“Papa tidak menduga kalau Nadia akan melakukan semua ini, Danu,” ucap Tuan Prada.
Pagi itu Tuan Prada datang menjenguk Danu di rumah sakit. Tuan Prada terkejut sekaligus shock begitu mendengar berita penusukan Danu dilakukan oleh Nadia. Untung saja berita tersebut tidak tersebar luas ke media. Namun, cepat atau lambat mereka pasti akan mengendusnya.
Danu hanya menghela napas panjang sambil menatap Tuan Prada dengan sendu.
“Aku sendiri tidak tahu, Pa. Nadia yang kukenal dulu berbeda dengan Nadia yang kukenal sekarang. Jadi, aku rasa Papa tahu kenapa aku lebih memilih Arum.”
Tuan Prada menganggukkan kepala. Kali ini memang hanya dia dan Danu berada di ruangan tersebut. Arum harus kembali beraktivitas melanjutkan jadwalnya. Sementara Nyonya Lani dan Citra, maunya ikut menjenguk juga. Namun, Tuan Prada mencegahnya.
“Lalu apa rencana pernikahanmu akan tetap dilanjutkan? Tidak diundur?”
Danu tersenyum sambil men
“Memangnya rahasia apa yang disembunyikan seorang Danu Nagendra?” tanya Dokter Sandy.Nadia tersenyum, matanya berbinar menatap penuh harap ke arah Dokter Sandy.“Apa kamu janji tidak akan mengatakannya kepada siapa pun?” Nadia kembali bersuara.Dokter Sandy mengangguk sambil tersenyum. “Janji.” Pria berkacamata itu sangat penasaran kali ini.Sementara Nadia sudah mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Dokter Sandy. Ia celinggukan memperhatikan sekitar padahal jelas-jelas di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Dokter Sandy mengikuti gerakan Nadia mendekat ke arahnya.Setelah berjarak cukup dekat, Nadia mengangkat tangan kemudian meletakkan di dekat bibirnya. Seakan takut apa yang akan dikatakan kali ini terdengar oleh yang lain.“Mas Danu itu masih ngompol sampai kelas 6 SD,” lirih Nadia bertutur.Mata Dokter Sandy membola saat mendengar ucapan Nadia. Ia hampir saja tertawa, tapi berus
“Nyonya Arum sedang menuju ke sini, Tuan,” ucap Budi.Danu menghela napas lega sambil menatap Budi dengan gemas. Hampir saja dia panik usai melihat ekspresi Budi, tapi berganti menjadi sebuah senyuman saat mendengar penjelasan Budi. Tak lama terdengar musik pengiring pengantin mengalun, semua mata menuju ke arah pintu.Seketika seorang wanita cantik bergaun putih nan sangat indah dengan rambut hitamnya yang terurai tertata rapi berjalan masuk perlahan. Sebuah senyuman terus menghias di wajahnya nan ayu. Danu diam tertegun, menatap tanpa kedip di tempatnya.Lima tahun yang lalu, dia pernah mengalami momen ini. Meski saat itu dia sudah jatuh cinta pada Arum dan terpukau pada kecantikannya, tapi tetap saja rasa kali ini sangat berbeda.“Hai!!” sapa Arum. Ia sudah berhenti di depan Danu.Danu tersenyum mengulurkan tangan sambil menatap tanpa jeda. “Hai, Beautiful.”Arum mengulum senyum, kemudian terdengar suara pendeta memulai acara pengucapan janji sehidup semati mereka. Prosesi berlangs
“Memangnya ada apa di dalam sana?” Nadia malah balik bertanya seperti itu.Dokter Sandy terdiam sambil menatap Nadia dengan tajam. Hari ini, Dokter Sandy sengaja mengajak Nadia keluar dari rumah sakit. Ia berdalih melakukan itu sebagai upaya proses penyembuhan kejiwaan Nadia.Helaan napas panjang keluar dari bibir Dokter Sandy. Pria berkacamata itu menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah Nadia.“Baiklah, kalau kamu tidak mau masuk. Kita pulang saja!!”Dokter Sandy mulai menyalakan mesin mobilnya dan perlahan meninggalkan parkiran hotel bintang lima tersebut. Sementara itu suasana di dalam ballroom semakin ramai. Baru pukul 10 malam, tamu berangsur pulang.Tepat setengah jam kemudian, Arum dan Danu sudah meninggalkan ballroom. Malam ini sengaja mereka menginap di hotel tersebut. Arum masuk ke dalam suite room yang sudah dipesan. Ini hampir sama dengan kamar yang ia tempati beberapa minggu yang lalu bersama Danu. Untung saja di kamar ini tidak banyak bunga. Arum tidak mau kamarnya
Perlahan Arum membuka mata dan dia langsung terkejut saat mendapati Danu berada sangat dekat dengannya. Arum mengulum senyum saat sadar dengan statusnya sekarang. Di pernikahan sebelumnya, dia tidak pernah tidur sedekat ini dengan Danu.Jari Arum terangkat membelai lembut wajah pria tampan yang sedang terlelap di sampingnya. Mungkin dulu, Arum akan sangat ketakutan ketika harus berinteraksi dengan Danu. Namun, tidak sekarang. Jarinya dengan lincah mengabsen satu persatu lekuk raut tampan di depannya ini hingga berhenti lama di bibir Danu.Lamat-lamat Danu membuka mata dan tersenyum melihat Arum.“Sudah bangun, Sayang?” tanya Danu dengan suara seraknya.Arum tersenyum sambil menganggukkan kepala. Danu ikut tersenyum, menggubah posisi tubuhnya dengan semakin merapat ke Arum.“Jam berapa sekarang?” kembali Danu bertanya. Matanya ikut beredar mencari ponsel di nakas sampingnya.“Masih jam tujuh,” jawab Arum.
“Nadia … ,” gumam Danu pelan.Namun, suara Danu terdengar dengan jelas di telinga Arum. Tak ayal Arum menoleh ke arahnya dengan alis mengernyit.“Ada apa, Mas?”Danu terdiam sejenak, menghela napas panjang sambil menggeleng. “Bukan apa-apa. Sudah dilanjut saja makannya.”Arum tidak mau bertanya lebih lanjut, ia tidak mau merusak momen kebersamaan mereka kali ini. Sepanjang pagi itu mereka asyik sarapan dan sama sekali tidak membahas pesan yang baru diterima Danu.Pukul 6 petang, mereka sudah dijemput oleh staf biro perjalanan. Mereka langsung meluncur ke bandara dan melakukan penerbangan eksklusif menggunakan jet pribadi. Arum sampai tercengang kaget melihatnya.“Mas … kita pakai pesawat pribadi?” tanya Arum.Danu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku tidak mau privasimu terganggu. Kalau begini, kita mau apa saja kan enak.”Arum tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Memangnya kita mau apa?”Danu tidak menjawab hanya m
“Aaaahh … .” Desahan panjang sudah lolos keluar dari bibir Danu.Ia langsung tumbang di samping Arum sambil menatap wanita cantik yang sedang melihat ke arahnya. Danu tersenyum, mendekatkan wajahnya kemudian mencium kening Arum. Arum membalas dengan senyuman sambil merapatkan tubuhnya ke Danu.Danu membuka tangan dan memeluknya dengan erat.“Istirahat dulu, ya. Nanti lanjut lagi,” desis Danu.Arum tampak terkejut, mendongak menatap Danu. Danu hanya mengulum senyum sambil mengedipkan sebelah matanya.“Kenapa? Apa kamu pikir aku hanya akan melakukannya sekali?”Arum tidak menjawab. Wajahnya tanpa sebab sudah merona merah dan buru-buru menunduk menghindar dari tatapan Danu. Danu malah tertawa melihat reaksi Arum. Ia tidak jadi terlelap, malah menarik dagu Arum dan kembali memagut bibir istrinya. Tak ayal pemanasan ronde kedua sudah dimulai. Bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.Hampir
“Apa katamu?” seru Dokter Sandy.Nadia tersenyum menyeringai menatap Dokter Sandy sambil menganggukkan kepala berulang.“Iya, saya mau melaporkan kasus pembunuhan yang dilakukan Tuan Danu Nagendra.”Dokter Sandy terdiam menatap Nadia tanpa kedip. Tentu saja Dokter Sandy penasaran apa yang dikatakan Nadia kali ini benar atau tidak. Orang yang mengalami gangguan kejiwaan acap kali mempunyai hayalan dan kadang mereka tidak bisa membedakan mana yang kenyataan atau hayalan.“Ayo, Dok!! Bawa saya ke polisi. Saya akan mengatakan semuanya. Mas Danu harus ditangkap polisi. Dia seorang pembunuh!!!”Nadia kini merengek bahkan menarik tangan Dokter Sandy dengan keras. Dokter Sandy menghela napas panjang sambil menatap Nadia dengan tajam.“Tunggu, Nadia!! Kalau kita mau melaporkan ke polisi, kita harus punya bukti-buktinya. Apa kamu punya?”Nadia diam sesaat, dia tampak kebingungan sekaligus ragu. Pe
“Apa maksud Anda, Dok?” tanya Tuan Rafael.Dokter Sandy terdiam, bahunya naik turun mengolah udara. Tampak terlihat kemarahan di sorot matanya.“Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, Dok. Jadi jangan turut campur urusan saya. Sekarang, keluarkan putri saya!!”Dokter Sandy tidak menjawab, bahkan tetap bergeming di posisinya sambil menatap tajam Tuan Rafael.“DOKTER!!!” Tuan Rafael berseru, meninggikan beberapa oktaf nada suaranya. Namun, meski demikian tidak membuat Dokter Sandy ketakutan.“Putri Anda sakit, Tuan. Dia sedang dalam perawatan dan saya tidak akan membiarkan pasien saya yang membutuhkan perawatan berkeliaran di luar sana. Saya tidak sama dengan Anda, Tuan.”BRAK!!!Tangan Tuan Rafael baru saja menggebrak meja. Meski suaranya terdengar keras sampai ke luar ruangan, tapi tetap saja hal itu tidak membuat Dokter Sandy kehilangan nyali. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan pasien