Langkah kakiku serasa berat. Tapi aku harus tetap kuat. Aku sangat yakin wanita yang tadi kulihat adalah Jenifer. Aku tak mungkin salah.Aku masih duduk di atas motor yang kutepikan di pinggir taman. Aku duduk dan merenung sendirian di tempat yang sepi itu. Hari ini bukan hanya raga yang lelah, tapi jiwa ini terasa rapuh.Apa aku bisa membuat ingatan Mas Yusuf kembali lagi? Pertanyaan yang muncul dibenak membuat keyakinanku sedikit memudar.***"Kamu mau kemana lagi, Mas?" tanyaku.Mas Yusuf akhirnya pulang. Dia hanya berganti pakaian usai dua hari dua malam tidur di rumah Jenifer."Saya akan ke Bali. Jenifer, ngidam ingin pergi ke pantai kuta. Dia menangis semalaman, merengek ingin pergi ke sana," jawab Mas Yusuf.Seketika bola mataku membulat. "Mas, kamu baru saja selamat dari kecelakaan pesawat. Masa kamu akan naik pesawat lagi," protesku. Ada yang tengah kukendalikan, yakni amarah."Iya, Mia. Tapi saya tak tega melihat, Jenifer. Saya juga tidak mau kalau sampai anak dalam kandunga
Sial! Rencana nyalon hari ini harus gagal saat aku melihat istri tua suamiku membuntuti. Dia sepertinya sengaja membuntutiku dan akan melaporkan kegiatan jalan-jalan hari ini pada Mas Yusuf.Saat Mia tengah lengah, aku dan sahabatku segera pergi dari salon. Tak ada tujuan lain selain pulang ke rumah dan kembali tidur seperti orang sakit. Aku sudah berhasil mengelabuhi Mas Yusuf dan Mia. Aku tak mau mereka berdua berpikir kalau aku sehat-sehat saja. Aku harus tetap terlihat sakit di mata mereka agar mereka iba padaku.Benar saja, dua jam kemudian Mas Yusuf menghubungiku lewat panggilan video. Beruntung aku sudah tiduran di kamar dan memakai make up agar wajah ini terlihat pucat.Mas Yusuf terlihat sendiri di ruang kantornya. Tapi aku sangat yakin di sampingnya pasti ada, Mia. Wanita itu pasti sudah melapor. Itu bisa ditebak dengan pertanyaan Mas Yusuf. Beruntung aku berhasil berkilah. Akhirnya Mas Yusuf percaya sampai akhirnya dia pulang kembali ke rumah Mama dan Papa. Aku tak akan men
Perasaan saya sebenarnya tengah dilema. Saya pulang ke rumah setelah mengiyakan permintaan Jenifer untuk pergi ke Bali. Bagaimana bisa menolak saat istri kedua itu berhasil mengacaukan perasaan saya. Dalam dada merasa berat pada Mia, karena istri pertama itu terasa berarti di lubuk hati saya. Tapi, Jenifer telah membuat jiwa lelaki ini meronta-ronta saat dekat dengannya.Tapi saat pulang ke rumah, Mia lagi-lagi mengintrogasi saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya merasa bersalah kepadanya. Ya, saya merasa bersalah karena telah memadu cinta dengan Jenifer tanpa sepengetahuannya. Sementara Mia, belum saya sentuh sama sekali. Dia tak seagresif Jenifer. Dia hanya menunggu sentuhan dari saya, sementara saya ragu untuk mengawalinya.Berbeda dengan Jenifer yang telah dua kali membuat hawa panas di dalam dada terasa bangkit. Saya meninggalkan rumah tanpa memperdulikan saat Mia memanggil nama saya di belakang.Supir pribadi telah melajukan mobil. Saya lihat kebelakang, Mia tengah
Air mata tak terasa kembali menetes di pipi. Mas Yusuf kembali berubah. Padahal aku sudah merencanakan jadwal untuk mengisi waktunya seharian esok. Tapi, Mas Yusuf memilih pergi ke Bali bersama Jenifef, istri mudanya.Aku meremas bajuku sendiri. Menahan rasa kecewa di dalam dada. Aku yang lemah selalu saja hanya bisa menangis saat merasakan kecewa dan sedih.Ting!Bunyi notipikasi pesan masuk pada ponsel pintarku. Kuraih benda pipih itu di atas nakas. Hanya pesan dari Siska yang menanyakan kabarku. Kubalas saja 'Baik' padahal batinku tengah sendu.Tak sengaja kugeser layar lalu melihat status whatsup milik Khaila."Harusnya sih paham ya, kalau suami sudah enggan bersama lebih baik pergi saja. Ini malah tetap diam saat telah dicuekin. Berwajah tembok sih."Degh! Terasa ada yang mengejutkan jantungku. Apa maksud dari status whatsup Khaila. Apa dia menyindirku? Aku segera membalas status Khaila tadi.[Apa maksud kamu? Menyindir saya?] Balasan status itu terkirim dan centang dua. Rupan
"Mas!" Aku menatap suamiku dengan tatapan berbinar."Iya, Mia. Maafkan saya. Ingatan itu berangsur pulih. Saya sudah mengingat kamu," kata Mas Yusuf dengan yakin. Dia kembali memeluk tubuh ini.Air mata tak terasa menetes di pipi. Namun, bukan hanya air mata kesedihan. Ini sebagai rasa haru dan bahagia karena aku merasa suamiku telah kembali. Bayanganku yang sempat menghilang dibenaknya kini telah kembali lagi.Mas Yusuf memelukku dengan erat seraya mengusap bahuku. Aku merasakan suasana hati suamiku yang sepertinya merasa bersalah padaku."Tidak usah minta maaf, Mas. Kamu tidak bersalah. Dengan kembalinya ingatanmu, itu sudah cukup membuat hati ini merasa bahagia." Aku yang merasa lega. Rasa keputus asaan yang sempat menghasut jiwa, seketika sirna dengan pulihnya ingatan Mas Yusuf.Dia melonggarkan pelukan, mengusap air mata kebahagiaan di pipiku, lalu tersenyum menatapku cukup dalam.Ya, tak salah lagi. Ini adalan tatapan suamiku. Tatapan yang saat pertama kali dia menyatakan perasa
Mas Yusuf menutupi bagian dadanya. Dia langsung melangkah pada cermin yang menempel di lemari kamar. Wajahnya terkejut. Sepertinya dia juga baru sadar dengan tanda merah itu."M-mungkin digigit nyamuk," elak Mas Yusuf. Dia langsung mengambil t-shirt di lemari. Dipakainya dengan cepat sampai tanda merah di dadanya tertutup kaos."Masa sih?" Aku merasa tak yakin. Itu seperti bukan bekas gigitan nyamuk, tapi lebih terlihat seperti bekas kecupan bibir manusia."Iya, Mia. Dalam perjalanan banyak sekali nyamuk." Suamiku masih berkilah."Masa cuma satu? Kalau banyak nyamuk biasanya kan tandanya juga banyak." Aku masih membahas karena masih penasaran."Entahlah, Mia." Mas Yusuf mengangkat bahunya."Saya lapar. Bisakah kamu menyiapkan makanan," imbuhnya mengalihkan perhatian.Aku mendengus kesal. Bukan kesal karena diminta menyiapkan makanan, tapi kesal karena Mas Yusuf tak menjawab kecurigaan ini dengan meyakinkan."Iya, Mas. Saya akan siapkan makanan ya." Aku menuruti permintaan suamiku. Se
Di kursi kayu yang berada di samping kolam renang, aku dan Jenifer duduk berdua saling berhadapan. Wajah Jenifer terlihat tegang dengan kedua tangan dimainkan di atas pangkuannya."Ada apa, Mba?" Jenifer langsung bertanya."Saya ingin bertanya dan kamu harus jawab jujur." Aku menekan terlebih dahulu. Walau sedikit ragu kalau dia akan berbicara jujur.Jenifer dengan wajahnya tampak mencerna permintaannku dan dia hanya mengangguk saja."Bagaimana bisa celana dalam milik kamu bisa berada di kamar tengah?" tanyaku tanpa menunggu lagi."Maksudnya?" Jenifer mengernyitkan dahi."Sudahlah, jangan pura-pura tak paham." Aku mengibaskan sebelah tangan kanan ke hadapan wajah Jenifer."Saya yang telah menemuikan celana dalam milik kamu yang tertinggal di kamar tengah," lanjutku sedikit memanipulasi. Seketika wajah Jenifer kian terlihat tegang. Ia mematung dalam beberapa saat. Seperti tak mampu membalas penuturanku."Jawab, Jenifer! Bagaimana benda milikmu yang bersifat pribadi itu bisa ditemukan
Mas Yusuf terdiam salam beberapa saat, lalu ia kembali mengangkat wajahnya menatapku tampak jujur."Mia, saya akui. Saya sudah bisa mengingat kejadian kala itu. Sebelum menikah saat kita berdua tengah salah paham, perasaan saya kala kitu benar-bebar terkoyak. Saya mabuk bersama Jenifer. Sesuatu entah pengaruh alkohol atau semacam obat seperti telah mempengaruhi emosi saya. Saya tidak sadar. Esok harinya saat membuka mata, saya melihat Jenifer tertidur di samping saya. Saya terkejut kala itu. Ternyata semua telah terjadi tanpa saya sadari," jelas Mas Yusuf. Aku sampai meneteskana air mata mendengar penuturannya. Meski pun pahit terasa, kali ini suamiku benar-benar terlihat berbicara dengan jujur. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Kejujuran Mas Yusuf memang terasa menusuk jantungku. Tapi, dia sudah berusaha terbuka dengan dosa masa lalunya."Mia, maafkan saya. Saya akui kesalahan itu memang akan melukai hatimu. Tapi, itu terjadi sebelum pernikahan." Mas Yusuf melanjutkan penjelasannya.