“ARUM, tumben kamu ke sini!!” seru Bu Rahayu.
Usai bertemu dengan Dokter Sandy, Arum tidak langsung pulang melainkan ke panti tempatnya tinggal dulu. Bu Rahayu terkejut saat melihat kehadiran Arum saat ini. Arum hanya diam, wajahnya tampak murung bahkan rambut hitam panjangnya yang biasa rapi tampak berantakan.
“Ada apa? Kamu sakit?” tanya Bu Rahayu.
Arum tidak menjawab, menggelengkan kepala. Belum habis rasa terkejut Bu Rahayu, kini Arum malah menangis. Tentu saja Bu Rahayu makin bingung.
“Arum … ada apa? Kamu bertengkar dengan Danu?”
Tidak ada jawaban, kini hanya kepala Arum yang menggeleng. Akhirnya Bu Rahayu memilih diam dan membiarkan Arum mencurahkan kesedihannya. Selang beberapa saat, Arum sudah tenang. Ia menyeka air mata di pipinya sambil merapikan rambutnya.
“Bu … apa Ibu ingat dengan Anjani?” Tiba-tiba Arum bertanya seperti itu.
Wanita paruh baya itu tampak terke
“WAH!! Kebetulan kalian berdua di sini,” seru Nyonya Lani.Arum menjeda kalimatnya dan kini melirik ke arah pintu utama. Danu juga melakukan hal yang sama. Mereka melihat Nyonya Lani datang bersama Tuan Prada dan sedang berdiri di sana.“Papa! Kok tumben tidak menelepon dulu.” Danu tidak menjawab sapaan Nyonya Lani malah bertanya ke Tuan Prada.Nyonya Lani tampak kesal bahkan sudah melengos kali ini. Danu berdiri dan menghampiri Tuan Prada. Hal yang sama juga dilakukan Arum.“Papa hanya sekedar mampir, Danu. Kebetulan sedang berada di sekitar sini.”Danu manggut-manggut mendengar jawaban papanya. Arum sudah berdiri di sebelah Danu, tersenyum sambil membungkukkan badan memberi salam.“Kebetulan kami belum makan malam. Papa mau bergabung?” tawar Danu.Tuan Prada mengangguk sambil tersenyum lebar. Tak lama mereka sudah duduk bersama di ruang makan. Tidak banyak obrolan yang dibicarakan hany
“Apa Tuan Rafael yang mengatakannya?” kata Danu balik bertanya.Tuan Prada tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Danu terdiam sesaat sambil menghela napas panjang.“Pa … itu hanya janji yang diucapkan seorang bocah belum dewasa. Apa itu dijadikan sebuah patokan? Lagi pula saat itu aku mengatakannya sambil lalu dan sama sekali tidak memikirkannya dengan sungguh-sungguh.”Danu mencoba memberi alasan. Tuan Prada kembali menganggukkan kepala.“Iya, Papa juga berpikir seperti itu. Namun, kita tidak tahu bagaimana kondisi Nadia. Dia beranggapan kamu sungguh-sungguh saat itu.”Danu berdecak meraup wajahnya dengan kasar. “Iya, aku juga yang salah. Harusnya aku bersikap tegas padanya sejak awal bukan memanjakannya hingga pada akhirnya dia salah sangka.”Tuan Prada hanya diam sambil menganggukkan kepala berulang.“Aku rasa Nadia sudah berada di tangan yang tepat sekarang. Aku yakin cepat lambat dia akan membaik. Mungkin aku akan mengajak Arum untuk menjenguknya. Namun, itu pun kalau kondis
“Bud, aku minta kamu selidiki obat apa ini sebenarnya?” ucap Danu.Pagi itu begitu tiba di kantor, Danu langsung memanggil Budi dan memintanya melakukan tugas spesial. Budi hanya diam sambil menerima botol obat yang baru saja diberi Danu.“Aku minta semua komposisi di obat itu beserta takarannya terlihat jelas. Kamu bisa melakukannya, kan?”Budi mengangguk sambil tersenyum. “Beres, Tuan. Setelah ini juga saya akan melakukan permintaan Tuan.”Danu manggut-manggut kemudian tampak mulai menyalakan laptop. Budi masih berdiri diam menunggu di depan meja kerja Danu.“Eng … apa sudah bertemu Nyonya, Tuan? Beliau jadi memberi kejutan ke Anda?”Danu berdecak, mendongak kemudian terlihat sekali kekecewaan di wajahnya.“Padahal aku berharap mendapat kabar baik darinya kemarin. Namun, nyatanya dia malah halangan semalam. Apa kamu tahu artinya itu, Bud?”Budi mengatupkan rap
“Iya, tentu. Saya akan menjaga rahasianya,” ucap Tuan Arya.Meski sebelumnya Tuan Arya sedikit bingung dengan permintaan Arum, tapi pada akhirnya dia menurut. Tuan Arya sudah mengakhiri panggilannya dan kini tampak bingung. Sesekali pria paruh baya itu mengurut dagunya.“Memang apa yang ingin dibicarakan Nona Anjani hingga dia tidak mau suaminya tahu. Apa mereka saling menyembunyikan sesuatu satu sama lain?”Tuan Arya kembali bermonolog sendiri. Sementara Arum sudah menyimpan ponselnya dan tampak kembali sibuk dengan kerjaannya. Baru pukul setengah sebelas, Arum berpamitan keluar kantor. Sebenarnya Lisa curiga, dia yang paling tahu jadwal bosnya.Namun, Lisa menepis prasangkanya. Lisa pikir jika Arum meninggalkan kantor di luar jadwal pasti ada urusan pribadi yang harus dia lakukan. Tentu saja kalau sudah urusan pribadi, Lisa tidak mau mencampuri.Pukul sebelas kurang sepuluh menit saat Arum tiba di kafe tempat dia janjian b
“Mas Danu!! Kamu di sini juga?” seru Arum.Meski dia sedikit terkejut dengan kehadiran Danu, tapi sebisa mungkin Arum menutupinya. Untung saja Danu tahu kalau antara dia dan Tuan Arya sedang melakukan kerja sama bisnis. Sehingga Danu tidak mencurigainya kali ini.“Apa saya boleh bergabung?” Danu langsung menarik kursi dan duduk di sebelah Arum.“Tentu, Tuan. Kami sudah selesai membahas kerjaan.” Tuan Arya kini yang bersuara.Danu mengangguk sambil sesekali tersenyum ke arah Arum. Kini mereka terlihat sibuk menikmati makan siang. Kebetulan usai pembicaraan Arum dan Tuan Arya berakhir, berbarengan dengan jam makan siang. Tentu saja mereka langsung melanjutkan ke makan siang.“Maaf … sepertinya saya tidak bisa berlama-lama. Saya ada janji lagi setelah ini. Jadi saya mohon diri dulu.” Tuan Arya bangkit dan berpamitan.“Iya, Tuan. Terima kasih atas waktunya. Tolong kabari saya untuk sem
“APA!! Kenapa Anda melakukannya tanpa seizin saya?” sergah Arum marah.Danu yang duduk di sebelahnya tampak bingung. Ia mengernyitkan alis sambil menatap Arum dengan penuh pertanyaan.“Karena aku yakin kamu tidak akan mengusutnya dengan tuntas. Kamu sudah jatuh cinta padanya dan aku yakin kamu akan melindunginya. Lalu kamu melupakan sahabatmu.” Dokter Sandy di seberang sana sudah memberi argumen.Arum berdecak, menyugar rambut hitamnya sambil menggelengkan kepala.“Anda salah, Dok. Saya tidak melupakannya. Saya hanya sedang mengumpulkan bukti lain.”“Jadi kamu tidak percaya dengan hasil penyelidikanku. Kamu pikir, aku asal tuduh, begitu?”Arum tidak menjawab. Dia hanya diam, sambil melirik Danu yang semakin sering melihat ke arahnya. Arum lupa kalau dia sedang berada di dalam mobil bersama Danu. Harusnya dia tidak berkata seperti itu tadi.“Terserah apa maumu. Yang pasti aku sudah
“Saya akan melaporkan semuanya ke polisi jika semua bukti terkumpul dengan lengkap. Tidak ada salahnya menunggu, bukan?” imbuh Arum.Dokter Sandy terdiam, tapi mata kecilnya terus menatap tajam ke arah Arum. Arum berdecak sambil menggelengkan kepala.“Apa Anda masih meragukan keseriusan saya mengusut kasus Anjani ini, Dok?”Dokter Sandy menghela napas panjang dan menggeleng dengan cepat.“Tidak. Saya sangat berharap semua yang kamu katakan bukan hanya sekedar isapan jempol.”Arum tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Saya janji. Saya akan mengusutnya dengan cepat. Semakin cepat, semakin baik.”Dokter Sandy tersenyum sambil menganggukkan kepala. Arum menghela napas lega. Kemudian dia sudah keluar dari dalam mobil dan masuk kembali ke mobilnya. Arum bersiap untuk pergi dari pelataran parkir kantor polisi itu diiringi Dokter Sandy.Mereka tidak tahu jika ada sebuah mobil yang sejak
“Jadi Om sedang mengancamku?” sergah Danu.Pria bermata elang itu tampak marah dan kini sudah bangkit dari duduknya. Tuan Rafael tersenyum miring sambil menatap Danu dengan dingin.“Akhirnya kamu ketakutan juga, kan? Kamu takut nama baikmu tercoreng. Tidak hanya namamu saja, tapi juga berimbas ke nama Arum.”Danu tidak menjawab, tangannya sudah mengepal menahan amarah sementara wajahnya menegang dengan mata elangnya yang berkilatan tajam.“Saya tidak takut. Silakan lakukan apa yang Om inginkan. Asalkan satu, jangan usik istri saya!!”Tuan Rafael sontak tergelak begitu mendengar ucapan Danu. Sementara Danu hanya diam masih bergeming di posisinya.“Jadi kamu sudah jatuh cinta pada gadis udik itu. Ternyata benar apa yang dikatakan Nadia, seleramu memang rendahan, Danu. Tidak berkelas sama sekali.”Danu meradang, matanya semakin tajam menatap Tuan Rafael. Jakunnya bergerak naik turun dengan
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak