"Sorry ... sorry uda lama nunggu, An?"
Ana menyenderkan punggungnya di sofa sebuah restoran cepat saji. Memutar bola matanya sembari melipat kedua tangan di dada. "Lo yang minta ketemu dan gue yang selalu harus nunggu. Bagus banget! Nyebelinnya benar-benar gak tanggung-tanggung, ya?" sindir Ana.
"Sorry ... baru juga tiga puluh menit, An," Keenan seperti biasa selalu saja berkilah tidak mau kalah.
"Baru tiga puluh menit lo bilang? Lo kira gue gak ada kerjaan lain apa selain nunggu lo? Gue ini orang sibuk, kalau lo gak tahu. Tiga puluh menit itu berharga banget buat gue!"
"Mbak-mbak pesan coffe lattenya satu. Lo mau pesan lagi?" Keenan seperti biasa tidak mengindahkan amarah Ana.
Ana menarik napasnya jengkel. "Kenyang gue!"
Keenan terkekeh saat melihat bekas makanan dan bergelas-gelas minuman di atas meja. Cukup jelas menandakan seberapa lama Ana menunggu dirinya.
"Lo ada urusan apa panggil gue?"
"Gue kemarin udah ngomong
Sudah dari lima menit yang lalu Keenan memandangi ponsel miliknya. Laki-laki itu mulai gelisah, sebab beberapa panggilan dan pesan darinya tak kunjung ada balasan dari Sinta. Dia jadi berpikir apa lagi kesalahannya kali ini? Keenan ingin langsung menemui Sinta di kantor sebelah, tetapi itu bukan ide yang bagus. Bisa-bisa Sinta malah tambah marah kepada dirinya. Dia benar-benar serba salah, bahkan saat berkunjung ke apartemen Sinta saja, jika tidak janjian terlebih dulu dia tidak akan bertemu dengan kekasihnya. Ya, memang begitu kenyataannya. Apa kata-katanya kemarin melukainya? Tetapi, setelahnya Sinta tetap bersikap biasa saja. Mereka juga sempat janjian bertemu, ya, walaupun mendadak wanitanya memang membatalkannya. "Kerja ... kerja ... jangan mantengin HP terus! Kayak punya pacar aja," sindir Adit. "Usil banget lo jadi orang, Dit!" Adit terkekeh. "Habisnya lo kan yang biasanya yang nyuruh-nyuruh kita kerja. Eh, situ
Keenan berusaha memejamkan kedua matanya, tapi nihil usahanya sia-sia. Mungkin karena beberapa masalah tidak mampu ia selesaikan dengan baik. Tidak seperti pekerjaannya yang selalu dapat ia cari jalan keluarnya. Urusan kantor ternyata lebih mudah daripada urusan kehidupannya. Setelah kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu, sekarang Keenan tidak lagi bisa menghubungi Ana. Wanita itu tidak pernah mengangkat panggilan darinya atau pun membalas pesannya. Pertunangan mereka benar-benar sudah batal. Untung saja statusnya sebagai anak dari kedua orang tuanya juga tidak ikut menjadi batal. Karena, ya mungkin bukan dia yang memutus pertunangan itu, melainkan Analah yang memutuskannya. Entah apa alasan yang dibuat dari perempuan itu, dirinya juga tidak tahu karena kedua orang tuanya pun tidak mengatakannya. Hubungan Keenan dengan Sinta setelah itu juga tidak pernah ada masalah. Walau sikap kedua orang tuanya agak terlihat sedikit berbeda. Mungkin itu hanya peras
Sinta keluar dari kamar hotel, berjalan dengan penuh percaya diri seperti biasa. "Sin?" Sinta enggan sekali menoleh, karena ia sudah hafal betul suara siapa itu yang tadi memanggil namanya. Dia Beni adalah seseorang yang pernah menjadi manusia terpenting di hidupnya. Selama ini perempuan itu begitu menghindari Beni, sebab takut jika dia akan kembali menjatuhkan hatinya. Usaha Sinta mengacuhkan Beni ternyata sia-sia, saat laki-laki itu menghadang jalannya. "Gue buru-buru, Ben?" Dia sungguh takut melihat laki-laki itu yang sudah lama tidak dilihatnya walau kantor mereka di gedung yang sama. "Lo mau pulang? Gue anter ya?" Sinta memicingkan matanya. "Gue uda biasa pulang sendiri!" "Lo kenapa sih, Sin?" "Gue kenapa?" Bisa-bisanya Beni bertanya dirinya kenapa? Laki-laki itu dari dulu memang tidak pernah peka. Apakah selama ini dia juga tidak tahu, jika dirinya menghindarinya karena apa? "Lo tiba-tiba ngejauhin gue, tiba-tiba
Saat akan meletakkan helm miliknya ke dalam jok motor, Keenan menyadari jika kue favorit Sinta, kekasihnya masih ada di stang motor miliknya. Mungkin karena kekasihnya itu tadi buru-buru, jadi ia juga tidak sempat mengingat ada kue itu yang ternyata masih ia letakkan di sana. Bergegas ia pun kembali menuju apartemen perempuannya. Menekan password yang sudah begitu Keenan hafal, ia pun membuka pintu setelah bunyi bib panjang berbunyi. Laki-laki itu perlahan melangkahkan kaki memasuki ruangan kekasihnya. Akhir-akhir ini hubungan mereka berjalan lebih baik dari sebelumnya. Bahkan sedikit demi sedikit mulai sudah ada perkembangan. Dari Sinta yang lebih sering mengajaknya keluar, hingga yang paling membuat laki-laki itu tidak menyangka adalah perempuannya memberitahukan kode masuk rumahnya. Itu berarti Sinta sudah percaya dengan Keenan. Dengan senyum yang masih terukir di wajahnya ia berjalan memasuki ruang tengah apartemen sang kekasih. Mengernyitkan wajah, laki-
"Mau minum apa, Nak Keenan?" tawar mama Ana. Saat ini Keenan sedang berada di rumah Ana untuk menjemputnya menghadiri acara ulang tahun kantor. Butuh usaha ekstra untuk mengajak perempuan itu, karena sekarang status mereka bukan lagi sebagai tunangan. Tetapi, dilain hal Keenan merasa bersyukur, sebab perlakuan orang tua Ana kepada dirinya masih sama seperti dulu. Orang tua Ana masih sebaik itu. "Gak usah repot-repot, Tante." "Minuman aja. Eh, itu Ana! Tumben cepat." tunjuk mama Ana kepada anaknya. "Yuk, Keen! Capcuuus. Ana pergi dulu, Ma." Ana mencium pipi mamanya untuk berpamitan, disusul oleh Keenan yang mencium tangan mama Ana. "Lo ngapain sih ngajak gue segala, Keen?" "Abis ngajak siapa lagi gue?" "Dasar jomblo!" "Apa kabar situ?" "Ayok ah masuk," ajak Keenan begitu mereka sudah ada di depan venue, tempat acara kantor akan diadakan. Meneruskan perdebatan dengan Ana, tidak akan pernah ada ujungnya.
"Uda lama gak lari, lari sebentar capeknya bukan main, deh...." Beni menyodorkan sebotol air mineral kepada Sinta. Saat ini mereka baru saja selesai berlari berkeliling di acara car freeday. "Kriuuuuuk...." Sinta nyengir mendengar bunyi perutnya yang mulai minta jatah untuk diisi. Beni yang sadar, menatap Sinta jahil sambil terkekeh. "Mau bubur ayam? Beli buryam yuuuk...," ajak Beni pada akhirnya. "Braaaaaaak!!!" Beni yang kaget mendengar suara keras itu otomatis menoleh. Sontak ia terkaget, begitu mengetahui tak jauh darinya ada seseorang yang penting bagi dirinya tengah jatuh tersungkur akibat sepeda yang menabraknya. Jantung Beni bahkan seolah terhenti melihat darah yang mengalir dari kaki Ana. Perempuan itu terduduk menahan sakit, dengan posisi salah satu kakinya masih tertimpa oleh roda sepeda. Tanpa berpikir panjang Beni langsung berlari menghampiri Ana, seolah lupa sekarang dirinya sedang dengan siapa. "K
Dua manusia yang memiliki ikatan darah itu saling diam. Mereka sama-sama bingung akan memulai pembicaraan dari mana. Bukan waktu yang sebentar mereka terpisah, jadi mereka belum terbiasa. Beni dan Kamila, masing-masing hanya mengangguk dan tersenyum saja. Hampir satu jam keduanya bertatap muka dan hanya itu saja yang mereka lakukan. Tersenyum dan mengangguk. Lucu sekali. Kamila meremas kedua tangan miliknya di bawah meja. Sebelum mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. "Kenapa semua yang Mama kasih buat kamu, selalu kamu tolak? Kamu masih belum mau menerima, jika Mama ini adalah Mama kamu, Ben?" Perempuan paruh baya berbaju cokelat itu menatap sedih, laki-laki yang merupakan anak pertama dari suami pertamanya itu. Beni menggelengkan kepalanya lemah. Bukan karena dia tidak menghargai pemberian mamanya, hanya saja dia masih belum senyaman itu menerima semuanya. Dia belum terbiasa. Beni berpikir, jika dia menerima segala pemberian itu, maka o
Keenan beberapa kali melirik Ana yang sedang asyik menyantap baksonya. Dia tidak pernah melihat ada wanita yang lebih antusias dengan makanannya, dari pada cowok tampan yang menemaninya. Ya, dia memang terlalu percaya diri? Buktinya anak dari penjual bakso tadi kedapatan beberapa kali mencuri pandang kepadanya. Sejak bertemu dengan Beni tadi, banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di kepalanya. Ia sempat akan langsung bertanya kepada Ana, tapi wanita itu malah selalu memotong pembicaraannya. "Kenapa Beni ke rumah lo, An?" Ana menggeleng. Ya, karena memang dia tidak tahu. Dia sempat bertanya kepada sang mama, tapi penjelasan dari mamanya menurutnya begitu mengada-ada. "Tante, udah setuju?" tanya Keenan memastikan. Entah untuk apa, dia sendiri juga tidak mengerti. Dia hanya sedikit merasa resah. "Setuju?" "Setuju sama Beni." Ana yang baru ngeh hanya ber "oh" ria dan lagi-lagi menggelengkan kepala, lalu kembali melanjutkan a