Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi driver, bersiap mengendarai mobil Mas Yusuf. Karena suamiku masih kaku berkendara.Sementara Mas Yusuf duduk di kursi belakang menahan tubuh Jenifer yang memangis lemah karena dia masih sadar.Aku melajukan kendaraan roda empat menuju rumah sakit terdekat untuk menolong, Jenifer."Mas, sakit," rintih Jenifer dari belakang. Kulihat dari kaca spion dalam, istri kedua suamiku nampak menyenderkan kepalanya.Mas Yusuf iba pada Jenifer. Aku tak bisa marah melihat Jenifer menyenderkan kepalanya pada bahu Mas Yusuf, mungkin karena maduku tengah kesakitan. Rasa was-was di dalam dada saat teringat tubuh Rani yang sudah tak bernyawa saat menyayat pergelangan tangannya. Aku tak mau melihat Jenifer melakukan hal yang serupa seperti yang pernah Rani lakukan dahulu."Harusnya kamu tak melakukan hal gegabah seperti tadi, Jenifer." Mas Yusuf menimpali rintihan Jenifer. Aku harus tetap tenang. Mungkin akan terasa panas saat mereka berdua berbincang di
Mas Yusuf melempar tatapannya kepadaku. Tersirat suatu pertanyaan yang sepertinya membutuhkan persetujuan dariku.Mas Yusuf diam, aku pun diam. Hanya Jenifer dengan suara isak tangisnya. Ia menutup wajahnya sendiri yang tengah memangis terseguk-seguk.Akhirnya aku angkat bicara setelah terpaku dalam benerapa menit. "Jangan seperti ini, Jenifer. Kematian adalah hak, Tuhan. Manusia tidak punya hak untuk mengakhiri hidup. Perlu kita ketahui, mengakhiri hidup bukanlah jalan keluar dari masalah. Manusia hanya akan menemukan masalah baru di alam akhirat setelah mati dengan cara bunuh diri. Tuhan tidak menerima hambanya yang putus asa. Bumi pun menolak jasadnya. Lantas, akan kemana pulangnya seorang hamba saat Tuhan tak mau menerima hambanya yang putus asa."Mendengar ucapanku, Jenifer membuka wajahnya yang sedari tadi ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Ia seperti tengah stres. Mungkin karena tak mau diceraikan oleh Mas Yusuf. Apa Jenifer benar-bena
Selang tiga puluh menit setelah mengakhiri sambungan telepon, tiba-tiba Khaila datang. Dia membuka pintu lalu masuk tanpa basa-basi. Rupanya dia telah mengetahui kamar Jenifer tanpa terlebih dahulu bertanya padaku. Mungkin dari resepsionis rumah sakit."Khaila!" Jenifer terkejut dengan kedatangan adik Mas Yusuf itu.Sementara aku hanya melirik saja, pun dengan Mas Yusuf."Mas Yusuf, kenapa Mas tak memberitahu aku tentang insiden, Mba Jenifer?" Khaila langsung melayangkan pertanyaan setelah mendekat ke ranjang Jenifer."Kami panik," jawab Mas Yusuf sesingkat itu.Khaila mendengus kesal. Ia melirik sinis padaku yang hanya diam dan duduk di sofa dekat jendela. Aku berpura-pura sibuk saja dengan ponsel pintarku dari pada harus beradu argumen dengan Khaila."Sepanik-paniknya kalian, mengapa sampai lupa mengetuk pintu kamarku dan memberikan kabar," kesal Khaila."Sudahlah, Khai. Yang paling penting kan aku baik-baik saja. Berkat pertolongan mereka, kini aku selamat dan baik-baik saja." Jeni
Aku memaksakan mengukir senyum. "Tidak apa-apa, Jeni. Apa kamu sedang tidak sehat?" tanyaku basa-basi saja."Katanya Jenifer merasa mual-mual. Mungkin masuk angin," timpal Mas Yusuf menjawab pertanyaanku pada Jenifer.Aku melangkah lebih masuk ke dalam kamar Jenifer. Mencoba bersikap bijaksana."Mungkin karena dari proses kehamilan trimester awal. Saya juga pernah mengalaminya dahulu. Mual, muntah, lemas, pusing, seperti harus berdamai dengan kondisi yang tidak mudah itu. Tapi, demi janin yang dikandung, kita sebagai wanita harus tetap kuat demi kandungan. Jangan lupa konsumsi vitamin dan makanan serta buah-buahan yang bergizi agar janin tetap sehat." Aku berusaha dewasa saja."Makasi, Mba." Jenifer menatapku haru."Jangan lupa istirahat yang cukup ya," sambungku.Jenifer mengangguk. "Ya sudah, Mas Yusuf sama Mba Mia. Silahkan kembali ke kamar kalian ya. Aku akan istirahat," titah Jenifer."Oke. Selamat istirahat." Aku sekedar basa-basi saja.Aku dan Mas Yusuf keluar dari kamar Jenifer
Secangkir teh hangat telah habis kuteguk. Aku bangkit menuju tempat tidur dan seperti biasanya, Mas Yusuf tidur menghadap ke samping membelakangiku. Aku dan dia sudah beberapa bulan menikah, tapi karena insiden kecelakaan yang membuat ingatannya sedikit memudar, Mas Yusuf belum juga menunaikan kewajibannya kepadaku.Aku paham. Meski saliva ini rasanya kecewa, tetap saja kutelan. Aku tidur di sampingnya seperti biasa tanpa pelukan hangat dari seorang suami.Esok harinya saat kami berdua tengah sarapan, Mas Yusuf tiba-tiba mempertanyakan keberadaan Jenifer."Apakah Jenifer tidak diajak sarapan bersama?" tanyanya di tengah-tengah mengunyah makanan."Entahlah, saya belum melihatnya, Mas," jawabku seadanya. Sedikit tercengang dengan pertanyaan Mas Yusuf. Apa dia sudah mulai?Segera kutepis pikiran ini. Aku memanggil Ijah untuk memeriksa Jenifer di kamarnya."Harusnya Mas Yusuf jadi suami yang adil. Makan bersama-sama di sini. Mba Jenifer tengah mengandung anak, Mas Yusuf." Kalimat sindiran
IIjah menatapku berat. Ia seperti enggan melanjutkan laporannya."Ijah, kenapa kamu malah diam? Lanjutkan. Laporan apalagi yang hendak kamu sampaikan," pintaku. Ijah tampak mengatur napasnya terlebih dahulu."Bu Jenifer, mengambil celana dalam itu menandakan kalau benda itu miliknya," imbuh Ijah.Sesaknya napas di dadaku. Aku menghirup udara dengan rakus, tapi suasana sekeliling rumah seperti tak ada oksigen yang mampu masuk ke dalam lubang pernapasanku.Aku mengusap dada. "Kamar itu usai diisi oleh, Mas Yusuf. Mengapa harus ada lingerie di kamar itu. Apa artinya mereka-" Tak mampu kulanjutkan kalimat itu. Kian terasa sesak saja napasku ini.Ijah pamit. Aku masih duduk di kursi yang sama. Mengusap kening yang isinya serasa berat. Apa aku harus cek CCTV? Iya benar, aku harus mengecek CCTV malam itu. Malam saat Mas Yusuf salah paham dan marah padaku kala itu.Padahal Mas Yusuf sudah tahu dalang semua masalah kemarin adalah, Jenifer. Namun entah kenapa, baik Mas Yusuf mau pun aku, merasa
Kuputar segera rekaman CCTV beberapa hari yang lalu. Gelap, tak ada yang bisa diputar. CCTV pada saat itu mati. Aku mengernyitkan dahi. Selalu saja begini. Setiap kali ada kejadian yang hendak kuselidiki, CCTV di rumah ini selalu saja mati tak ada yang bisa dilihat."Aneh," desisku sendirian. Ini seperti disengaja saja.Kututup kembali benda persegi itu. Tak ada gunanya. Kuhela napas kesal. Aku semakin dibuat penasaran dengan lingerie itu. Cerita Ijah membuatku merasa yakin kalau lingerie itu milik Jenifer. Hanya saja aku masih merasa penasaran dengan keberadaan celana dalam itu. Sedang apa benda itu ada di kamar tengah?Kuambil ponsel pintar saat waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Aku mencoba menelepon Mas Yusuf. "Hallo, Mas." Mas Yusuf menjawab sambungan telepon dariku."Iya, Mia. Kenapa?" Suamiku malah terdengar bertanya. Tidakkan dia paham dengan maksudku meneleponnya."Sudah jam sepuluh, Mas. Kenapa belum pulang?" tanyaku segera tanpa mau basa-basi."Entahlah, Mia. Sepertinya
Aku mengerjapkan mata. "Sorry!" Sepertinya akibat banyaknya pikiran di benak, membuat aku sampai tak fokus dengan keberadaan Reyno."Jangan melamun di pemakaman, Mba. Bahaya loh." Reyno menggodaku. Dia menyunggingkan senyuman mengembang."Ah, Pak Reyno. Bisa saja. Saya tidak melamun kok," bantahku segera."Sayang, siapa ini?" Bersamaan dengan itu, seorang wanita memotong perbincangan kami. Aku sedikit tercengang langsung berdiri. "Ini tetangga aku, Sayang," jawab Reyno pada wanita yang terlihat langsung menggandeng tangannya seperti hendak menyebrang sungai saja.Sayang? Oh sepertinya aku tahu. Tapi tak mau menerka. Aku masih menatung memperhatikan keduanya yang saling bergandengan nampak mesra."Sayang, pernkenalkan ini, Mba Mia. Dia tetanggaku sebelum menikah dengan, Pak Yusuf." Reyno memperkenalkanku pada wanita di sampingnya yang disebutnya sayang."Mba Mia, perkenalkan ini istri saya. Kamu baru dua minggu menikah," kata Reyno padaku.Oh ternyata istrinta toh. Pengantin baru pul