Yolla buru-buru menarik tangan mantan ibu mertuanya.
"Sebentar ya?" pamit Yolla kepada Callisto, setelah itu dia cepat-cepat membawa Sari ke belakang. "Bu, tolong ya? Jangan bahas Byanz lagi di depan tamu seperti tadi," kata Yolla dengan wajah kurang senang. "Tapi Nak, dia itu ...." "Mirip Byanz, saya tahu. Tapi dia bukan Byanz," geleng Yolla. "Namanya Callisto, Bu." Kedua mata Sari masih berkaca-kaca, tapi dia menganggukkan kepalanya dengan berat hati. Callisto mendongak ketika nelihat Yolla muncul kembali sendirian. "Kenapa ibu tadi memandang saya seperti itu?" tanya Yolla ketika dia duduk di sampingnya. "Itu tadi ibu mertua saya," jawab Yolla apa adanya. "Saya sudah pernah bilang kan kalau kalian berdua itu mirip sekali?" "Oh ..." Callisto mengangguk paham dan tidak bertanya apa-apa lagi. "Saya tinggal sebentar, mau panggil mama sama papa saya." Yolla berdiri lagi kemudian berYolla terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan Sony. "Papa kamu benar, Yol." Virnie berputar dan merangkul bahu putrinya. "Yang menjadi pertimbangan mama sama papa semalam adalah kondisi Shano yang hilang ingatan. Sedangkan di luar sana, siapa yang tahu kalau ternyata dia sudah punya anak istri?"Yolla mendongak memandang sang mama."Papa cuma tidak mau kamu kecewa di belakang," timpal Sony. "Papa kok nggak adil begini?" tuntut Yolla. "Saat sama Byanz saja Papa bahkan sampai maksa aku buat tunangan. Kenapa sekarang Papa mempermasalahkan keadaan Shano?"Virnie meremas bahu Yolla untuk meredakan emosinya. "Yol, pertimbangan papa dulu adalah karena papa sudah sangat tahu latar belakang Byanz seperti apa." Sony mencoba memberi pengertian. "Sedangkan Shano, papa bahkan belum tahu siapa dia selain bahwa dia adalah wakil perusahaan Eagle Corp. Jadi jangan kamu tanyakan kenapa dulu papa begitu yakin sama Byanz."Yolla memandang papanya dengan wajah tidak setuju. "Papa memang lebih ter
"Aku paham kenapa Om Sony sampai berpikir sejauh itu," kata Sisty menyimpulkan setelah Yolla menyelesaikan ceritanya. "ini demi kebaikan kamu sendiri Yol. Kan nggak enak kalau setelah kamu menikah dan tiba-tiba Callisto ingat jati dirinya yang asli, iya kalau dia masih lajang. Kalau ternyata punya anak istri, siapa yang kecewa?"Yolla tidak segera menanggapi, tangannya terulur untuk menyingkirkan ponselnya yang terus berbunyi. "Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Sisty ingin tahu. "Nggak apa-apa," jawab Yolla sambil menggeleng."Pasti dari Calliisto ya?" tebak Sisty. Yolla diam saja, tapi Sisty sudah bisa menduga jawabannya dari kebisuan Yolla. "Yol, Callisto cemas banget sama kamu." Sisty memberi tahu. "Kamu nggak pernah mau angkat telepon dari dia, apalagi balas pesannya."Yolla menarik napas, dia tidak perlu bertanya dari mana Sisty tahu kalau dirinya tidak mau menjawab panggilan Callisto. "Aku bingung harus bilang apa sama dia," ucap Yolla dengan wajah muram. "papa sama mamaku u
"Selamat datang, Bu Yolla!" sambut Keva dengan senyum mencurigakan saat meliihat Yolla sibuk menolehkan kepalanya. "Pak Callisto belum datang?" tanya Yolla heran sambil tetap berdiri di depan pintu. Keva menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kalau begitu saya akan tunggu di luar," kata Yolla sambil berbalik pergi. "Tunggu sebentar, Bu Yolla!" cegah Keva sambil berdiri dari kursinya dan menguber Yolla yang terlambat menyingkir. "Ada apa, Pak?" tanya Yolla pura-pura. "Kita tunggu di dalam saja," ajak Keva, dia segera menarik tangan Yolla ke dalam tanpa menunggu persetujuan darinya. "Oke, oke, tapi Anda tidak perlu begini!" sahut Yolla sembari menarik lepas tangannya dari pegangan Keva. "Santai saja Bu, toh sedang tidak ada orang selain kita di sini." Keva menyahut sembari menutup pintunya rapat-rapat. Yolla tiba-tiba merasakan firasatnya tidak enak, apalagi sebelumnya Keva hampir saja berlaku tidak senonoh terhadapnya. "Justru karena hanya ada kita berdua sa
"Mari kita pergi, Bu Yolla?" ajak Callisto sambil menarik tangannya dan berlalu meninggalkan ruangan Keva. Yolla masih sedikit tersedu hingga mereka tiba di halaman parkir. "Mobil Anda di mana?" tanya Callisto datar. "Saya tidak bawa mobil," jawab Yolla sambil menggeleng. "Saya naik taksi saja." Callisto memandang keadaan Yolla yang sedang memeluk tasnya erat-erat di depan dadanya seakan takut ada yang menyerang lagi. "Saya akan antar Anda ke rumah," kata Callisto tegas sembari membukakan pintu mobilnya untuk Yolla. "Silakan masuk." Yolla menoleh memandang Callisto dengan ragu-ragu. "Saya tidak ingin merepotkan Anda, saya tahu kalau saya sudah membuat Anda kecewa ..." ucap Yolla sambil menggelengkan kepala. Callisto tidak memedulikan ucapan penolakan Yolla dan tetap memintanya untuk masuk ke mobil. "Saya harap tadi saya belum terlambat," ujar Callisto ketika Yolla sudah berada di mobilnya. Yolla diam saja. Meskipun Keva belum sempat bermain terlalu jauh, tapi
Sementara itu Callisto melajukan mobilnya ke kantor untuk memberikan penjelasan atas insiden yang terjadi di kantor Keva tadi. Dia merasa perlu memberi tahu kepada Clerin tentang fakta yang sebenarnya sebelum bosnya tahu dari orang lain. Setibanya di kantor Eagle Corp, Callisto buru-buru mendatangi ruangan Clerin sebelum semuanya terlambat menjadi sebuah salah paham. Dia bukannya takut akan kemungkinan kemarahan Clerin terhadapnya, tetapi lebih karena dia memosisikan dirinya sebagai karyawan yang baik dan berdedikasi tinggi."Permisi, Bu Clerin?" Callisto mengetuk pintu kemudian melangkah memasuki ruangan. Clerin menoleh dan menatap ke arah Callisto tanpa ekspresi, sementara satu tangannya baru saja meletakkan gagang telepon di meja. "Masuk saja seperti biasa," suruh Clerin dengan nada selembut bidadari.Callisto berjalan mendekat ke meja Clerin untuk melaporkan situasi terkini."Jadi begini, Bu Clerin. Saya tadi ....""Mengamuk di kantor Pak Keva," potong Clerin sambil memandang C
“Ke mana saja Anda pergi, saya akan ikut.” Yolla memutuskan.Sunyi agak lama setelah Yolla menyatakan keinginannya kepada Callisto. “Lebih baik jangan sia-siakan waktu Anda,” sahut Callisto setelah beberapa saat terdiam. “Kemungkinan perjalanan saya tidak akan sebentar, karena saya harus mencari tahu siapa diri saya yang sebenarnya.” “Saya akan menemani Anda,” kata Yolla berkeras. “Tidak perlu, bukankah orang tua Anda tidak setuju ....” “Soal lamaran Anda, maaf kalau saya baru bisa memberi tahu sekarang ...” Yolla cepat-cepat memotong. “Orang tua saya bukannya tidak setuju, tapi mereka berpikir bahwa sangat riskan sekali kalau kita menikah dalam waktu dekat ini. Sementara ingatan Anda belum pulih sama sekali, takutnya adalah kalau ternyata sebenarnya Anda ini sudah beristri.” Yolla menghela napas pasrah dan menunggu Callisto mengomentari ucapannya. “Saya tahu kalau posisi saya sedang sangat sulit,” ujar Callisto lambat-lambat. “Dua tahun lebih saya menjalani kehidupan sebagai or
Callisto memandang Clerin dengan agak curiga, tapi dia enggan berkomentar apa-apa. “Kamu bekerja saja seperti biasa,” suruh Clerin untuk menutupi suasana canggungnya. “Saya akan coba melobi Pak Keva untuk menganulir keputusannya.” Callisto tidak berkata apa-apa. Meskipun terkesan egois, tapi dia sangat ]uas karena sempat memberi Keva pelajaran sebab telah berani melecehkan Yolla. “Kalau begitu saya permisi,” pamit Callisto sambil berdiri dari kursinya. “Ngomong-ngomong, kapan jadwal kamu untuk cek ke dokter?” tanya Cerin sebelum Callisto keluar dari ruangannya. “Minggu ini kalau tidak salah,” jawab Callisto datar. “Jangan lupa untuk terus mengonsumsi obat yang sudah dokter resepkan,” kata Clerin mengingatkan. “Siapa tahu ingatan kamu akan berangsur pulih.” Callisto hanya menganggukkan kepalanya, setelah itu dia pergi meninggalkan ruangan Clerin. “Callisto jadi sedingin itu,” keluh Clerin sambil menyelesaikan pekerjaannya. “dulu dia nggak seperti ini ....” Sementara di ruangan
Calisto balas memandang Sony dengan tatapan tidak mengerti. “Papa!” Yolla buru-buru menengahi. “Jangan bikin Shano nggak nyaman sama bayangan Papa soal Byanz.” Sony mengerjabkan matanya untuk kembali fokus. “Ah, maaf!” “Tidak apa-apa, Pak.” Callisto buru-buru menyahut. Virnie mengalungkan tangannya ke lengan Sony untuk menguatkannya akan kenangan tentang menantu mereka sebelumnya: Babyanz. “Silakan masuk,” ajak Virnie untuk menutupi suasana canggung yang terasa di udara. “Ayo?” Yolla ikut mengajak Callisto untuk mengikuti kedua orang tuanya ke dapur di mana sajian makan malam sudah lengkap terhidang di atas meja. Begitu keempat orang itu duduk, beberapa asisten rumah tangga yang dipekerjakan Sony muncul untuk mengisi piring-piring yang masih kosong dengan nasi dalam porsi kecil dan menaruh beberapa lauk kering seperti udang crispy, potongan kentang dan sed
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it