Aku memaksakan mengukir senyum. "Tidak apa-apa, Jeni. Apa kamu sedang tidak sehat?" tanyaku basa-basi saja."Katanya Jenifer merasa mual-mual. Mungkin masuk angin," timpal Mas Yusuf menjawab pertanyaanku pada Jenifer.Aku melangkah lebih masuk ke dalam kamar Jenifer. Mencoba bersikap bijaksana."Mungkin karena dari proses kehamilan trimester awal. Saya juga pernah mengalaminya dahulu. Mual, muntah, lemas, pusing, seperti harus berdamai dengan kondisi yang tidak mudah itu. Tapi, demi janin yang dikandung, kita sebagai wanita harus tetap kuat demi kandungan. Jangan lupa konsumsi vitamin dan makanan serta buah-buahan yang bergizi agar janin tetap sehat." Aku berusaha dewasa saja."Makasi, Mba." Jenifer menatapku haru."Jangan lupa istirahat yang cukup ya," sambungku.Jenifer mengangguk. "Ya sudah, Mas Yusuf sama Mba Mia. Silahkan kembali ke kamar kalian ya. Aku akan istirahat," titah Jenifer."Oke. Selamat istirahat." Aku sekedar basa-basi saja.Aku dan Mas Yusuf keluar dari kamar Jenifer
Secangkir teh hangat telah habis kuteguk. Aku bangkit menuju tempat tidur dan seperti biasanya, Mas Yusuf tidur menghadap ke samping membelakangiku. Aku dan dia sudah beberapa bulan menikah, tapi karena insiden kecelakaan yang membuat ingatannya sedikit memudar, Mas Yusuf belum juga menunaikan kewajibannya kepadaku.Aku paham. Meski saliva ini rasanya kecewa, tetap saja kutelan. Aku tidur di sampingnya seperti biasa tanpa pelukan hangat dari seorang suami.Esok harinya saat kami berdua tengah sarapan, Mas Yusuf tiba-tiba mempertanyakan keberadaan Jenifer."Apakah Jenifer tidak diajak sarapan bersama?" tanyanya di tengah-tengah mengunyah makanan."Entahlah, saya belum melihatnya, Mas," jawabku seadanya. Sedikit tercengang dengan pertanyaan Mas Yusuf. Apa dia sudah mulai?Segera kutepis pikiran ini. Aku memanggil Ijah untuk memeriksa Jenifer di kamarnya."Harusnya Mas Yusuf jadi suami yang adil. Makan bersama-sama di sini. Mba Jenifer tengah mengandung anak, Mas Yusuf." Kalimat sindiran
IIjah menatapku berat. Ia seperti enggan melanjutkan laporannya."Ijah, kenapa kamu malah diam? Lanjutkan. Laporan apalagi yang hendak kamu sampaikan," pintaku. Ijah tampak mengatur napasnya terlebih dahulu."Bu Jenifer, mengambil celana dalam itu menandakan kalau benda itu miliknya," imbuh Ijah.Sesaknya napas di dadaku. Aku menghirup udara dengan rakus, tapi suasana sekeliling rumah seperti tak ada oksigen yang mampu masuk ke dalam lubang pernapasanku.Aku mengusap dada. "Kamar itu usai diisi oleh, Mas Yusuf. Mengapa harus ada lingerie di kamar itu. Apa artinya mereka-" Tak mampu kulanjutkan kalimat itu. Kian terasa sesak saja napasku ini.Ijah pamit. Aku masih duduk di kursi yang sama. Mengusap kening yang isinya serasa berat. Apa aku harus cek CCTV? Iya benar, aku harus mengecek CCTV malam itu. Malam saat Mas Yusuf salah paham dan marah padaku kala itu.Padahal Mas Yusuf sudah tahu dalang semua masalah kemarin adalah, Jenifer. Namun entah kenapa, baik Mas Yusuf mau pun aku, merasa
Kuputar segera rekaman CCTV beberapa hari yang lalu. Gelap, tak ada yang bisa diputar. CCTV pada saat itu mati. Aku mengernyitkan dahi. Selalu saja begini. Setiap kali ada kejadian yang hendak kuselidiki, CCTV di rumah ini selalu saja mati tak ada yang bisa dilihat."Aneh," desisku sendirian. Ini seperti disengaja saja.Kututup kembali benda persegi itu. Tak ada gunanya. Kuhela napas kesal. Aku semakin dibuat penasaran dengan lingerie itu. Cerita Ijah membuatku merasa yakin kalau lingerie itu milik Jenifer. Hanya saja aku masih merasa penasaran dengan keberadaan celana dalam itu. Sedang apa benda itu ada di kamar tengah?Kuambil ponsel pintar saat waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Aku mencoba menelepon Mas Yusuf. "Hallo, Mas." Mas Yusuf menjawab sambungan telepon dariku."Iya, Mia. Kenapa?" Suamiku malah terdengar bertanya. Tidakkan dia paham dengan maksudku meneleponnya."Sudah jam sepuluh, Mas. Kenapa belum pulang?" tanyaku segera tanpa mau basa-basi."Entahlah, Mia. Sepertinya
Aku mengerjapkan mata. "Sorry!" Sepertinya akibat banyaknya pikiran di benak, membuat aku sampai tak fokus dengan keberadaan Reyno."Jangan melamun di pemakaman, Mba. Bahaya loh." Reyno menggodaku. Dia menyunggingkan senyuman mengembang."Ah, Pak Reyno. Bisa saja. Saya tidak melamun kok," bantahku segera."Sayang, siapa ini?" Bersamaan dengan itu, seorang wanita memotong perbincangan kami. Aku sedikit tercengang langsung berdiri. "Ini tetangga aku, Sayang," jawab Reyno pada wanita yang terlihat langsung menggandeng tangannya seperti hendak menyebrang sungai saja.Sayang? Oh sepertinya aku tahu. Tapi tak mau menerka. Aku masih menatung memperhatikan keduanya yang saling bergandengan nampak mesra."Sayang, pernkenalkan ini, Mba Mia. Dia tetanggaku sebelum menikah dengan, Pak Yusuf." Reyno memperkenalkanku pada wanita di sampingnya yang disebutnya sayang."Mba Mia, perkenalkan ini istri saya. Kamu baru dua minggu menikah," kata Reyno padaku.Oh ternyata istrinta toh. Pengantin baru pul
Di depan salon, mobil yang dikendarai Jenifer menepi. Aku juga menghentikan sepeda motorku tak jauh dari salon perawatan kecantikan itu. Namun bersamaan dengan itu ponselku berdering. Gegas kuambil dari dalam tas selempang."Mas Yusuf!" Panggilan masuk dari suamiku. Gegas kujawab dengan menggeser tombol berwarna hijau pada layar ponsel."Hallo, Mas," sapaku begitu benda pipih telah kutempelkan pada telinga."Kamu dimana?" tanya Mas Yusuf cukup singkat."Saya dalam perjalanan pulang. Ada apa, Mas?" Gegas ku berbalik tanya."Saya ada di kantor bersama, Anjani. Malam ini sepertinya saya akan kembali pulang ke rumah, Jenifer. Dia masih tiduran di rumahnya. Badannya masih lemas, saya tak tega meninggalkannya. Apa kamu bisa mengijinkan?" Mas Yusuf terdengar meminta ijin.Dahiku langsung mengerut mendengar penuturan Mas Yusuf. Apa dia bilang! Jenifer masih lemah, tiduran di rumahnya, tak tega meninggalkannya."Mas, apa kamu yakin kalau Jenifer masih lemas?" Aku mengajukan keraguan. Bagaimana
"Kenapa diam, Mas?"Pertanyaanku membangunkan Mas Yusuf dari lamunan singkatnya."Tidak ada yang menemani tidur saya malam itu. Saya sendirian, Mia," jawab Mas Yusuf ragu. Ya, kata-katanya tidak kontras dengan raut wajahnya.Kalau Mas Yusuf tidur sendirian, lalau bagaimana pasangan lingerie itu bisa berjalan sendiri ke kamar tengah? Apa ini memang ulah Jenifer yang hendak memfitnah suamiku?"Apa kamu berpikir yang tidak-tidak tentang saya?" Kali ini Mas Yusuf menatapku nanar."Saya hanya merasa aneh. Mengapa sebuah celana dalam bisa berjalan sendiri ke kamar itu pada malam yang sama. Malam saat kamu tidur di kamar tengah," jelasku. Tak ingin menutupi semuanya. Rasanya aku muak ingin mengeluarkan kejanggalan itu."Maksud kamu apa sih, Mia? Omonganmu hari ini terdengar aneh. Kamu kelelahan sehingga berbicara ngawur." Tampak tegang pada wajah Mas Yusuf. Namun suamiku itu segera mengalihkan pandangannya. Dia semakin terlihat gugup seraya mengusap kasar wajahnya.Aku jadi semakin merasa ya
Langkah kakiku serasa berat. Tapi aku harus tetap kuat. Aku sangat yakin wanita yang tadi kulihat adalah Jenifer. Aku tak mungkin salah.Aku masih duduk di atas motor yang kutepikan di pinggir taman. Aku duduk dan merenung sendirian di tempat yang sepi itu. Hari ini bukan hanya raga yang lelah, tapi jiwa ini terasa rapuh.Apa aku bisa membuat ingatan Mas Yusuf kembali lagi? Pertanyaan yang muncul dibenak membuat keyakinanku sedikit memudar.***"Kamu mau kemana lagi, Mas?" tanyaku.Mas Yusuf akhirnya pulang. Dia hanya berganti pakaian usai dua hari dua malam tidur di rumah Jenifer."Saya akan ke Bali. Jenifer, ngidam ingin pergi ke pantai kuta. Dia menangis semalaman, merengek ingin pergi ke sana," jawab Mas Yusuf.Seketika bola mataku membulat. "Mas, kamu baru saja selamat dari kecelakaan pesawat. Masa kamu akan naik pesawat lagi," protesku. Ada yang tengah kukendalikan, yakni amarah."Iya, Mia. Tapi saya tak tega melihat, Jenifer. Saya juga tidak mau kalau sampai anak dalam kandunga
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe