“Saya ingin terus bersama Anda kalau itu mungkin,” ucap Callisto sembari memandang Yolla lekat-lekat.
“Anda ...” Yolla jusru terpaku dengan ucapan Calliso barusan. “Apa Anda masih mengharapkan suami Anda kembali?” tanya Callisto lambat-lambat. “Kalau iya, saya akan ....” “Bukan begitu juga,” geleng Yolla. “Sudah kira-kira dua tahun yang lalu dia menghilang dan sampai sekarang tidak ada kabarnya sama sekali. “Papa saya bahkan sudah setuju kalau saya mencari pendamping lain.” Callisto mendengarkan ucapan Yolla dengan sangat tenang. “Lalu apakah sebaiknya kita ....” “Jangan terburu-buru,” geleng Yolla. “Saya minta Anda selesaikan dulu urusan Anda dengan Bu Clerin, saya tidak kalau saya dianggap sebagai pengganggu di antara hubungan kalian.” “Saya dan Bu Clerin tidak ada hubungan apa-apa selain utang budi,” sahut Callisto menegaskan. “dan anaknya telanjur menganggap saya sebagai papanya.” “Soal Vhea, saya tiPria itu terdiam sebentar sambil berpikir. “Shano,” katanya setelah beberapa saat berlalu.“Shano?” ulang Clerin sambil mengernyitkan dahi. “Nama macam apa itu?” “Setidaknya bukan nama mendiang suami kamu,” ujar Callisto sambil bersiap pergi. “Tolong kamu ingat hal ini.” Clerin sebenarnya bisa saja marah, tapi dia masih berusaha keras mempertahankan keanggunan sikapnya atau kemarahan hanya akan membuat Callisto berjalan semakin jauh darinya. “Bu Yolla ternyata sudah mempengaruhi kamu sampai seperti ini,” komentar Clerin saat Callisto berjalan beberapa langkah darinya. “Soal Bu Yolla ...” Callisto menoleh. “Tolong kamu jangan ganggu dia, atau hubungan kita akan jadi memburuk. Dan saya yakin kamu tidak ingin hal itu terjadi kan?” Clerin tidak bisa bersabar lebih dari ini, dia segera menyusul Callisto hingga tiba di hadapannya. “Kamu kenapa jadi berubah drastis seperti ini?” tanya Clerin dengan suara anggun
Sementara Callisto terus memandang Yolla dan menunggu jawabannya. "Tidak, saya rasa kita sudah tidak pantas untuk ... pacaran." Yolla tersenyum tidak enak. "Tapi ... apa Anda serius? Bu Clerin pasti akan tidak setuju ...." "Saya sama Bu Clerin tidak ada hubungan apa-apa selain utang jasa," sahut Callisto. "Dia cuma meminta saya jadi papa pura-puranya Vhea, dan itu masih bisa saya lakukan meskipun saya sudah menikah nantinya." Yolla terdiam lagi. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana dia menyaksikan sendiri cara Clerin memandangnya saat membicarakan soal Callisto. Ada sedikit nada posesif dalam setiap pilihan diksinya. "Anda ... masih ragu?" tanya Callisto tanpa basa-basi. "Oke, mungkin Anda bisa menyelesaikan masalah Bu Clerin. Tapi... soal papa saya, saya harus membicarakannya dulu..." Yolla beralasan. "Masalahnya adalah Anda sangat mirip dengan mantan suami saya yang hilang itu." "M
"Mita, ada telepon penting buat saya nggak?" tanya Yolla saat melewati meja sekretarisnya. "Pak Keva menanyakan stok yang Ibu janjikan mau kirim hari ini," jawab Mita memberi tahu. "Selain itu?" tanya Yolla lagi. "Belum ada Bu," jawab Mita sambil menggelengkan kepala. Yolla melenggang pergi sembari memegangi perutnya yang semakin melilit. Callisto memandang dirinya sendiri di cermin besar yang ada di kamarnya, sejauh ini dia belum juga bisa mengingat siapa sebenarnya pantulan wajah yang balik memandangnya itu. Namun, Callisto tidak peduli. Dia sendiri tidak mengerti apa yang ada dalam diri Yolla hingga dirinya yakin dan memutuskan untuk menikahinya dalam waktu dekat. Cinta? Callisto tidak tahu, yang pasti dia merasakan sesuatu yang tidak bisa dia rasakan saat bersama dengan Clerin. Saat merenung itulah, ponsel Callisto mendadak berdering nyaring dan men
Baik Yolla maupun Sisty sama-sama memekik karena terkejut. “Woy, gila ya tuh orang!” maki Yolla kesal. “Bisa bawa mobil nggak sih?” Sisty mengusap-usap dadanya yang berdebar kencang. “Udah Yol, udah ...” katanya lemas. “... yang penting kita nggak apa-apa ....” “Ya untung aja kita nggak apa-apa,” sahut Yolla gusar. “Aku bakalan tuntut dia kalau kita sampai kenapa-napa.” Sisty menyandarkan kepalanya karena masih shock dengan kejadian tadi. “Memangnya kamu kenal siapa pengemudi mobil yang menyerempet kita tadi?” tanya Sisty ingin tahu. “Enggak sih,” sahut Yolla sembari membelokkan kemudinya ke arah salon Sisty. “tapi kan ada kamera pengawas di beberapa titik.” Sisty diam saja sambil memijat pelipisnya hingga mobil Yolla menepi tepat di depan salon. “Yol, apa nggak sebaiknya kamu hubungi Callisto untuk mengawal kamu pulang?” tanya Sisty sebelum dia turun dari mobil Yolla. “Nggak perlu, sebentar lagi juga sampai rumah.” Yolla menggelengkan kepala. “Lagian malulah kalau
Namun, saat jarum jam menunjuk ke pukul setengah delapan malam dan pria itu belum juga meneleponnya, hati Yolla seketika berubah ketar-ketir. Meskipun demikian, Yolla tetap percaya bahwa Callisto pasti akan datang sesuai janjinya. Dan Yolla tetap menunggu kedatangan pria itu hingga pukul delapan kurang lima belas menit sementara ponsel Callisto tidak dapat dihubungi. Beberapa jam sebelumnya .... Callisto sengaja datang lebih awal ke rumah Clerin untuk menemani Vhea karena dia sudah ada janji akan datang berkunjung menemui kedua orang tua Yolla. “Asyik, Papa datang cepat!” sorak Vhea gembira sembari melompat ke pelukan Callisto. “Itu artinya Papa bisa lama-lama di sini buat menemani aku.” Clerin tersenyum bahagia saat melihat putri kecilnya bahagia. “Maaf ya, tapi papa ada perlu malam ini.” Callisto memutuskan untuk memberi tahu Vhea tentang situasi yan
Clerin ternganga mendengar ucapan Yolla barusan. "Melamar ... Kamu mau melamar Yolla?" ucap Clerin dengan suara yang teramat lirih. "Ya," sahut Callisto tegas. "Keterlaluan," kata Clerin dengan ekspresi wajah seolah hatinya terluka. "Kamu benar-benar keterlaluan, Callisto!" "Nama saya bukan Callisto," bantah pria itu tegas. "Callisto Antaresa itu adalah nama asli mendiang suami kamu yang sengaja kamu berikan pada saya di saat saya tidak punya identitas apa-apa." Clerin terdiam bisu. "Kamu tetap berutang jasa pada saya," tegasnya. "tidak peduli siapapun kamu sebenarnya." Callisto melihat arlojinya dan terkesiap, sebentar lagi jam delapan dan dia harus segera meluncur ke rumah orang tua Yolla. "Saya tahu, karena itu saya bersedia menjadi papa pura-pura Vhea sebagai bentuk balas jasa itu." Callisto menimpali. "Tapi kalau kamu menginginkan saya untuk terus berada di samping Vhea selamanya, maaf saya tid
Yolla buru-buru menarik tangan mantan ibu mertuanya. "Sebentar ya?" pamit Yolla kepada Callisto, setelah itu dia cepat-cepat membawa Sari ke belakang. "Bu, tolong ya? Jangan bahas Byanz lagi di depan tamu seperti tadi," kata Yolla dengan wajah kurang senang. "Tapi Nak, dia itu ...." "Mirip Byanz, saya tahu. Tapi dia bukan Byanz," geleng Yolla. "Namanya Callisto, Bu." Kedua mata Sari masih berkaca-kaca, tapi dia menganggukkan kepalanya dengan berat hati. Callisto mendongak ketika nelihat Yolla muncul kembali sendirian. "Kenapa ibu tadi memandang saya seperti itu?" tanya Yolla ketika dia duduk di sampingnya. "Itu tadi ibu mertua saya," jawab Yolla apa adanya. "Saya sudah pernah bilang kan kalau kalian berdua itu mirip sekali?" "Oh ..." Callisto mengangguk paham dan tidak bertanya apa-apa lagi. "Saya tinggal sebentar, mau panggil mama sama papa saya." Yolla berdiri lagi kemudian ber
Yolla terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan Sony. "Papa kamu benar, Yol." Virnie berputar dan merangkul bahu putrinya. "Yang menjadi pertimbangan mama sama papa semalam adalah kondisi Shano yang hilang ingatan. Sedangkan di luar sana, siapa yang tahu kalau ternyata dia sudah punya anak istri?"Yolla mendongak memandang sang mama."Papa cuma tidak mau kamu kecewa di belakang," timpal Sony. "Papa kok nggak adil begini?" tuntut Yolla. "Saat sama Byanz saja Papa bahkan sampai maksa aku buat tunangan. Kenapa sekarang Papa mempermasalahkan keadaan Shano?"Virnie meremas bahu Yolla untuk meredakan emosinya. "Yol, pertimbangan papa dulu adalah karena papa sudah sangat tahu latar belakang Byanz seperti apa." Sony mencoba memberi pengertian. "Sedangkan Shano, papa bahkan belum tahu siapa dia selain bahwa dia adalah wakil perusahaan Eagle Corp. Jadi jangan kamu tanyakan kenapa dulu papa begitu yakin sama Byanz."Yolla memandang papanya dengan wajah tidak setuju. "Papa memang lebih ter
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it