"Ana mana, Ma?" tanya Beni.
"Itu dia lagi kasih makan Lion,” tunjuk sang mama di tengah-tengah ia mengadon kue. Nyonya Kamila baru mendapat resep kue terbaru dari teman arisannya, karena itu ibu dari tiga manusia itu sedang dalam masa tidak mau berpisah dari dapur kesayangannya.
“Kok kak Ana aja yang dicari Kak Ben?” Tiara tentu saja merasa iri.
“Aku kan tahu Ra kamu ada.” Beni sudah melihat Tiara dari tadi mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Mencomot kue yang baru keluar dari oven lalu kembali lagi untuk menonton televisi, begitu saja terus. Alasannya tidak mengambil beberapa kue sekalian, karena dia harus menggelontorkan lemak dulu untuk berjalan kaki sebelum mengisi badannya dengan energi.
"Ada apa, Ben?" Beni terlonjak saat tiba-tiba Ana muncul dari bawah meja dengan membawa kucing gembul kesayangannya yang bernama Lion. Menoleh sekilas wanita itu berjalan menuju kandang Lion dan berjongkok untuk memberi makan
Keenan tahu ini salah, tapi dia tidak bisa menghentikannya. Hanya dengan mendapatkan luka di tubuhnya, maka akan membuat luka hatinya sedikit menjadi samar. Hanya samar, tidak benar-benar hilang walau sementara.Ini murni keputusan Keenan sendiri, dia sudah memikirkan segala konsekuensi yang akan terjadi akibat keputusan dadakannya. Salahnya, pengaruhnya tidak ia prediksi akan menjadi sehebat ini.Pengaruh Ana tidak ia sangka seluar biasa ini.Seluruh badannya seolah kebas saking banyaknya ia menerima pukulan dan tendangan yang dia tidak tahu siapa orang itu yang memukulnya. Dia hanya secara acak mencari gara-gara, agar mereka memukulinya dan alih-alih dendam, Keenan malah berterimaksih kepada orang-orang itu.Dengan tertatih ia berjalan menuju mobilnya, menarik napas sejenak sebelum ia melajukan mobilnya kembali. Laki-laki itu hanya singgah saat melihat beberapa orang bergerombol, dan untungnya ia tidak sampai mati.Berkeliling di jalanan seperti
Ana benar-benar terkejut saat membuka pintu, Keenan sudah berdiri di sana di antara pintu tersenyum kaku ke arahnya. Setelah beberapa hari ia bersusah payah menata hidupnya, laki-laki itu datang lagi memorak-porandakannya. Usaha Ana sungguh akan sia-sia, dia akan kembali lagi ke tahap awal saat baru pertama kali tahu, bahwa laki-laki itu tidak bisa lagi menjadi harapannya.Keadaan Keenan sudah tampak membaik dari terakhir kali Ana melihatnya, walau beberapa luka masih terlihat samar, belum seratus persen memudar. Akan tetapi, itu sudah cukup melegakan bagi dirinya. Laki-laki itu secara fisik sudah terlihat baik-baik saja.“Boleh masuk?” tanya Keenan.Ana tergagap, cukup aneh berhadapan dengan Keenan dalam mode serius seperti ini. Tapi bagaimana lagi, dia juga harus memerankan perannya. Dia pun mengangguk mempersilahkan dan berjalan mendahului Keenan. Agak aneh memang dengan dia yang memperlakukan laki-laki itu seperti seorang tamu yang baru berkunjun
Beni menatap iba pada laki-laki yang berada di hadapannya ini, luka akibat pukulannya beberapa waktu yang lalu saja masih terlihat di wajahnya walau samar.Keenan tampak jauh terlihat lebih kacau dari dirinya tempo hari setelah mengetahui bahwa Ana ternyata adalah adiknya. Laki-laki itu bahkan sampai menghabiskan berbotol-botol minuman yang membuat dia jadi tidak berdaya seperti saat ini.Harusnya Keenan bahagia, mengingat beberapa minggu lagi laki-laki itu akan menikah. Tidak malah mabuk-mabukan dan meminta dirinya untuk menjemputnya di tempat seperti ini. Padahal Beni dulu memutuskan tidak akan pernah datang ke tempat seperti ini lagi, setelah Ana menamparnya tempo hari.“Hari ini bersejarah banget, Ben. Ayo bantu gue merayakannya.” Keenan memberinya sebuah gelas berisikan minuman lalu dia sendiri yang malah meminumnya. Beni tersenyum kecut, ternyata dirinya hanya disuruh saja memegangkan gelas itu.“Jadi lo minta gue datang ke sini cu
Undangan ya? Ana membolak-balikan benda yang baru diserahkan oleh Keenan. Sambil tersenyum kecut ia melemparnya asal di meja. Jadi ini ending antara dirinya dan Keenan? Ending? Mereka pada dasarnya memang tidak memiliki awal, bukan?Sejauh mereka kenal, keduanya hanya saling melempar penyakit, dengan seringnya bertemu dalam beberapa bulan tidak lantas menjadikan mereka dekat. Itu yang sudah berkali-kali Ana bicarakan kepada dirinya sendiri. Akan tetapi, tetap saja penyangkalan masih terus saja membayanginya.Ana ... bukannya kamu dulu tidak gampang terbawa oleh perasaan, tapi ini apa?Dengan Keenan? Dengan laki-laki yang dia sendiri tahu kelakuan dia seperti apa? Lucu sekali. Tidakkah dia melihat rekam jejak hubungan mereka dulu, kenapa hatinya sebodoh ini?Bunyi seseorang melangkah otomatis merubah pengaturan mimik mukanya.Ternyata orang itu adalah Beni. Laki-laki itu duduk di dekatnya, bekas tempat duduk Keenan tadi.“An, oran
Keenan masuk ke dalam apartemen miliknya, menatap sekilas Sinta yang sepertinya hari ini menunggunya pulang."Kamu pulang sorean?" tanya Sinta karena tidak biasanya Keenan pulang di jam-jam seperti ini. Bahkan biasanya laki-laki itu tidak pulang ke rumah."Eh ... oh, iya," sahut Keenan sangat terlihat tidak nyaman.Sinta mendekati Keenan berusaha untuk menyentuh wajah laki-laki itu yang masih terlihat lebam, akan tetapi Keenan refleks menepisnya."Sorry, aku gak maksud." Hati Sinta seakan tercubit melihat Keenan seperti itu. Keenan memang hanya bisa dipegang oleh seseorang yang sudah dianggapnya dekat dan bisa membuatnya nyaman. Cukup jelas posisi dia sekarang seperti apa.Sinta tersenyum kaku, ini sudah empat bulan sejak percobaan bunuh dirinya tempo hari. Laki-laki itu bilang dia akan menjaganya, menjaga dirinya dan anak yang di kandungnya. Akan tetapi, dengan keadaannya sendiri yang seperti sekarang, mana mungkin dia bisa.Boro-boro menja
“Pantas aura kantor mendadak jadi suram, bulu kuduk gue dari tadi juga berdiri ... eh karena akan ada Kuntilanak toh yang ke sini.” Cika menutup pintu ruangan Ana dengan tidak santainya lalu menghempaskan badan pada sofa tak jauh dari meja kerja Ana. Perempuan itu menghela napas berkali-kali mencoba menahan diri saking karena sebalnya. “Hus!” “Lihat wajahnya pas papasan aja gue enek tahu, An! Gak sudi gue! Ngapain juga dia ingin lo yang desain gaun pengantinnya? Sengaja tuh lelembut! Kok lo diam saja sih, An! Geregetan tahu gue sama lo juga ... panas tahu! Ngapain lo iyain kemarin?” Cika berdiri lagi, sekarang perempuan itu malah mondar-mandir sambil melipat kedua tangannya di pinggang. Mungkin akan ada kepulan asap di kepala sahabatnya itu, jika ini adalah adegan yang ada di sebuah film kartun. “Kita harus profesional, Cik?” “Profesional e-ek! Sebel gue!” seru Cika tidak terima. Dari kemarin memang perempuan itu sudah heboh saat tahu Ana telah membuat janji bertemu dengan Sinta un
“Ngapain lo di sini? Banyak waktu ya lo sepertinya, makan gaji buta?” sindir Keenan begitu tanpa sengaja dirinya berpapasan dengan Daren yang sedang berjalan bersisian dengan Ana. Keduanya tampak bahagia sekali sampai-sampai tidak menyadari mereka berpapasan dengan dirinya. Daren yang sempat terkejut bisa cepat mengendalikan dirinya. Dari dulu melawan Keenan butuh kekuatan ekstra dan dia sudah terbiasa melakukannya walau tanpa persiapan. “Lo beneran gak tahu kalau gue udah resign? Lo di kantor ngapain aja, sih? Beneran kerja? Apa sibuk dengan urusan pribadi sampai lupa sama kerjaan? Mending jabatan lo, lo kasih pada orang yang lebih berkompeten.” Keenan tercekat, tidak mampu membalas apa yang diucapkan oleh Daren, karena beberapa memang benar adanya. Akhir-akhir ini bahkan dia merasa tidak becus dalam semua hal yang ia lakukan, termasuk pekerjaan kantornya. Akan tetapi tidak mungkin juga Keenan mengakui itu di depan Daren, laki-laki itu akan merasa menang dari dirinya. “Maksudnya,
“Kenapa?” tanya Ana, karena melihat dari tadi Daren terus saja menatap dirinya. Apakah ada nasi di wajahnya? Sepertinya tidak. Daren menggeleng. “Kenyang banget gue.” Ana tersenyum melihat bungkus nasi padang yang beberapa menit tadi masih penuh sekarang sudah tinggal tulang dan beberapa sayuran yang katanya Daren tidak menyukainya. Padahal sayur nasi padang termasuk sayuran paling enak menurut Ana. “Sama. Makasih banget, ya?” “An...?” panggil Daren. Gelagat laki-laki itu mulai tampak terlihat dengan jelas keanehannya, walau memang dari tadi Ana sudah mulai menciumnya akan tetapi sampai sekarang pun perempuan itu berusaha keras mengabaikannya. Dia benci dengan pikiran-pikirannya dengan segala asumsi yang mulai berkelebat di dalam kepalanya. “Apa?” Ana berusaha mengatur wajahnya sebiasa mungkin. Entah kenapa dengan Daren ia sulit menyembunyikan segala ekspresinya. Apakah kelebihan menyembunyikan perasaannya sudah memudar? “Lo suka?” Ana menaikkan satu alisnya. “Nasi padangnya?”