“Selamat datang di hotel kami, Nona Anjani!!” sapa seorang pria paruh baya.
Arum hanya tersenyum sambil membungkukkan badan. Pria itu mendekat dan membalas Arum dengan membungkukkan badan juga. Sepertinya semua sudah tahu, jika Arum tidak bisa berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
“Kami sudah menyiapkan kamar Anda, Nona. Silakan bersiap!!” Kembali pria paruh baya yang menjabat manager hotel itu bersuara.
“Terima kasih, Pak.” Arum sudah bersuara, kemudian bersama rombongannya ia sudah berjalan menuju kamar yang dimaksud.
Hari ini memang ada acara seminar di ballroom. Acara itu bersambung dengan lomba modelling yang diadakan agensi ternama di kota itu. Tentu saja kehadiran Arum kali ini sebagai juri kehormatan. Itu sebabnya juga acara akan berlangsung sampai malam.
Mereka sudah tiba di kamar yang dimaksud. Ada tiga kamar yang disediakan oleh panitia di hotel tersebut. Semuanya kamar suite dan berada berse
“Kamu jangan gila, Nadia!! Aku bisa teriak dan semua pasti akan ke sini menangkapmu,” seru Arum.Ia berusaha tenang dan sebisa mungkin tidak menunjukkan ketakutannya. Nadia tersenyum menyeringai berjalan mendekat sambil terus menghunuskan pisaunya. Nadia memang sudah menantikan saat ini. Dia sengaja menyelinap ke ruangan staf dan mengambil akses ruangan suite. Itu sebabnya ia bisa sampai di sini.Sebelumnya, Nadia memang sempat mencari tahu keberadaan Arum di hotel ini. Lalu tentang pisau yang ia pegang kali ini memang sudah ia siapkan. Nadia sengaja mengambilnya saat makan pagi tadi di restoran.“Apa kamu takut, Arum?” tanya Nadia.Arum masih bergeming di tempatnya. Ia tetap duduk di sofa sambil menatap tanpa kedip ke arah Nadia. Kehidupan masa lalu Arum dilalui dengan hal yang tidak wajar. Kepergian sahabat sekaligus orang yang paling disayang meninggalkan trauma berat bagi Arum. Apalagi dia melihat kejadiannya langsung di depan
“Hahaha … kalau aku tidak bisa memilikimu, maka begitu juga dengan Arum,” ujar Nadia.Dia tertawa terbahak-bahak saat melihat Danu meringis kesakitan memegang perutnya. Tubuh Danu langsung ambruk ke lantai. Alex bergerak cepat mengamankan Nadia. Tentu saja, Nadia terus teriak karena Alex sudah membuatnya tak bergerak.Sementara Arum segera menghampiri Danu. Ia menahan kepala Danu agar tidak menyentuh lantai.“Mas … bertahanlah!! Aku mohon,” rintih Arum.Danu hanya diam tidak menjawab, kemudian perlahan ia memejamkan mata. Arum semakin panik. Nadia yang melihatnya malah tertawa kesenangan.“Mas Danu mati, Arum gak jadi nikah. Hahaha … .”Nadia terus bersuara sambil mendendangkan kalimat itu menjadi sebuah lagu. Alex merasa kesal dan buru-buru membawa Nadia keluar ruangan. Di luar ada beberapa polisi yang menjemput Nadia. Budi yang memanggil polisi dan petugas medis atas perintah Danu ta
“Papa tidak menduga kalau Nadia akan melakukan semua ini, Danu,” ucap Tuan Prada.Pagi itu Tuan Prada datang menjenguk Danu di rumah sakit. Tuan Prada terkejut sekaligus shock begitu mendengar berita penusukan Danu dilakukan oleh Nadia. Untung saja berita tersebut tidak tersebar luas ke media. Namun, cepat atau lambat mereka pasti akan mengendusnya.Danu hanya menghela napas panjang sambil menatap Tuan Prada dengan sendu.“Aku sendiri tidak tahu, Pa. Nadia yang kukenal dulu berbeda dengan Nadia yang kukenal sekarang. Jadi, aku rasa Papa tahu kenapa aku lebih memilih Arum.”Tuan Prada menganggukkan kepala. Kali ini memang hanya dia dan Danu berada di ruangan tersebut. Arum harus kembali beraktivitas melanjutkan jadwalnya. Sementara Nyonya Lani dan Citra, maunya ikut menjenguk juga. Namun, Tuan Prada mencegahnya.“Lalu apa rencana pernikahanmu akan tetap dilanjutkan? Tidak diundur?”Danu tersenyum sambil men
“Memangnya rahasia apa yang disembunyikan seorang Danu Nagendra?” tanya Dokter Sandy.Nadia tersenyum, matanya berbinar menatap penuh harap ke arah Dokter Sandy.“Apa kamu janji tidak akan mengatakannya kepada siapa pun?” Nadia kembali bersuara.Dokter Sandy mengangguk sambil tersenyum. “Janji.” Pria berkacamata itu sangat penasaran kali ini.Sementara Nadia sudah mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Dokter Sandy. Ia celinggukan memperhatikan sekitar padahal jelas-jelas di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Dokter Sandy mengikuti gerakan Nadia mendekat ke arahnya.Setelah berjarak cukup dekat, Nadia mengangkat tangan kemudian meletakkan di dekat bibirnya. Seakan takut apa yang akan dikatakan kali ini terdengar oleh yang lain.“Mas Danu itu masih ngompol sampai kelas 6 SD,” lirih Nadia bertutur.Mata Dokter Sandy membola saat mendengar ucapan Nadia. Ia hampir saja tertawa, tapi berus
“Nyonya Arum sedang menuju ke sini, Tuan,” ucap Budi.Danu menghela napas lega sambil menatap Budi dengan gemas. Hampir saja dia panik usai melihat ekspresi Budi, tapi berganti menjadi sebuah senyuman saat mendengar penjelasan Budi. Tak lama terdengar musik pengiring pengantin mengalun, semua mata menuju ke arah pintu.Seketika seorang wanita cantik bergaun putih nan sangat indah dengan rambut hitamnya yang terurai tertata rapi berjalan masuk perlahan. Sebuah senyuman terus menghias di wajahnya nan ayu. Danu diam tertegun, menatap tanpa kedip di tempatnya.Lima tahun yang lalu, dia pernah mengalami momen ini. Meski saat itu dia sudah jatuh cinta pada Arum dan terpukau pada kecantikannya, tapi tetap saja rasa kali ini sangat berbeda.“Hai!!” sapa Arum. Ia sudah berhenti di depan Danu.Danu tersenyum mengulurkan tangan sambil menatap tanpa jeda. “Hai, Beautiful.”Arum mengulum senyum, kemudian terdengar suara pendeta memulai acara pengucapan janji sehidup semati mereka. Prosesi berlangs
“Memangnya ada apa di dalam sana?” Nadia malah balik bertanya seperti itu.Dokter Sandy terdiam sambil menatap Nadia dengan tajam. Hari ini, Dokter Sandy sengaja mengajak Nadia keluar dari rumah sakit. Ia berdalih melakukan itu sebagai upaya proses penyembuhan kejiwaan Nadia.Helaan napas panjang keluar dari bibir Dokter Sandy. Pria berkacamata itu menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah Nadia.“Baiklah, kalau kamu tidak mau masuk. Kita pulang saja!!”Dokter Sandy mulai menyalakan mesin mobilnya dan perlahan meninggalkan parkiran hotel bintang lima tersebut. Sementara itu suasana di dalam ballroom semakin ramai. Baru pukul 10 malam, tamu berangsur pulang.Tepat setengah jam kemudian, Arum dan Danu sudah meninggalkan ballroom. Malam ini sengaja mereka menginap di hotel tersebut. Arum masuk ke dalam suite room yang sudah dipesan. Ini hampir sama dengan kamar yang ia tempati beberapa minggu yang lalu bersama Danu. Untung saja di kamar ini tidak banyak bunga. Arum tidak mau kamarnya
Perlahan Arum membuka mata dan dia langsung terkejut saat mendapati Danu berada sangat dekat dengannya. Arum mengulum senyum saat sadar dengan statusnya sekarang. Di pernikahan sebelumnya, dia tidak pernah tidur sedekat ini dengan Danu.Jari Arum terangkat membelai lembut wajah pria tampan yang sedang terlelap di sampingnya. Mungkin dulu, Arum akan sangat ketakutan ketika harus berinteraksi dengan Danu. Namun, tidak sekarang. Jarinya dengan lincah mengabsen satu persatu lekuk raut tampan di depannya ini hingga berhenti lama di bibir Danu.Lamat-lamat Danu membuka mata dan tersenyum melihat Arum.“Sudah bangun, Sayang?” tanya Danu dengan suara seraknya.Arum tersenyum sambil menganggukkan kepala. Danu ikut tersenyum, menggubah posisi tubuhnya dengan semakin merapat ke Arum.“Jam berapa sekarang?” kembali Danu bertanya. Matanya ikut beredar mencari ponsel di nakas sampingnya.“Masih jam tujuh,” jawab Arum.
“Nadia … ,” gumam Danu pelan.Namun, suara Danu terdengar dengan jelas di telinga Arum. Tak ayal Arum menoleh ke arahnya dengan alis mengernyit.“Ada apa, Mas?”Danu terdiam sejenak, menghela napas panjang sambil menggeleng. “Bukan apa-apa. Sudah dilanjut saja makannya.”Arum tidak mau bertanya lebih lanjut, ia tidak mau merusak momen kebersamaan mereka kali ini. Sepanjang pagi itu mereka asyik sarapan dan sama sekali tidak membahas pesan yang baru diterima Danu.Pukul 6 petang, mereka sudah dijemput oleh staf biro perjalanan. Mereka langsung meluncur ke bandara dan melakukan penerbangan eksklusif menggunakan jet pribadi. Arum sampai tercengang kaget melihatnya.“Mas … kita pakai pesawat pribadi?” tanya Arum.Danu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku tidak mau privasimu terganggu. Kalau begini, kita mau apa saja kan enak.”Arum tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Memangnya kita mau apa?”Danu tidak menjawab hanya m
“Tuan Burhan? Maksud Anda ayahnya Dokter Sandy?” tanya Arum.Tuan Simon mengangguk sambil tersenyum. Matanya tampak berkilatan saat Arum memberi jawaban yang memuaskan.“Iya, saya mengenalnya, Tuan. Dulu, saat masih tinggal di panti. Saya dan Anjani sering bermain ke rumahnya. Ibu Dokter Sandy tidak bisa punya anak lagi, makanya beliau senang saat ada anak panti bermain ke rumahnya. Itu juga sebabnya saya akrab dengan Dokter Sandy.”Kali ini Arum berkata sambil melihat Danu yang sedari tadi memperhatikannya. Sedangkan Tuan Simon hanya berulang menganggukkan kepala menatap Arum dengan seksama.“Apa kamu tahu keadaannya saat ini?” Kembali Tuan Simon mengajukan pertanyaan.“Setahu saya, Tuan Burhan sedang sakit. Sejak istrinya meninggal, kesehatannya menurun dan Dokter Sandy sengaja menempatkan beliau di rumah keluarga. Sayangnya, saya tidak pernah menjenguknya.”Tuan Simon hanya menganggukkan kepala sambil terus memperhatikan Arum.“Katamu, kamu sangat dekat dengan keluarga Dokter Sandy
“Apa maksudmu kamu berada di sana?” tanya Tuan Simon.Tuan Burhan tidak menjawab malah menunduk sambil menggelengkan kepala. Tidak hanya itu, tubuh Tuan Burhan kini tampak bergerak ke kanan dan kiri bergoyang-goyang. Tuan Simon hanya diam memperhatikan.“Tidak. Aku tidak akan bilang, nanti Sandy marah. Aku tidak mau jika Sandy marah. Aku takut kalau Sandy marah.”Kini malah Tuan Burhan tampak sedang bergumam sendiri. Entah mengapa ulahnya seperti anak kecil saja. Tuan Simon makin penasaran.“Apa yang menyebabkan Sandy marah? Apa Sandy tahu sesuatu juga?”Tuan Burhan tampak terkejut. Ia mengangkat kepala menatap Tuan Simon dengan senyum aneh kemudian menjentik hidung pria bermata sipit itu.“Kamu ingin tahu, ya? Kamu benar-benar ingin tahu, ya?”Tuan Simon berdecak. Ia menduga ada yang tidak beres dengan Tuan Burhan. Tuan Simon mengedarkan pandangan ke sekitar dan melihat bibi art sedang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk.Wanita paruh baya itu hanya mengangguk seakan sedang mem
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp