“Ngidam? Maksudmu Arum hamil?” tebak Danu.
Budi tersenyum sambil menganggukkan kepala. Danu terdiam untuk beberapa saat. Sekali lagi ia mencoba mengingat apa yang terjadi pada istrinya belakangan ini. Danu tidak melihat banyak perubahan terjadi. Hanya saja kini Arum semakin manja padanya, bahkan terlalu sering menggoda Danu. Ujung-ujungnya akan berakhir dengan aktivitas panas mereka di ranjang.
Tanpa sebab wajah Danu merona merah. Dia buru-buru meraup wajahnya dan menjauh dari tatapan Budi.
“Orang hamil dan orang sakit asam lambung mempunyai gejala yang mirip, Tuan. Mual, muntah, pusing, rasa enek. Saya rasa tidak ada salahnya Tuan memeriksakan Nyonya lebih lanjut.”
Budi kembali menambahkan kalimatnya. Sementara Danu masih terdiam. Memang hubungannya dengan Arum jauh lebih baik dari pada lima tahun yang lalu. Namun, Danu sedikit ragu untuk melakukan apa yang dikatakan Budi.
Saat sakit asam lambung kemarin saja Arum tidak mem
“Jadi, kita cari bubur ayam sekarang, Tuan?” tanya Budi.Danu tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. Selang beberapa saat, Lisa bergegas masuk ke ruangan Arum sambil membawa paper bag.“Nona, ada kiriman dari Tuan Danu,” ujar Lisa.Arum mendongak, menatap Lisa kemudian langsung tersenyum lebar usai mengingat apa yang dikatakan Danu di telepon tadi.“Apa ini bubur ayam, Nona?” tebak Lisa.Arum mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Lisa menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Kenapa Nona tidak bilang jika sedang ingin bubur ayam. Tahu gitu tadi saya bagi punya saya.”Arum langsung menggelengkan kepala.“Udah gak papa. Lagian pemberian suami itu lebih enak rasanya.”Lisa langsung tergelak mendengar ucapan Arum.“Astaga!! Sejak kapan Nona bisa ngelawak seperti ini?”Arum tidak menjawab dan kini sudah mulai sibuk meni
“Dia baik-baik saja. Dia hanya kelelahan. Cepat ambilkan minyak angin untuk membuatnya sadar!” pinta Dokter Sandy.Lisa mengangguk. Ia berhambur keluar kemudian kembali dengan benda yang diminta Dokter Sandy. Selang beberapa saat, Arum membuka mata. Ia terkejut saat melihat Dokter Sandy ada di sampingnya. Arum bergegas menggeser tubuh dan Dokter Sandy menyadari.“Kamu pingsan tadi dan kebetulan aku datang ke sini. Jadi aku yang memeriksamu,” jelas Dokter Sandy. Ia tidak mau Arum salah sangka padanya.Arum hanya mengangguk sambil tersenyum menatap Dokter Sandy.“Iya, terima kasih, Dok.”Dokter Sandy terdiam sambil melirik Arum sekilas. Lisa sudah tidak berada di ruangan. Ia sudah dijemput pacarnya, hari ini Lisa ada keperluan mendesak yang tidak bisa ia tinggal. Jadi hanya Dokter Sandy dan Arum saja yang berada di ruangan itu.“Kapan kamu terakhir halangan?” Tiba-tiba Dokter Sandy bertanya seper
“Tidak. Sama sekali tidak. Saya minta maaf jika kehadiran saya mengganggu di sini,” ujar Dokter Sandy.Danu hanya manggut-manggut, ia terlihat lebih tenang dari tadi. Namun, tatapannya sangat tajam menghujam Arum dan Dokter Sandy. Arum hanya diam, menarik napas panjang. Sementara Dokter Sandy melirik ke arah Arum.“Aku pulang dulu, Arum. Mungkin ajakan makan malamku lain kali saja.” Dokter Sandy berpamitan dan Arum menjawab dengan anggukkan kepala.Pria berkacamata itu sudah berlalu pergi meninggalkan Arum dan Danu. Perlahan Danu mendekat hingga berdiri tak berjarak di hadapan Arum. Tangan Danu langsung terulur menyentuh baju Arum dan mengancingkannya.“Lain kali aku tidak mau melihat pria lain menyentuhmu. INGAT ITU!!”Arum menghela napas sambil memejamkan mata sekilas.“Kami tidak melakukan apa-apa, Mas. Kamu jangan salah sangka. Malah dia yang menolongku.”Danu mengangguk. “Iya,
“Aku beneran hamil. Anak Mas Danu,” gumam Arum.Dia masih tidak percaya dengan hasil test pack yang baru saja dilakukan. Namun, semuanya jelas terlihat jika dia memang positif hamil. Arum tercenung cukup lama menatap alat test pack itu. Kemudian tak lama sebuah senyuman terukir dengan indah di rautnya.“Aku akan buat kejutan untuknya.”Arum bergegas mandi, kemudian tak lama ia sudah bersiap untuk keluar rumah. Kepalanya memang masih sedikit pusing dan ia sudah tahu penyebabnya. Arum kini tampak sedang menikmati sarapan di sebuah kafe dekat dengan rumahnya.Kini Arum tahu kenapa selera makannya tiba-tiba berubah drastis belakangan ini. Tak lain dan tak bukan karena kehamilan ini penyebabnya. Lagi-lagi sebuah senyuman terlihat di wajah cantiknya. Arum memang memutuskan untuk tidak ke kantor. Dia ingin menikmati kebahagiaannya lebih awal.Arum tampak memainkan ponselnya dan kini sedang menghubungi sebuah nomor. Cukup lama dia m
“Gak mungkin Mas Danu pelakunya. Ini pasti salah,” gumam Arum.Arum sangat shock usai membaca berkas yang diberi Dokter Sandy tempo hari. Di dalam amplop itu ada nama Danu yang tertera di sana sebagai pelaku pembunuhan Anjani, sahabatnya.“Dokter Sandy pasti salah. Aku yakin dia pasti salah.”Berulang Arum berkata seperti itu. Namun, satu sisi hatinya seakan percaya dengan semua yang tertera di sana. Arum terdiam, menatap berkas di tangannya.“Lalu bagaimana kalau semua ini benar? Kenapa Mas Danu menutupinya? Jangan-jangan selama ini dia tidak melakukan penyelidikan karena takut ketahuan.”Arum malah sibuk bermonolog sendiri. Helaan napas panjang keluar dari bibir Arum. Ia melipat berkas tersebut kemudian memasukkan ke dalam tasnya.“Aku harus mencari tahu.”Arum bangkit lalu dengan bergegas pergi begitu saja dari ruangan Danu. Ia lupa dengan kejutan yang ia siapkan untuk Danu. Arum suda
“Mereka yang menutupi kejahatan Tuan Danu selama ini. Bahkan Tuan Danu terpaksa berjanji pada Nadia karena kebaikannya,” jelas Dokter Sandy.Arum menatap tajam ke arah Dokter Sandy. Matanya masih menaruh curiga dan sama sekali tidak percaya dengan penjelasan Dokter Sandy.“Kalau kamu ingin bertemu dengan Tuan Rafael. Aku bisa mengusahakannya. Dia yang berperan besar membantu Tuan Danu saat itu.”Arum terdiam. Entah mengapa ia jadi ingat saat bertemu dengan Tuan Rafael tempo hari. Pria paruh baya itu sempat marah dan berkata kalau dia punya buktinya. Saat Arum menanyakan ke Danu. Danu malah mengalihkan topik pembicaraan.Lagi-lagi semua kejanggalan yang dialami Arum terjawab sudah. Melihat Arum yang masih terdiam, perlahan Dokter Sandy mengulurkan tangan siap menyentuh Arum. Namun, Arum lebih dulu menarik tangannya sebelum pria berkacamata itu berulah.Dokter Sandy menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
“ARUM, tumben kamu ke sini!!” seru Bu Rahayu.Usai bertemu dengan Dokter Sandy, Arum tidak langsung pulang melainkan ke panti tempatnya tinggal dulu. Bu Rahayu terkejut saat melihat kehadiran Arum saat ini. Arum hanya diam, wajahnya tampak murung bahkan rambut hitam panjangnya yang biasa rapi tampak berantakan.“Ada apa? Kamu sakit?” tanya Bu Rahayu.Arum tidak menjawab, menggelengkan kepala. Belum habis rasa terkejut Bu Rahayu, kini Arum malah menangis. Tentu saja Bu Rahayu makin bingung.“Arum … ada apa? Kamu bertengkar dengan Danu?”Tidak ada jawaban, kini hanya kepala Arum yang menggeleng. Akhirnya Bu Rahayu memilih diam dan membiarkan Arum mencurahkan kesedihannya. Selang beberapa saat, Arum sudah tenang. Ia menyeka air mata di pipinya sambil merapikan rambutnya.“Bu … apa Ibu ingat dengan Anjani?” Tiba-tiba Arum bertanya seperti itu.Wanita paruh baya itu tampak terke
“WAH!! Kebetulan kalian berdua di sini,” seru Nyonya Lani.Arum menjeda kalimatnya dan kini melirik ke arah pintu utama. Danu juga melakukan hal yang sama. Mereka melihat Nyonya Lani datang bersama Tuan Prada dan sedang berdiri di sana.“Papa! Kok tumben tidak menelepon dulu.” Danu tidak menjawab sapaan Nyonya Lani malah bertanya ke Tuan Prada.Nyonya Lani tampak kesal bahkan sudah melengos kali ini. Danu berdiri dan menghampiri Tuan Prada. Hal yang sama juga dilakukan Arum.“Papa hanya sekedar mampir, Danu. Kebetulan sedang berada di sekitar sini.”Danu manggut-manggut mendengar jawaban papanya. Arum sudah berdiri di sebelah Danu, tersenyum sambil membungkukkan badan memberi salam.“Kebetulan kami belum makan malam. Papa mau bergabung?” tawar Danu.Tuan Prada mengangguk sambil tersenyum lebar. Tak lama mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Tidak banyak obrolan yang dibicarakan hany
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak