Keresahan terus saja menyelimuti jiwa. Apalagi saat menjelang petang, Mas Yusuf dan Jenifer belum menampakan batang hidungnya.Aku sampai berjalan mondar-mandir di depan rumah menunggu kedatangan suamiku. Harus kupastikan Mas Yusuf datang sendirian, tak bersama Jenifer. Aku memang egois, tapi aku masih yakin kalau janin dalam perut Jenifer bukanlah anak dari suamiku."Kok Mas Yusuf masih belum pulang juga sih," desisku berbicara sendiri. Padahal mentari sudah berada di ufuk barat dan sebentar lagi akan tenggelam."Ya sudahlah tak usah khawatir kali. Mas Yusuf itu sudah dewasa. Jangan batasi gerak Mas Yusuf karena dia tak akan nyaman." Tiba-tiba suara sopran di belakangku menimpali. Padahal aku tak sedang bicara dengan siapa-siapa. Aku hanya berbicara sendirian. Kutengok ke samping, rupanya ada Khaila. Saking resahnya sampai tak sadar dengan keberadaan Khaila di dekatku."Saya tidak membatasi, Mas Yusuf. Saya hanya khawatir saja karena sebentar lagi akan segera gelap tapi suami saya b
Kepalaku cenat-cenut saat terbayang poto Mas Yusuf berselfie mesra dengan Jenifer."Mia, tenang. Kamu harus tenang." Siska terdengar menenangkanku yang masih berbicara lewat sambungan telepon."Bagaimana aku bisa tenang, Sis. Coba kamu bayangkan, Jenifer telah berhasil membuat suamiku dekat dengannya. Hancur rasanya hati ini," lirihku. Air mata amarah menetes di pipi."Iya aku paham. Kamu pasti merasa geram. Tapi tetap harus tenang. Pikirkan tentang Yusuf. Suamimu itu sedang sakit. Kamu harus paham saat dia bisa saja dicuci otaknya oleh siapa pun," kata Siska. Dia juga ada benarnya."Lalu aku harus bagaimana?" Aku kehilangan akal. Kepalaku pusing, berat sekali rasanya."Kamu harus pura-pura tak tahu dengan berita ini. Main cantik saja. Kamu harus balas Jenifer dengan cantik. Jangan pernah berpikir akan meninggalkan Yusuf, karena dia belum pulih. Tapi, kamu harus tetap berusaha menyadarkan Yusuf kalau kamu adalah cinta sejatinya." Siska dengan antusias. Dia tetap berusaha memberiku sem
Malam ini Mas Yusuf sudah duduk di tepi ranjang. Dia tak menghindariku. Tapi masih dengan sikap dingin. Lelakiku itu sudah berganti pakaian tidur yang telah kusiapkan tadi."Apa Mas Yusuf akan tidur di sini?" Gegas kubertanya. Aku mendekat tapi hanya berdiri di depannya."Saya akan tidur di kamar ini, tapi tidak di ranjang ini," jawabnya datar. Tanpa membalas tatapanku. Mengapa Mas Yusuf kian enggan saja membalas tatapanku? Dadaku lesu, semakin lesu saja."Lalu kamu akan tidur dimana, Mas?" Aku yang heran."Di sofa." Dia meluruskan pandangan pada sofa yang masih berada di kamar ini.Aku mengatur napas. Tetap tenang. "Mas, bolehkah saya bertanya?"Mas Yusuf mengangkat wajahnya. "Tanya soal apa?" Wajahnya tiba-tiba tegang. Aku tahu penyebab wajahnya tegang seperti itu."Enggak, Mas. Aku hanya ingin bertanya, bagaimama hasil therapi tadi? Apa ada perkembangan?" Kali ini aku duduk di sampingnya."Masih dengan hasil yang sama," jawabnya datar. Ia menurunkan kembali wajahnya. Semakin terlih
"Saya akan buktikan, Mas," tekanku. Mas Yusuf mengangguk.Lelakiku beranjak dari ranjang. Dia mengambil satu bantal lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mas Yusuf nampak lelah. Dia memejamkan mata usai menatapku dalam.Gegas kumengunci pintu kamar. Tak akan kubiarkan siapa pun masuk ke dalam kamar. Kuambil satu selimut di dalam lemari. Tak akan kubiarkan Mas Yusuf tidur dalam kedinginan.Semoga selimur yang menutupi tubuhnya mampu menghangatkan suasana dingin malam ini. Mas Yusuf nampak tertidur dengan lelap. Aku menekuk lutut menatap wajahnya. Mengusap keningnya.'Mas, aku akan menunggu sampai kamu mampu mengingat cinta kita,' batinku. Melihatnya, menatapnya semakin menambah keyakinan kalau aku sangat menyayanginya. Aku sangat takut kehilangannya. Aku tak mau kehilangannya. Mungkin ini yang dinamakan cinta terakhir yang tak ingin tergantikan.Aku tertidur sendiri di atas ranjang, menatap suamiku dalam keheningan malam. Satu kalimat yang selalu terucap dalam do'a 'sembuhkanlah suami
"Mas, kok kamu gitu sih." Bola mata Jenifer nampak berkaca-kaca. Dia menampilkan wajah sendu. Aku yakin itu hanya pura-pura saja."Jenifer, tolong hargai keputusan, Mas Yusuf." Aku menegaskan.Jenifer melayangkan tatapan sinis padaku. Bibirnya nampak mengerut, mungkin dia tengah menahan emosinya. Lalu, tatapan yang berbeda dia layangkan pada suamiku. Dia mengukir senyuman tipis, wajahnya berubah jadi terlihat tenang dalam pandangan suamiku. Jenifer memang bermuka dua."Baiklah, Mas. Aku paham kok. Lagi pula sebagai istri kedua, aku kan harus sering mengalah." Jenifer tampak berakting.Aku memutar bola kata kesal. Nafsu makan ini seketika lenyap dengan kemunculannya."Mas, saya permisi sebentar ya. Saya harus siap-siap," pamitku pada Mas Yusuf. Pria di hadapanku mengangguk manis. Aku senang sekali melihatnya.Saat berjalan melewati ruang tengah, kulihat Ijah sedang berdiri di kamar yang tempo lalu sempat diisi oleh Mas Yusuf. Pintunya terbuka lebar sehingga aku mampi melihatnya. Ijah b
Ada rasa penasaran yang kian bergejolak di dalam dada. Aku harap pertemuan dengan Siska kali ini akan mengurangi kesalah pahaman yang tengah terjadi dengan, Mas Yusuf.Hampir tiga puluh menit memakan waktu saat perjalanan. Aku sudah sampai di depan caffe. Tempat yang biasa kami kunjungi saat melakukan pertemuan. Tempat yang sederhana tapi sangat nyaman untuk berbincang-bincang bahkan meeting sekali pun.Aku dan Mas Yusuf keluar dari mobil. Kami berdua masuk ke dalam caffe. Aku langsung menuju tempat duduk yang sudah biasa dipesan Siska. Tapi tempat itu masih kosong, apa Siska belum sampai?"Dimana, Siska?" Mas Yusuf terdengar bertanya saat kedua bola matanya tak mampu menemukan keberadaan sahabatku itu."Mungkin masih di jalan. Kita duduk dulu saja, Mas. Saya akan meneleponnya sekarang," jawabku.Bersamaan dengan itu, peleyan caffe menghampiri kami. Seperti biasa, gadis berseragam serba merah muda menyodorkan menu favorit di caffe ini.Hanya tiga gelas minuman manis dan dessert aku pe
"Berani-beraninya kamu berbohong!" sergah Mas Yusuf. Bola matanya membulat. Bibirnya mengerut. Rahangnya juga nampak mengeras. Sepertinya Mas Yusuf benar-benar marah."Maaf," ucap Frans menundukan kepala. Mungkin kalau bukan di depan banyak orang, sudah mendarat pukulan keras mendarat di pipi Frans.Aku pun merasa sangat marah tapi masih bisa kukendalikan."Beruntung Siska masih bisa menemukan kamu. Saya tak dapat membayangkan kalau Siska tak menemukan kamu, mungkin sampai detik ini Mas Yusuf akan tetap berpikiran buruk tentang saya," kesalku pada Frans. Tapi lebih kesal lagi rasanya pada Jenifer. Tentu semua ini karena ulah dia."Mia, mau kita apakan orang ini?" Siska bertanya padaku. Ia nampak semakin geram melihat Frans."Entahlah, aku tak akan tega melihat istrinya melahirkan tanpa suami." Aku yang tetap merasa kasihan.Kualihkan kembali pada Frans yang masih saja menunduk. "Pergi dari hadapan saya, saya tidak mau melihat wajah kamu. Menjijikan!" usirku."Kamu yakin akan melepaska
"Saat itu, Frans tengah makan malam bersama istrinya di rumah makan pinggir jalan. Orang bayaranku menyergapnya. Istrinya terkejut. Tapi orang-orangku tetap membawa Frans ke rumahku, tanpa istrinya. Aku segera mengintrogasi. Kuancam akan dibawa ke jalur hukum kalau dia berontak. Frans bergeming, dia tak mampu membela diri. Kedua orangku mengurungnya di tempat mereka. Sampai pagi aku ajak bertemu dengan kalian di sini." Lengkap sekali penjelasan Siska. Aku menatapnya takjub."Kamu benar-benar cerdas, Sis." Aku memujinya."Jangan memuji, karena aku tak akan melayang." Siska mengibaskan tangannya. Ia tersenyum tipis."Tidak memuji kok. Memang fakta. Makasi banyak ya." Bola mataku berbinar takjub memandangnya."Lalu, berapa kamu membayar kedua orang itu?" Aku meluruskan tatapan pada kedua orang berwajah sangar yang masih berdiri di belakang Siska."Itu rahasia. Kebetulan aku memenangkan tender di kantor. Jadi, aku telah membayar mereka," jawab Siska dengan santainya."Kalian silahkan perg