“Kenapa?” tanya Ana, karena melihat dari tadi Daren terus saja menatap dirinya. Apakah ada nasi di wajahnya? Sepertinya tidak. Daren menggeleng. “Kenyang banget gue.” Ana tersenyum melihat bungkus nasi padang yang beberapa menit tadi masih penuh sekarang sudah tinggal tulang dan beberapa sayuran yang katanya Daren tidak menyukainya. Padahal sayur nasi padang termasuk sayuran paling enak menurut Ana. “Sama. Makasih banget, ya?” “An...?” panggil Daren. Gelagat laki-laki itu mulai tampak terlihat dengan jelas keanehannya, walau memang dari tadi Ana sudah mulai menciumnya akan tetapi sampai sekarang pun perempuan itu berusaha keras mengabaikannya. Dia benci dengan pikiran-pikirannya dengan segala asumsi yang mulai berkelebat di dalam kepalanya. “Apa?” Ana berusaha mengatur wajahnya sebiasa mungkin. Entah kenapa dengan Daren ia sulit menyembunyikan segala ekspresinya. Apakah kelebihan menyembunyikan perasaannya sudah memudar? “Lo suka?” Ana menaikkan satu alisnya. “Nasi padangnya?”
Ana mengangkat kedua tangannya ke atas melakukan sedikit peregangan, sambil menggerakkan kepala miring ke kanan lalu ke kiri.Untung saja tubuh Ana baru menunjukkan protes setelah ia berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan hati seharian ini.Suasana ruang kerja Cika baru Ana sadari juga sudah tampak sepi. Memang sih, sahabatnya itu sudah ijin pulang terlebih dahulu dari beberapa jam yang lalu. Terang saja, ini juga sudah pukul sembilan malam, bahkan mungkin di kantor mereka sudah tidak ada manusia lain selain dirinya.Semenjak percakapan antara Ana dengan Daren tadi, ia memang mengungsi dan melakukan semua pekerjaannya di ruangan Cika demi menghindari laki-laki itu. Kurang nyaman saja, jika dia tetap melakukan pekerjaannya dengan masih dilihat oleh Daren. Yang ada Ana tidak akan bisa konsentrasi. Lagi pula, dirinya saat ini kan sedang dalam mode marah. Rencananya sih seperti itu.Setelah merapikan alat kerjanya dan keluar dar
Dari tadi mata Ana menatap mamanya lalu berpindah ke sang papa sebelum akhirnya tertuju pada Daren yang tengah asyik menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya.Laki-laki itu benar-benar tidak ada beban dan cenderung percaya diri dalam menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya yang terkadang sedikit tidak manusiawi. Terang saja, tidak ada alasan untuk klan Bagaskara memiliki rasa tidak percaya diri. itu juga terlihat jelas pada Keenan yang cenderung over pede. Tapi, bagaimana pun juga dirinya tetap saja malu dengan situasi semacam ini.Ana berkali-kali menghela napas dan berdecap, memandangi interaksi kedua orang tuanya dengan Daren yang cenderung berlebihan dari segi penglihatannya. Lihat, betapa kedua mata mamanya begitu berbinar melihat Daren berbicara. Menyeramkan sekali. Kapan ini akan berakhir? Dia mengantuk sekali.Setahu Ana mata mamanya akan otomatis berbinar seperti itu saat mendapati mangsa untuk ia jerumuskan masuk ke dalam kartu keluarganya yang aneh ini.
“An, itu tadi Daren yang ngantar lo? Kemarin dia juga ke sini, kan?” “Iya, dan lo gak perlu berpikir yang macam-macam tentang kami.” “Siapa juga yang mau mikir macam-macam. Tapi, eh An. Daren ok juga, ya? Kemarin dia jadi nungguin lo sampai pulang, kan? Kemarin lo pulang sama dia?” “Ssst ... diam! Kita harus kerja sekarang, ok? Jangan banyak tanya, karena gue bukan mbak g****e!” Baru juga diperingatkan, sahabatnya itu sudah membahasnya. “An, dari pada Keenan lebih baik Daren lo ke mana-mana. Dia Lebih ramah dan tidak bikin lo sebel terus juga, kan? Gue sih lebih yes si Dar ... en.” Suara Cika otomatis mengecil saat tanpa terduga Keenan, laki-laki yang baru saja dia bahas ada di hadapannya, tersenyum sangat ramah ke arah Cika yang membuat perempuan itu salah tingkah tidak karuan dibuatnya. Setelah membalas senyum Keenan ala kadarnya demi formalitas dan rasa tidak enak, Cika pun buru-buru pergi demi menghindari laki-laki itu. “Memang seberapa dekat kalian?” tanya Keenan dengan wajah
Sepertinya Ana terlalu berpikir berlebihan. Ia kira Daren tadinya akan menyusul Keenan yang mereka akan berakhir dengan perkelahian. Tapi kenyataannya laki-laki itu kembali lagi tidak lama kemudian dengan wajah yang malah terlihat bahagia, tidak ada bekas luka atau lebam seperti dugaannya.Ada dua kantong kertas yang ada di kedua tangan Daren. Satu kantong berisi camilan-camilan manis, satunya lagi berisi dua box yang berukuran lumayan besar. Laki-laki itu mengangkat bingkisan itu dengan wajah yang berseri. Mau tidak mau Ana pun ikut tertular oleh atmosfer yang dipancarkan oleh Daren.Ana melihat beberapa camilan yang dipegangnya lalu beralih menatap Daren. “Lo mau bikin gue diabetes, Ren?”“An, please...,” ucapnya nelangsa.Ana tertawa menanggapinya lalu pandangannya beralih pada box yang baru dikeluarkan oleh Daren. Perempuan itu pun membukanya, dan sebuah boneka gurita lucu langsung tertangkap oleh penglihatannya.“Kalau lo sebel, lo bisa bejek-bejek itu boneka. Lucu kan dia? Gue y
Butuh beberapa menit sebelum Ana sadar dengan keterkejutannya saat melihat Daren jatuh tersungkur setelah tiba-tiba ditarik dan dipukul oleh Keenan.Keduanya berguling-guling dan berganti-gantian saling pukul satu sama lain. Hingga, begitu kesadaran Ana mulai berhasil terkumpul, segera perempuan itu menarik rambut Keenan dengan kekuatan ekstra sampai laki-laki itu terhuyung ke belakang dan jatuh.Bunyi “brak” terdengar cukup keras berbarengan dengan jatuhnya Keenan. Laki-laki itu meringis menahan sakit, tetapi tidak ada yang bisa ia perbuat. Tidak mungkin ia membalas Ana.Ana sedikit menyesal juga saat melihat lengan Keenan berdarah, karena terbentur batu yang memiliki pinggiran bergerigi dan entah mengapa juga kebetulan tergelatak di bawah laki-laki itu terjatuh tadi.Daren yang melihat itu seketika tercengang, tubuhnya membeku, dan melongo dalam satu waktu, juga tidak mampu berucap satu patah kata pun saking kagetnya. Dia tidak menyangka Ana yang terlihat lemah ternyata memiliki kek
“Kenapa ke sini An, bukan ke rumah lo?”Ana menghentikan niatnya melepas sabuk pengaman. “Ini rumah teman gue, Cika. Gue mau menginap saja di sini, Ren. Ribet aja kalau nanti ditanya-tanya mama dengan penampilan gue yang seperti ini,” terangnya.Daren mendekat lalu membantu Ana melepas sabuk pengamannya. “Atau lo sebenarnya memang gak mau dikira dekat sama gue?”Ana baru bisa bernapas dengan normal saat Daren sudah menyelesaikan aksi ala dramanya. “Iya juga. Salah satu alasannya emang itu.”“Jujur banget,” ujar Daren sembari memainkan pipi bagian dalamnya dengan lidah.Ana tertawa. “Makasih, ya. Gue pinjam dulu pakaian lo. Gue kembalikan kalau sudah gue cuci.”Daren mengangguk. “An?”“Apa?”“Gue tetap boleh nemuin lo, kan?”Ana pura-pura berpikir dan mengangguk setelahnya.“Makasih ya, An,” ujar Daren merasa bersyukur, sebab dengan perbuatannya tadi, Ana masih tetap mau menemui dirinya.Setelah Ana benar-benar ke luar dari mobil Daren, laki-laki itu pun lalu tersenyum dan melambaikan
Beni terpaksa bangun dari tidurnya padahal dia merasa belum lama memejamkan mata karena masih mengerjakan deadline kantor yang ia bawa ke tempat tinggalnya. Percuma memberikan cadangan kunci kos miliknya tetapi saat datang, Keenan tetap saja mengetuk pintu. Bukan ketuk, lebih tepatnya menggedor-gedor. Kadang kalau sedang kumat iseng, Laki-laki itu malah berteriak “kebakaran-kebakaran” agar dirinya kalang kabut. Keenan memang selalu saja mengusik ketenangannya.Beni juga heran terhadap Keenan. Mau digunakan untuk apa sih uangnya yang banyak itu? Kan bisa menyewa hotel, beli apartemen, atau rumah sekali pun dari pada berdusel-duselan di kosnya yang sempit ini. Belum Beni juga harus menerima pelampiasan amarah, padahal sama sekali dia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya.Keenan selalu datang malam hari dengan penampilan acak kadut. Melempar sepatu dengan tenaga dalam, melempar kunci dengan penuh dendam, dan entah apa yang dilakukan hingga selalu menimbulkan bunyi berisik yang sangat