Share

Perasaan Daren

Penulis: MaLa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Kenapa?” tanya Ana, karena melihat dari tadi Daren terus saja menatap dirinya. Apakah ada nasi di wajahnya? Sepertinya tidak.

Daren menggeleng. “Kenyang banget gue.”

Ana tersenyum melihat bungkus nasi padang yang beberapa menit tadi masih penuh sekarang sudah tinggal tulang dan beberapa sayuran yang katanya Daren tidak menyukainya. Padahal sayur nasi padang termasuk sayuran paling enak menurut Ana.

“Sama. Makasih banget, ya?”

“An...?” panggil Daren. Gelagat laki-laki itu mulai tampak terlihat dengan jelas keanehannya, walau memang dari tadi Ana sudah mulai menciumnya akan tetapi sampai sekarang pun perempuan itu berusaha keras mengabaikannya. Dia benci dengan pikiran-pikirannya dengan segala asumsi yang mulai berkelebat di dalam kepalanya.

“Apa?” Ana berusaha mengatur wajahnya sebiasa mungkin. Entah kenapa dengan Daren ia sulit menyembunyikan segala ekspresinya. Apakah kelebihan menyembunyikan perasaannya sudah memudar?

“Lo suka?”

Ana menaikkan satu alisnya. “Nasi padangnya?”
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
elnyno
ko' diulang? yah rugi koinnya neh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Suddenly We Meet   Hati yang Lemah

    Ana mengangkat kedua tangannya ke atas melakukan sedikit peregangan, sambil menggerakkan kepala miring ke kanan lalu ke kiri.Untung saja tubuh Ana baru menunjukkan protes setelah ia berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan hati seharian ini.Suasana ruang kerja Cika baru Ana sadari juga sudah tampak sepi. Memang sih, sahabatnya itu sudah ijin pulang terlebih dahulu dari beberapa jam yang lalu. Terang saja, ini juga sudah pukul sembilan malam, bahkan mungkin di kantor mereka sudah tidak ada manusia lain selain dirinya.Semenjak percakapan antara Ana dengan Daren tadi, ia memang mengungsi dan melakukan semua pekerjaannya di ruangan Cika demi menghindari laki-laki itu. Kurang nyaman saja, jika dia tetap melakukan pekerjaannya dengan masih dilihat oleh Daren. Yang ada Ana tidak akan bisa konsentrasi. Lagi pula, dirinya saat ini kan sedang dalam mode marah. Rencananya sih seperti itu.Setelah merapikan alat kerjanya dan keluar dar

  • Suddenly We Meet   Diobral Lagi

    Dari tadi mata Ana menatap mamanya lalu berpindah ke sang papa sebelum akhirnya tertuju pada Daren yang tengah asyik menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya.Laki-laki itu benar-benar tidak ada beban dan cenderung percaya diri dalam menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuanya yang terkadang sedikit tidak manusiawi. Terang saja, tidak ada alasan untuk klan Bagaskara memiliki rasa tidak percaya diri. itu juga terlihat jelas pada Keenan yang cenderung over pede. Tapi, bagaimana pun juga dirinya tetap saja malu dengan situasi semacam ini.Ana berkali-kali menghela napas dan berdecap, memandangi interaksi kedua orang tuanya dengan Daren yang cenderung berlebihan dari segi penglihatannya. Lihat, betapa kedua mata mamanya begitu berbinar melihat Daren berbicara. Menyeramkan sekali. Kapan ini akan berakhir? Dia mengantuk sekali.Setahu Ana mata mamanya akan otomatis berbinar seperti itu saat mendapati mangsa untuk ia jerumuskan masuk ke dalam kartu keluarganya yang aneh ini.

  • Suddenly We Meet   Mau Kamu

    “An, itu tadi Daren yang ngantar lo? Kemarin dia juga ke sini, kan?” “Iya, dan lo gak perlu berpikir yang macam-macam tentang kami.” “Siapa juga yang mau mikir macam-macam. Tapi, eh An. Daren ok juga, ya? Kemarin dia jadi nungguin lo sampai pulang, kan? Kemarin lo pulang sama dia?” “Ssst ... diam! Kita harus kerja sekarang, ok? Jangan banyak tanya, karena gue bukan mbak g****e!” Baru juga diperingatkan, sahabatnya itu sudah membahasnya. “An, dari pada Keenan lebih baik Daren lo ke mana-mana. Dia Lebih ramah dan tidak bikin lo sebel terus juga, kan? Gue sih lebih yes si Dar ... en.” Suara Cika otomatis mengecil saat tanpa terduga Keenan, laki-laki yang baru saja dia bahas ada di hadapannya, tersenyum sangat ramah ke arah Cika yang membuat perempuan itu salah tingkah tidak karuan dibuatnya. Setelah membalas senyum Keenan ala kadarnya demi formalitas dan rasa tidak enak, Cika pun buru-buru pergi demi menghindari laki-laki itu. “Memang seberapa dekat kalian?” tanya Keenan dengan wajah

  • Suddenly We Meet   Silahturahmi Bibir

    Sepertinya Ana terlalu berpikir berlebihan. Ia kira Daren tadinya akan menyusul Keenan yang mereka akan berakhir dengan perkelahian. Tapi kenyataannya laki-laki itu kembali lagi tidak lama kemudian dengan wajah yang malah terlihat bahagia, tidak ada bekas luka atau lebam seperti dugaannya.Ada dua kantong kertas yang ada di kedua tangan Daren. Satu kantong berisi camilan-camilan manis, satunya lagi berisi dua box yang berukuran lumayan besar. Laki-laki itu mengangkat bingkisan itu dengan wajah yang berseri. Mau tidak mau Ana pun ikut tertular oleh atmosfer yang dipancarkan oleh Daren.Ana melihat beberapa camilan yang dipegangnya lalu beralih menatap Daren. “Lo mau bikin gue diabetes, Ren?”“An, please...,” ucapnya nelangsa.Ana tertawa menanggapinya lalu pandangannya beralih pada box yang baru dikeluarkan oleh Daren. Perempuan itu pun membukanya, dan sebuah boneka gurita lucu langsung tertangkap oleh penglihatannya.“Kalau lo sebel, lo bisa bejek-bejek itu boneka. Lucu kan dia? Gue y

  • Suddenly We Meet   Batas Aurat

    Butuh beberapa menit sebelum Ana sadar dengan keterkejutannya saat melihat Daren jatuh tersungkur setelah tiba-tiba ditarik dan dipukul oleh Keenan.Keduanya berguling-guling dan berganti-gantian saling pukul satu sama lain. Hingga, begitu kesadaran Ana mulai berhasil terkumpul, segera perempuan itu menarik rambut Keenan dengan kekuatan ekstra sampai laki-laki itu terhuyung ke belakang dan jatuh.Bunyi “brak” terdengar cukup keras berbarengan dengan jatuhnya Keenan. Laki-laki itu meringis menahan sakit, tetapi tidak ada yang bisa ia perbuat. Tidak mungkin ia membalas Ana.Ana sedikit menyesal juga saat melihat lengan Keenan berdarah, karena terbentur batu yang memiliki pinggiran bergerigi dan entah mengapa juga kebetulan tergelatak di bawah laki-laki itu terjatuh tadi.Daren yang melihat itu seketika tercengang, tubuhnya membeku, dan melongo dalam satu waktu, juga tidak mampu berucap satu patah kata pun saking kagetnya. Dia tidak menyangka Ana yang terlihat lemah ternyata memiliki kek

  • Suddenly We Meet   Ingin ke Mars

    “Kenapa ke sini An, bukan ke rumah lo?”Ana menghentikan niatnya melepas sabuk pengaman. “Ini rumah teman gue, Cika. Gue mau menginap saja di sini, Ren. Ribet aja kalau nanti ditanya-tanya mama dengan penampilan gue yang seperti ini,” terangnya.Daren mendekat lalu membantu Ana melepas sabuk pengamannya. “Atau lo sebenarnya memang gak mau dikira dekat sama gue?”Ana baru bisa bernapas dengan normal saat Daren sudah menyelesaikan aksi ala dramanya. “Iya juga. Salah satu alasannya emang itu.”“Jujur banget,” ujar Daren sembari memainkan pipi bagian dalamnya dengan lidah.Ana tertawa. “Makasih, ya. Gue pinjam dulu pakaian lo. Gue kembalikan kalau sudah gue cuci.”Daren mengangguk. “An?”“Apa?”“Gue tetap boleh nemuin lo, kan?”Ana pura-pura berpikir dan mengangguk setelahnya.“Makasih ya, An,” ujar Daren merasa bersyukur, sebab dengan perbuatannya tadi, Ana masih tetap mau menemui dirinya.Setelah Ana benar-benar ke luar dari mobil Daren, laki-laki itu pun lalu tersenyum dan melambaikan

  • Suddenly We Meet   Kultum Beni

    Beni terpaksa bangun dari tidurnya padahal dia merasa belum lama memejamkan mata karena masih mengerjakan deadline kantor yang ia bawa ke tempat tinggalnya. Percuma memberikan cadangan kunci kos miliknya tetapi saat datang, Keenan tetap saja mengetuk pintu. Bukan ketuk, lebih tepatnya menggedor-gedor. Kadang kalau sedang kumat iseng, Laki-laki itu malah berteriak “kebakaran-kebakaran” agar dirinya kalang kabut. Keenan memang selalu saja mengusik ketenangannya.Beni juga heran terhadap Keenan. Mau digunakan untuk apa sih uangnya yang banyak itu? Kan bisa menyewa hotel, beli apartemen, atau rumah sekali pun dari pada berdusel-duselan di kosnya yang sempit ini. Belum Beni juga harus menerima pelampiasan amarah, padahal sama sekali dia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya.Keenan selalu datang malam hari dengan penampilan acak kadut. Melempar sepatu dengan tenaga dalam, melempar kunci dengan penuh dendam, dan entah apa yang dilakukan hingga selalu menimbulkan bunyi berisik yang sangat

  • Suddenly We Meet   Melawan Bisa

    Suara detik jam menguar di ruangan yang hanya ada Ana di dalamnya. Perempuan itu menaruh kepala yang tiba-tiba terasa berat pada meja kerjanya setelah menghubungi seseorang yang tempo hari baru saja menjadi korban kekerasan darinya.Tanggapan Keenan tadi begitu dingin, sedingin ruang mesin ATM saat musim hujan. Laki-laki itu hanya menjawab setiap apa yang dikatakan Ana dengan jawaban “iya” saja setelah itu diam. Memang dia berharap apa juga dengan Keenan? Bercerita tentang serial Upin-Ipin?Ana berjalan mendekat kedua buah manekin yang berpakaian khas gaun pengantin. Perempuan itu mengamati gaun pengantin yang baru selesai ia kerjakan satu hari yang lalu. Dia mencurahkan setiap energinya di sana, tentu saja tanpa memikirkan siapa yang akan memakainya. Ana hanya membayangkan gaun itu akan digunakan oleh seorang wanita terberuntung di dunia ini, karena telah mendapatkan sosok laki-laki yang diinginkannya. Yup, menjadi pengantin dan menemukan belahan jiwa adalah mimpi setiap perempuan, t

Bab terbaru

  • Suddenly We Meet   Jujur

    “Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum

  • Suddenly We Meet   Tidak Sesederhana Itu

    Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum

  • Suddenly We Meet   Kejutan

    Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga

  • Suddenly We Meet   Obrolan

    Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.

  • Suddenly We Meet   Perdebatan Singkat

    “Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s

  • Suddenly We Meet   Pernyataan

    "An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar

  • Suddenly We Meet   Tidak Sesulit yang Dibayangkan

    Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h

  • Suddenly We Meet   Nyaman?

    “Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g

  • Suddenly We Meet   Tidak Butuh Bantuan

    Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be

DMCA.com Protection Status