Setelah menempuh dua jam perjalanan, tiba juga akhirnya mereka di Malang. Ya, Ana baru tahu tujuan mereka saat mereka berdua sudah berada di Bandara. Akan tetapi, tetap saja untuk apa Beni mengajak Ana pergi ke Malang, masih saja rahasia katanya.
Beni melambaikan tangan ke arah tiga orang yang berada tepat di sebelah jeep hardtop yang terparikir di sekitaran Bandara. Mereka semua membawa carier, juga memakai baju khas yang biasanya dikenakan oleh orang-orang yang akan mendaki, yang jelas berbanding terbalik dengan apa yang Ana kenakan saat ini bersama Beni.
Beni tersenyum menatap Ana yang berada di sampingnya. "Sudah bisa tebak belum, kita mau ke mana?"
Ana tampak ragu. "Kita mau naik gunung, Ben?" Perempuan itu langsung mengamati tampilannya bersama Beni. Dia tidak membawa apa-apa selain tas mininya yang hanya berisi dompet dan ponsel, begitu pula dengan laki-laki yang bersamanya itu. Sedangkan setahunya, naik gunung harusnya butuh persiapan yang lebih matan
Entah kenapa walau perjalanannya dengan Beni terasa menyenangkan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Dia tidak tahu itu apa, tapi semoga saja tidak lagi membuatnya terluka. Kata-kata Beni kemarin begitu mengganggu Ana. Laki-laki itu bilang ingin memberitahukan sesuatu kepadanya, tapi harus menunggu dulu sampai lima hari lagi lamanya. Kenapa harus lima hari? Kenapa tidak waktu itu saja Beni mengatakan sesuatu itu? Apa Beni akan melamarnya? Ok, kalau itu, mungkin Ana terlalu berlebihan. Kalau niat Beni memang melamar Ana, Ranukumbolo adalah tempat yang tepat untuk melakukannya. Akan tetapi tidak, Beni tidak melakukannya. Laki-laki itu hanya membuatnya semakin pusing memikirkan apa yang akan dikatakannya lima hari nanti kepadanya. Tidak biasanya Beni melakukan tebak-tebakan seperti itu. Ini begitu membingungkan buat Ana. Menghela napas panjang Ana memasuki rumahnya. Perempuan itu mengerutkan kedua alisnya, begitu nyony
Gerimis pada pagi hari, biasanya membuat siapa pun malas untuk pergi ke mana saja, tak terkecuali Ana. Tapi tidak untuk hari ini. Walau hujan, angin topan, atau bahkan badai sekali pun, tidak masalah. Tidak ada yang bisa menghadang dia untuk bertemu dengan pangerannya. Perempuan itu berusaha menyemangati dirinya, harus tetap berpikiran positif, agar pertemuannya dengan Beni bisa berjalan dengan kondusif. Rambut cek, make-up cek, baju cek. Ok, kali ini Ana sudah merasa paling cantik sedunia. Hari ini adalah hari "H" setelah empat hari yang dijanjikan oleh Beni berlalu, jadi dia harus berpenampilan paripurna. Suara Tiara seolah seperti jadi alarm, agar Ana bisa segera menyelesaikan aksi dandannya. Ternyata benar, sudah ada Beni di sana, di ruang tamu tengah mengobrol asyik dengan adiknya. Begitu Ana mendekat, laki-laki itu langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Senyum seperti magnet, yang membuat dirinya selalu ingin berhambur ke pelukan laki-laki itu begi
“Beni adalah kakaknya?” “Beninya adalah kakaknya?” “Laki-laki itu adalah juga anak dari mamanya.” Sepanjang perjalanan Ana terus berbicara layaknya orang gila. Menyadarkan dirinya sendiri dengan kenyataan yang baru ia terima dengan kata-katanya. Terkadang ia tertawa, di sela-sela tawa ia juga menangis. Dia tidak peduli kenapa bisa Beni jadi kakaknya, dia tidak mau tahu. Dia tidak butuh seorang kakak, apalagi itu Beni. Ana tidak peduli suara klakson atau pun orang-orang yang melihatnya dengan keadaan kacau seperti ini. Dia tidak mau tahu. Ana berlari sekuat yang ia mampu. Berlari saja, berharap Beni tidak bisa mengejarnya. Apa Ana terlalu percaya diri mengira, jika laki-laki itu akan mengejarnya? Sudahlah, yang penting ia berlari saja, hingga rasa lelah membuatnya akhirnya berhenti juga. Perempuan itu jongkok menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan, di tepi jalan yang kebetulan sekali tidak terdapat orang berlalu lalang. Syukurlah, tidak ak
"An, bangun!" Ana semakin mengencangkan selimut yang ia kenakan. Dia berusaha mengabaikan tendangan Cika, yang walaupun tidak terasa sakit, tetapi sangat mengganggu tidur nyenyaknya. "Lo, beneran gak mau pulang?" "Itu pertanyaan lo yang keseratus dua puluh tujuh juta kali, deh ... kalau gue gak salah hitung," jawab Ana di sela-sela aktivitas menguapnya. "Dan lo sama sekali gak ada niatan menjawab pertanyaan gue yang keseratus dua puluh tujuh juta kali itu? Luar biasa.” Cika bertepuk tangan. "Cik, Apaan sih lo!" seru Ana ketika tendangan Cika semakin lama semakin mirip tendangan kapten Tsubasa. "Pulang sono!" seru Cika. Semakin lama perempuan itu semakin menaikkan volume suaranya. "Lo ngusir, gue?" "Iya gue ngusir lo! Mau sampai kapan lo sembunyi di rumah gue? Lo gak kasihan sama orang rumah?" "Palingan lo juga udah ember." Ana tahu betul sahabatnya itu seperti apa. Cika mengalihkan tatapan matanya. Tepat
Begitu mendengar pertanyaan terakhir dari Keenan, Ana otomatis berlari tergopoh-gopoh. Perempuan itu bahkan sampai menabrak bahu Keenan, saking semangatnya. "Ayo buruan lemot amat sih!" seru Ana begitu berhasilmendahului Keenan. Jangan sampai gara-gara egonya dia menyesal di kemudian hari. Ana harus ikut Keenan sekarang. Persetan dengan wajah julit laki-laki yang ada di belakangnya. Keenan lalu terkekeh mendekat dan tanpa sadar menggandeng tangan perempuan itu. Dari setengah jam yang lalu Ana dan Keenan saling dorong untuk menentukan siapa dulu yang harus menyapa Beni dengan gerombolan yang mengelilingi laki-laki itu. Padahal jarak antara keduanya dengan Beni juga tidak begitu jauh. Bukannya apa-apa, Ana hanya malas saja, sebab di dekat Beni ada wanita yang dulu mengaku sebagai kekasih laki-laki itu. Selain itu, sebenarnya dia memang masih belum siap untuk bertemu dengan Beni. "Samperin jangan ngedrama ... lo itu uda gede selesai
“Turun, An!” seru Keenan. Dia sudah tidak tahan lagi dengan Ana yang sedari tadi hanya diam mengamati kediamannya dari dalam mobil. Perempuan itu menempelkan kedua tangannya di kaca mobil untuk membantu agar dia bisa lebih fokus mengamati area sekitar. Persis seperti maling yang sedang mencari cela untuk melaksanakan tugasnya. Ana menggelengkan kepala. “Enggak mau, Keen!” “Udah sampek ini.” Mobil Keenan sudah hampir tiga puluh menit terparkir di depan rumah Ana, akan tetapi perempuan itu sepertinya tidak ada sama sekali niatan untuk turun dari mobil miliknya. “Jangan-jangan lo gak mau pisah sama gue, ya?” tabaknya asal, sambil menunggu ekspresi yang akan ditampilkan oleh Ana. “Idiih!” Ana bergidik geli. Keenan terkekeh sambil menyenderkan badannya di pintu mobil, bersila, dan melipat kedua tangannya di dada. Ia dapat dengan jelas melihat berbagai macam ekspresi Ana dari tempatnya ini. Selucu itu memang melihat spontanitas Ana begitu mendengarn
"Lo ... lo apa-apaan sih, Keen!" Jantung Ana hampir lupa dengan tugasnya, begitu Keenan dengan santainya mendekat lalu dengan wajah polos mencomot es krim yang sedang dia pegang dengan mulutnya. Jarak mereka begitu dekat, bahkan jika dengan sengaja Ana memajukan sedikit kepalanya, maka perempuan itu akan dengan mudah mencium pipi Keenan. Meskipun fokus Keenan terlihat hanya kepada es krim yang dipegang Ana, bukan berarti sang pemilik es krim juga sama. Perempuan itu mati-matian menahan debaran yang bertabuh di dadanya. Memang tidak ada perasaan apa pun terhadap Keenan, dan Ana juga termasuk ke dalam golongan perempuan yang tidak gampang terbawa perasaan. Tapi, yah ... walau pun begitu Ana tetaplah perempuan normal, yang lama-lama akan hanyut juga, jika di hadapkan dengan situasi semacam ini yang terus saja terjadi secara berulang-ulang. Salahkan Keenan yang suka sekali tebar pesona, tanpa melihat situasi. Seperti biasa, Keenan selalu menatap A
Sejak pertama kali Ana turun dari tangga rumah Cika dan melihat Beni sudah duduk di ruang tamu bersama sahabatnya itu, otaknya mendadak tidak berfungsi. Ia tidak mampu berpikir dengan jernih tentang dengan siapa sekarang ia bertemu. Di dalam kepalanya masih saja berpikir, jika laki-laki yang tengah berbincang itu adalah laki-laki yang ia sukai, yang ia cintai dan Ana harapkan sebagai jodohnya sehidup semati. Sama seperti Ana tadi, ekspresi terkejut juga langsung Beni tampilkan begitu melihat Ana mendekat. Senyum hangat yang laki-laki itu tampilkan tampak berbeda. Bukan hanya senyum, keseluruhan tampilan Beni juga berbeda. Ada bulu-bulu halus di sekitar rahang, yang sekali pun tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan ada kantong yang terlihat di bawah mata. Rambut laki-laki itu juga sudah terlihat agak panjang dari terakhir Ana melihatnya. Sepertinya dirinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan laki-laki itu. Walau tampilan Beni yang sekarang malah membuatnya m