ya? Ana membolak-balikan benda yang baru diserahkan oleh Keenan. Sambil tersenyum kecut ia melemparnya asal di meja. Jadi ini ending antara dirinya dan Keenan? Ending? Mereka pada dasarnya memang tidak memiliki awal, bukan?Sejauh mereka kenal, keduanya hanya saling melempar penyakit, dengan seringnya bertemu dalam beberapa bulan tidak lantas menjadikan mereka dekat. Itu yang sudah berkali-kali Ana bicarakan kepada dirinya sendiri. Akan tetapi, tetap saja penyangkalan masih terus saja membayanginya.Ana ... bukannya kamu dulu tidak gampang terbawa oleh perasaan, tapi ini apa?Dengan Keenan? Dengan laki-laki yang dia sendiri tahu kelakuan dia seperti apa? Lucu sekali. Tidakkah dia melihat rekam jejak hubungan mereka dulu, kenapa hatinya sebodoh ini?Bunyi seseorang melangkah otomatis merubah pengaturan mimik mukanya.Ternyata orang itu adalah Beni. Laki-laki itu duduk di dekatnya, bekas tempat duduk Keenan tadi.“An, oran
Keenan masuk ke dalam apartemen miliknya, menatap sekilas Sinta yang sepertinya hari ini menunggunya pulang."Kamu pulang sorean?" tanya Sinta karena tidak biasanya Keenan pulang di jam-jam seperti ini. Bahkan biasanya laki-laki itu tidak pulang ke rumah."Eh ... oh, iya," sahut Keenan sangat terlihat tidak nyaman.Sinta mendekati Keenan berusaha untuk menyentuh wajah laki-laki itu yang masih terlihat lebam, akan tetapi Keenan refleks menepisnya."Sorry, aku gak maksud." Hati Sinta seakan tercubit melihat Keenan seperti itu. Keenan memang hanya bisa dipegang oleh seseorang yang sudah dianggapnya dekat dan bisa membuatnya nyaman. Cukup jelas posisi dia sekarang seperti apa.Sinta tersenyum kaku, ini sudah empat bulan sejak percobaan bunuh dirinya tempo hari. Laki-laki itu bilang dia akan menjaganya, menjaga dirinya dan anak yang di kandungnya. Akan tetapi, dengan keadaannya sendiri yang seperti sekarang, mana mungkin dia bisa.Boro-boro menja
“Pantas aura kantor mendadak jadi suram, bulu kuduk gue dari tadi juga berdiri ... eh karena akan ada Kuntilanak toh yang ke sini.” Cika menutup pintu ruangan Ana dengan tidak santainya lalu menghempaskan badan pada sofa tak jauh dari meja kerja Ana. Perempuan itu menghela napas berkali-kali mencoba menahan diri saking karena sebalnya. “Hus!” “Lihat wajahnya pas papasan aja gue enek tahu, An! Gak sudi gue! Ngapain juga dia ingin lo yang desain gaun pengantinnya? Sengaja tuh lelembut! Kok lo diam saja sih, An! Geregetan tahu gue sama lo juga ... panas tahu! Ngapain lo iyain kemarin?” Cika berdiri lagi, sekarang perempuan itu malah mondar-mandir sambil melipat kedua tangannya di pinggang. Mungkin akan ada kepulan asap di kepala sahabatnya itu, jika ini adalah adegan yang ada di sebuah film kartun. “Kita harus profesional, Cik?” “Profesional e-ek! Sebel gue!” seru Cika tidak terima. Dari kemarin memang perempuan itu sudah heboh saat tahu Ana telah membuat janji bertemu dengan Sinta un