"Mas, kok kamu gitu sih." Bola mata Jenifer nampak berkaca-kaca. Dia menampilkan wajah sendu. Aku yakin itu hanya pura-pura saja."Jenifer, tolong hargai keputusan, Mas Yusuf." Aku menegaskan.Jenifer melayangkan tatapan sinis padaku. Bibirnya nampak mengerut, mungkin dia tengah menahan emosinya. Lalu, tatapan yang berbeda dia layangkan pada suamiku. Dia mengukir senyuman tipis, wajahnya berubah jadi terlihat tenang dalam pandangan suamiku. Jenifer memang bermuka dua."Baiklah, Mas. Aku paham kok. Lagi pula sebagai istri kedua, aku kan harus sering mengalah." Jenifer tampak berakting.Aku memutar bola kata kesal. Nafsu makan ini seketika lenyap dengan kemunculannya."Mas, saya permisi sebentar ya. Saya harus siap-siap," pamitku pada Mas Yusuf. Pria di hadapanku mengangguk manis. Aku senang sekali melihatnya.Saat berjalan melewati ruang tengah, kulihat Ijah sedang berdiri di kamar yang tempo lalu sempat diisi oleh Mas Yusuf. Pintunya terbuka lebar sehingga aku mampi melihatnya. Ijah b
Ada rasa penasaran yang kian bergejolak di dalam dada. Aku harap pertemuan dengan Siska kali ini akan mengurangi kesalah pahaman yang tengah terjadi dengan, Mas Yusuf.Hampir tiga puluh menit memakan waktu saat perjalanan. Aku sudah sampai di depan caffe. Tempat yang biasa kami kunjungi saat melakukan pertemuan. Tempat yang sederhana tapi sangat nyaman untuk berbincang-bincang bahkan meeting sekali pun.Aku dan Mas Yusuf keluar dari mobil. Kami berdua masuk ke dalam caffe. Aku langsung menuju tempat duduk yang sudah biasa dipesan Siska. Tapi tempat itu masih kosong, apa Siska belum sampai?"Dimana, Siska?" Mas Yusuf terdengar bertanya saat kedua bola matanya tak mampu menemukan keberadaan sahabatku itu."Mungkin masih di jalan. Kita duduk dulu saja, Mas. Saya akan meneleponnya sekarang," jawabku.Bersamaan dengan itu, peleyan caffe menghampiri kami. Seperti biasa, gadis berseragam serba merah muda menyodorkan menu favorit di caffe ini.Hanya tiga gelas minuman manis dan dessert aku pe
"Berani-beraninya kamu berbohong!" sergah Mas Yusuf. Bola matanya membulat. Bibirnya mengerut. Rahangnya juga nampak mengeras. Sepertinya Mas Yusuf benar-benar marah."Maaf," ucap Frans menundukan kepala. Mungkin kalau bukan di depan banyak orang, sudah mendarat pukulan keras mendarat di pipi Frans.Aku pun merasa sangat marah tapi masih bisa kukendalikan."Beruntung Siska masih bisa menemukan kamu. Saya tak dapat membayangkan kalau Siska tak menemukan kamu, mungkin sampai detik ini Mas Yusuf akan tetap berpikiran buruk tentang saya," kesalku pada Frans. Tapi lebih kesal lagi rasanya pada Jenifer. Tentu semua ini karena ulah dia."Mia, mau kita apakan orang ini?" Siska bertanya padaku. Ia nampak semakin geram melihat Frans."Entahlah, aku tak akan tega melihat istrinya melahirkan tanpa suami." Aku yang tetap merasa kasihan.Kualihkan kembali pada Frans yang masih saja menunduk. "Pergi dari hadapan saya, saya tidak mau melihat wajah kamu. Menjijikan!" usirku."Kamu yakin akan melepaska
"Saat itu, Frans tengah makan malam bersama istrinya di rumah makan pinggir jalan. Orang bayaranku menyergapnya. Istrinya terkejut. Tapi orang-orangku tetap membawa Frans ke rumahku, tanpa istrinya. Aku segera mengintrogasi. Kuancam akan dibawa ke jalur hukum kalau dia berontak. Frans bergeming, dia tak mampu membela diri. Kedua orangku mengurungnya di tempat mereka. Sampai pagi aku ajak bertemu dengan kalian di sini." Lengkap sekali penjelasan Siska. Aku menatapnya takjub."Kamu benar-benar cerdas, Sis." Aku memujinya."Jangan memuji, karena aku tak akan melayang." Siska mengibaskan tangannya. Ia tersenyum tipis."Tidak memuji kok. Memang fakta. Makasi banyak ya." Bola mataku berbinar takjub memandangnya."Lalu, berapa kamu membayar kedua orang itu?" Aku meluruskan tatapan pada kedua orang berwajah sangar yang masih berdiri di belakang Siska."Itu rahasia. Kebetulan aku memenangkan tender di kantor. Jadi, aku telah membayar mereka," jawab Siska dengan santainya."Kalian silahkan perg
Aku masih mendengar percakapan Mas Yusuf dan Jenifer di dalam kamar. Suara Mas Yusuf bahkan terdengar kian meninggi."Cukup! Saya tidak mau lagi mendengar ocehan kamu. Kamu selalu saja berbohong!" Suara Mas Yusuf menyentak."Mas, aku lagi hamil anak kamu. Mana mungkin aku berbohong sama kamu. Oh yah, aku tahu. Kamu pasti sudah termakan kebohongan Mia kan. Wanita itu pasti sudah menjelek-jelekan aku kan. Mas, kalau aku pembohong, mana mungkin aku bisa hamil anakmu." Suara Jenifer diiringi dengan isak tangisannya. Jenifer, dia malah memutar balikan fakta. Aku kian merasa geram saja dengan suara isak tangisnya. Pasti dia sedang berakting sendu di hadapan Mas Yusuf.Aku mengintai dari balik celah pintu yang terbuka lebar. Mas Yusuf nampak bergeming dengan amarahnya."Mas, jangan biarkan siapa pun membuat kamu merubah tanggung jawab kamu. Kasihan anak kita yang tidak tahu apa-apa. Aku tidak mau dia terlahir tanpa sosok Ayah di sisinya. Ini bukan keinginanku. Ini adalah akibat dari kelakuk
Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi driver, bersiap mengendarai mobil Mas Yusuf. Karena suamiku masih kaku berkendara.Sementara Mas Yusuf duduk di kursi belakang menahan tubuh Jenifer yang memangis lemah karena dia masih sadar.Aku melajukan kendaraan roda empat menuju rumah sakit terdekat untuk menolong, Jenifer."Mas, sakit," rintih Jenifer dari belakang. Kulihat dari kaca spion dalam, istri kedua suamiku nampak menyenderkan kepalanya.Mas Yusuf iba pada Jenifer. Aku tak bisa marah melihat Jenifer menyenderkan kepalanya pada bahu Mas Yusuf, mungkin karena maduku tengah kesakitan. Rasa was-was di dalam dada saat teringat tubuh Rani yang sudah tak bernyawa saat menyayat pergelangan tangannya. Aku tak mau melihat Jenifer melakukan hal yang serupa seperti yang pernah Rani lakukan dahulu."Harusnya kamu tak melakukan hal gegabah seperti tadi, Jenifer." Mas Yusuf menimpali rintihan Jenifer. Aku harus tetap tenang. Mungkin akan terasa panas saat mereka berdua berbincang di
Mas Yusuf melempar tatapannya kepadaku. Tersirat suatu pertanyaan yang sepertinya membutuhkan persetujuan dariku.Mas Yusuf diam, aku pun diam. Hanya Jenifer dengan suara isak tangisnya. Ia menutup wajahnya sendiri yang tengah memangis terseguk-seguk.Akhirnya aku angkat bicara setelah terpaku dalam benerapa menit. "Jangan seperti ini, Jenifer. Kematian adalah hak, Tuhan. Manusia tidak punya hak untuk mengakhiri hidup. Perlu kita ketahui, mengakhiri hidup bukanlah jalan keluar dari masalah. Manusia hanya akan menemukan masalah baru di alam akhirat setelah mati dengan cara bunuh diri. Tuhan tidak menerima hambanya yang putus asa. Bumi pun menolak jasadnya. Lantas, akan kemana pulangnya seorang hamba saat Tuhan tak mau menerima hambanya yang putus asa."Mendengar ucapanku, Jenifer membuka wajahnya yang sedari tadi ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Ia seperti tengah stres. Mungkin karena tak mau diceraikan oleh Mas Yusuf. Apa Jenifer benar-bena
Selang tiga puluh menit setelah mengakhiri sambungan telepon, tiba-tiba Khaila datang. Dia membuka pintu lalu masuk tanpa basa-basi. Rupanya dia telah mengetahui kamar Jenifer tanpa terlebih dahulu bertanya padaku. Mungkin dari resepsionis rumah sakit."Khaila!" Jenifer terkejut dengan kedatangan adik Mas Yusuf itu.Sementara aku hanya melirik saja, pun dengan Mas Yusuf."Mas Yusuf, kenapa Mas tak memberitahu aku tentang insiden, Mba Jenifer?" Khaila langsung melayangkan pertanyaan setelah mendekat ke ranjang Jenifer."Kami panik," jawab Mas Yusuf sesingkat itu.Khaila mendengus kesal. Ia melirik sinis padaku yang hanya diam dan duduk di sofa dekat jendela. Aku berpura-pura sibuk saja dengan ponsel pintarku dari pada harus beradu argumen dengan Khaila."Sepanik-paniknya kalian, mengapa sampai lupa mengetuk pintu kamarku dan memberikan kabar," kesal Khaila."Sudahlah, Khai. Yang paling penting kan aku baik-baik saja. Berkat pertolongan mereka, kini aku selamat dan baik-baik saja." Jeni