Undangan ya? Ana membolak-balikan benda yang baru diserahkan oleh Keenan. Sambil tersenyum kecut ia melemparnya asal di meja. Jadi ini ending antara dirinya dan Keenan? Ending? Mereka pada dasarnya memang tidak memiliki awal, bukan?
Sejauh mereka kenal, keduanya hanya saling melempar penyakit, dengan seringnya bertemu dalam beberapa bulan tidak lantas menjadikan mereka dekat. Itu yang sudah berkali-kali Ana bicarakan kepada dirinya sendiri. Akan tetapi, tetap saja penyangkalan masih terus saja membayanginya.
Ana ... bukannya kamu dulu tidak gampang terbawa oleh perasaan, tapi ini apa?
Dengan Keenan? Dengan laki-laki yang dia sendiri tahu kelakuan dia seperti apa? Lucu sekali. Tidakkah dia melihat rekam jejak hubungan mereka dulu, kenapa hatinya sebodoh ini?
Bunyi seseorang melangkah otomatis merubah pengaturan mimik mukanya.
Ternyata orang itu adalah Beni. Laki-laki itu duduk di dekatnya, bekas tempat duduk Keenan tadi.
“An, oran
Keenan masuk ke dalam apartemen miliknya, menatap sekilas Sinta yang sepertinya hari ini menunggunya pulang."Kamu pulang sorean?" tanya Sinta karena tidak biasanya Keenan pulang di jam-jam seperti ini. Bahkan biasanya laki-laki itu tidak pulang ke rumah."Eh ... oh, iya," sahut Keenan sangat terlihat tidak nyaman.Sinta mendekati Keenan berusaha untuk menyentuh wajah laki-laki itu yang masih terlihat lebam, akan tetapi Keenan refleks menepisnya."Sorry, aku gak maksud." Hati Sinta seakan tercubit melihat Keenan seperti itu. Keenan memang hanya bisa dipegang oleh seseorang yang sudah dianggapnya dekat dan bisa membuatnya nyaman. Cukup jelas posisi dia sekarang seperti apa.Sinta tersenyum kaku, ini sudah empat bulan sejak percobaan bunuh dirinya tempo hari. Laki-laki itu bilang dia akan menjaganya, menjaga dirinya dan anak yang di kandungnya. Akan tetapi, dengan keadaannya sendiri yang seperti sekarang, mana mungkin dia bisa.Boro-boro menja
“Pantas aura kantor mendadak jadi suram, bulu kuduk gue dari tadi juga berdiri ... eh karena akan ada Kuntilanak toh yang ke sini.” Cika menutup pintu ruangan Ana dengan tidak santainya lalu menghempaskan badan pada sofa tak jauh dari meja kerja Ana. Perempuan itu menghela napas berkali-kali mencoba menahan diri saking karena sebalnya. “Hus!” “Lihat wajahnya pas papasan aja gue enek tahu, An! Gak sudi gue! Ngapain juga dia ingin lo yang desain gaun pengantinnya? Sengaja tuh lelembut! Kok lo diam saja sih, An! Geregetan tahu gue sama lo juga ... panas tahu! Ngapain lo iyain kemarin?” Cika berdiri lagi, sekarang perempuan itu malah mondar-mandir sambil melipat kedua tangannya di pinggang. Mungkin akan ada kepulan asap di kepala sahabatnya itu, jika ini adalah adegan yang ada di sebuah film kartun. “Kita harus profesional, Cik?” “Profesional e-ek! Sebel gue!” seru Cika tidak terima. Dari kemarin memang perempuan itu sudah heboh saat tahu Ana telah membuat janji bertemu dengan Sinta un
“Ngapain lo di sini? Banyak waktu ya lo sepertinya, makan gaji buta?” sindir Keenan begitu tanpa sengaja dirinya berpapasan dengan Daren yang sedang berjalan bersisian dengan Ana. Keduanya tampak bahagia sekali sampai-sampai tidak menyadari mereka berpapasan dengan dirinya. Daren yang sempat terkejut bisa cepat mengendalikan dirinya. Dari dulu melawan Keenan butuh kekuatan ekstra dan dia sudah terbiasa melakukannya walau tanpa persiapan. “Lo beneran gak tahu kalau gue udah resign? Lo di kantor ngapain aja, sih? Beneran kerja? Apa sibuk dengan urusan pribadi sampai lupa sama kerjaan? Mending jabatan lo, lo kasih pada orang yang lebih berkompeten.” Keenan tercekat, tidak mampu membalas apa yang diucapkan oleh Daren, karena beberapa memang benar adanya. Akhir-akhir ini bahkan dia merasa tidak becus dalam semua hal yang ia lakukan, termasuk pekerjaan kantornya. Akan tetapi tidak mungkin juga Keenan mengakui itu di depan Daren, laki-laki itu akan merasa menang dari dirinya. “Maksudnya,
“Kenapa?” tanya Ana, karena melihat dari tadi Daren terus saja menatap dirinya. Apakah ada nasi di wajahnya? Sepertinya tidak. Daren menggeleng. “Kenyang banget gue.” Ana tersenyum melihat bungkus nasi padang yang beberapa menit tadi masih penuh sekarang sudah tinggal tulang dan beberapa sayuran yang katanya Daren tidak menyukainya. Padahal sayur nasi padang termasuk sayuran paling enak menurut Ana. “Sama. Makasih banget, ya?” “An...?” panggil Daren. Gelagat laki-laki itu mulai tampak terlihat dengan jelas keanehannya, walau memang dari tadi Ana sudah mulai menciumnya akan tetapi sampai sekarang pun perempuan itu berusaha keras mengabaikannya. Dia benci dengan pikiran-pikirannya dengan segala asumsi yang mulai berkelebat di dalam kepalanya. “Apa?” Ana berusaha mengatur wajahnya sebiasa mungkin. Entah kenapa dengan Daren ia sulit menyembunyikan segala ekspresinya. Apakah kelebihan menyembunyikan perasaannya sudah memudar? “Lo suka?” Ana menaikkan satu alisnya. “Nasi padangnya?”
Ana mengangkat kedua tangannya ke atas melakukan sedikit peregangan, sambil menggerakkan kepala miring ke kanan lalu ke kiri.Untung saja tubuh Ana baru menunjukkan protes setelah ia berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan hati seharian ini.Suasana ruang kerja Cika baru Ana sadari juga sudah tampak sepi. Memang sih, sahabatnya itu sudah ijin pulang terlebih dahulu dari beberapa jam yang lalu. Terang saja, ini juga sudah pukul sembilan malam, bahkan mungkin di kantor mereka sudah tidak ada manusia lain selain dirinya.Semenjak percakapan antara Ana dengan Daren tadi, ia memang mengungsi dan melakukan semua pekerjaannya di ruangan Cika demi menghindari laki-laki itu. Kurang nyaman saja, jika dia tetap melakukan pekerjaannya dengan masih dilihat oleh Daren. Yang ada Ana tidak akan bisa konsentrasi. Lagi pula, dirinya saat ini kan sedang dalam mode marah. Rencananya sih seperti itu.Setelah merapikan alat kerjanya dan keluar dar
Dari tadi mata Ana menatap mamanya lalu berpindah ke sang papa sebelum akhirnya tertuju pada Daren yang tengah asyik menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya.Laki-laki itu benar-benar tidak ada beban dan cenderung percaya diri dalam menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya yang terkadang sedikit tidak manusiawi. Terang saja, tidak ada alasan untuk klan Bagaskara memiliki rasa tidak percaya diri. itu juga terlihat jelas pada Keenan yang cenderung over pede. Tapi, bagaimana pun juga dirinya tetap saja malu dengan situasi semacam ini.Ana berkali-kali menghela napas dan berdecap, memandangi interaksi kedua orang tuanya dengan Daren yang cenderung berlebihan dari segi penglihatannya. Lihat, betapa kedua mata mamanya begitu berbinar melihat Daren berbicara. Menyeramkan sekali. Kapan ini akan berakhir? Dia mengantuk sekali.Setahu Ana mata mamanya akan otomatis berbinar seperti itu saat mendapati mangsa untuk ia jerumuskan masuk ke dalam kartu keluarganya yang aneh ini.
“An, itu tadi Daren yang ngantar lo? Kemarin dia juga ke sini, kan?” “Iya, dan lo gak perlu berpikir yang macam-macam tentang kami.” “Siapa juga yang mau mikir macam-macam. Tapi, eh An. Daren ok juga, ya? Kemarin dia jadi nungguin lo sampai pulang, kan? Kemarin lo pulang sama dia?” “Ssst ... diam! Kita harus kerja sekarang, ok? Jangan banyak tanya, karena gue bukan mbak g****e!” Baru juga diperingatkan, sahabatnya itu sudah membahasnya. “An, dari pada Keenan lebih baik Daren lo ke mana-mana. Dia Lebih ramah dan tidak bikin lo sebel terus juga, kan? Gue sih lebih yes si Dar ... en.” Suara Cika otomatis mengecil saat tanpa terduga Keenan, laki-laki yang baru saja dia bahas ada di hadapannya, tersenyum sangat ramah ke arah Cika yang membuat perempuan itu salah tingkah tidak karuan dibuatnya. Setelah membalas senyum Keenan ala kadarnya demi formalitas dan rasa tidak enak, Cika pun buru-buru pergi demi menghindari laki-laki itu. “Memang seberapa dekat kalian?” tanya Keenan dengan wajah
Sepertinya Ana terlalu berpikir berlebihan. Ia kira Daren tadinya akan menyusul Keenan yang mereka akan berakhir dengan perkelahian. Tapi kenyataannya laki-laki itu kembali lagi tidak lama kemudian dengan wajah yang malah terlihat bahagia, tidak ada bekas luka atau lebam seperti dugaannya.Ada dua kantong kertas yang ada di kedua tangan Daren. Satu kantong berisi camilan-camilan manis, satunya lagi berisi dua box yang berukuran lumayan besar. Laki-laki itu mengangkat bingkisan itu dengan wajah yang berseri. Mau tidak mau Ana pun ikut tertular oleh atmosfer yang dipancarkan oleh Daren.Ana melihat beberapa camilan yang dipegangnya lalu beralih menatap Daren. “Lo mau bikin gue diabetes, Ren?”“An, please...,” ucapnya nelangsa.Ana tertawa menanggapinya lalu pandangannya beralih pada box yang baru dikeluarkan oleh Daren. Perempuan itu pun membukanya, dan sebuah boneka gurita lucu langsung tertangkap oleh penglihatannya.“Kalau lo sebel, lo bisa bejek-bejek itu boneka. Lucu kan dia? Gue y
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be