Barbara menggeleng, ia sungguh berharap keajaiban datang pada saat seperti ini. Sorot mata Leo sangat beringas, ia tau Leo tak akan mau kompromi lagi di saat seperti ini."Jangan mendekat! Kamu tidak berhak ntuk menyentuhku, Leo. Kamu sungguh hilang akal. Sadarlah leo, ini sangat menakutiku...hm.." keluh Barbara memohon."Tidak, jangan lagi kamu mengucapkan kata-kata untuk mengelak dariku. Bagiku, aku tak bisa lagi bernapas tanpa menghirup aroma tubuhmu," desis Leo.Pria itu benar-benar menghimpit Barbara meskipun Barbara sudah meronta sekuat tenaga. Sekali hentak, kemeja usang yang dikenakan Barbara menjadi robek di bagian kirinya.KRREEKKH!"Jangan Leo!" pekik barbara tapi percuma saja karena Leo sudah gelap mata.Pria itu mengendus di tubuhnya sementara Barbara menangis lebih kencang."Jangan menangis Barbara, toh kamu juga akan menikmatinya. Bukankah begitu, sayang..."Aura Leo sangat menakutkan dan dipenuhi hasrat gelap di dalam jiwanya. barbara sungguh hanya bisa menangis tersed
Barbara terperangah. Tuduhan itu sangatlah jauh dari fakta. Bahwa Ovan dituduh melarikan diri dari tahanan, dan menculiknya."Itu tidak benar! Akulah yang membawanya keluar dari penjara, karena aku adalah istrinya!""Nona, ayah Nona yang meminta kami untuk menyelamatkan nona dari pria ini.""Tidak, pelaku kejahatan sebenarnya ada di dalam rumah itu, jangan pernah mengatakan bahwa dia orang jahat."Barbara sangat tau, bahwa apapun yang ia ucapkan hanya akan sia-sia karena Ovan adalah penghuni penjara yang kabur. Ditambah lagi ayahnya bersi keras untuk memisahkan mereka berdua. Ia hanya memeluk erat Ovan dengan hati yang terluka."Tenangkan dirimu Barbara. Selama kamu aman dan baik-baik saja, maka aku tidak akan merasa buruk."***Veina telah sampai di Indonesia dengan beberapa orang utusannya. Bukan tak tahu, ia sangat mengetahui apa yang akan terjadi setelah sampai di Indonesia saat ini.Bandara telah dipenuhi polisi bersenjata Laras panjang, dan ia tau mengapa mereka melakukan semua
Mendengar penolakan darinya, wajah Anton memerah . Ia tidak tahu, apakah wajah itu menunjukkan rasa marah ataukah rasa malu karena mendapatkan penolakan darinya. "Apa karena kamu punya seorang kekasih?" "Tidak." "Lalu apa? Apa aku tidak cukup tampan bagimu?" "TIdak." "Veina, katakan saja, apa yang membuatmu menolakku, maka mungkin aku akan bisa memperbaikinya." "Kamu tidak cukup pintar. Aku ingin punnya suami profesor," jawabnya penuh kejujuran. Anton menelan ludah dengan jawaban Veina yang diluar ekspetasinya. Pria itu tak percaya dengan pengakuannya dan menganggap ucapan itu hanya alasan untuk menolak pria sepertinya. Hari berlalu dan Anton masih berusaha keras untuk meruntuhkan pertahanannya. Akan tetapi itu memang sudah menjadi keputusan bulatnya untuk tidak terkecoh dengan yang namanya cinta demi untuk menjadi seorang ilmuwan atau bahkan mungkin seorang astronot. Menikah adalah hambatan yang harus ia kesampingkan apalagi memiliki anak yang sangat merepotkan. Ia akankehila
Langkah Ovan terhenti dan melihat asal suara. "Nyonya Veina? Anda...""Ya, aku di sini. Apa yang terjadi?""Hmm, seperti yang anda lihat, bukankah ini setimpal?"Veina tersenyum. Tentu saja itu sudah menjadi resiko yang harus mereka terima."Hei! Cepat masuk! Enak saja malah ngobrol!" teriak sala seorang sipir meneriaki mereka. Ovan kemudian didorong masuk menuju tempatnya dengan keras yang membuat Veina sedikit tidak sampai hati.Setelah itu mereka hanya saling melemparkan pandangan."Bukankah Belanda tempat yang bagus, Nyonya Vein?""Hmm, kamu benar. Akan tetapi aku harus mengambil sesuatu yang tertinggal di sini. Apa kau tau, meninggalkan sesuatu yang berharga akan membuatmu ingin hidup lebih lama dalam menikmati penyesalan?"Ovan tersenyum tipis. Hal itulah yang juga sedang terjadi dengannya. Bahwa kenangan bersama Barbara yang ia tinggalkan, membuatnya ingin menyesali semuanya. Kenyataannya, ia telah membuat gadis itu terlalu menderita setelah membuat Barbara benar-benar jatuh ci
"Hei, aku tak menyangka bocah ini ada di sini," kat aDave sembari menyeringai karena terkejut dengan keberadaan Barbara di rumah tersebut."Tentu saja, ini rumahku. Dan kau...ada apa kamu diu sini?""Barbara, kamu ini saudaraku, kenapa nggak bilang kalau kamu ada di sini. Oh ya, apa kamu nggak tau kalau ibumu ada di penjara?"Barbara melihat sekilas ke arah Lena ibu tirinya. Rasanya cukup memalukan mendengar ucapan Dave."Apa maksudmu dipenjara? Dan kau terlihat senang mengatakannya?" protes Barbara."Siapa bilang aku senang. Kartu debitku dibekukan karenanya. Kartu kredit juga bernasib sama. Akan tetapi melihatmu cukup kaya, sepertinya aku tidak perlu kuatir."Barbara sangat memahami siapa Dave, jadi ia hanya akan bersikap tenang."Tentu saja kamu harus merasa senang. Kamu bisa tinggal di rumahku dan bekerja pada ayahku. Oh ya, dimana kamu menyelesaikan kuliahmu?"Dave tersenyum getir. Dia pikir ia akan mendapatkan bantuan finansial secara gratis tanpa harus bekerja, nyatanya Barbar
Tatapan mata itu tidak lepas memperhatikan apa yang ia lihat. Ia seperti sangat menggenggam amarah di tangannya."Jadi Barbara adalah wanita itu? Wanita yang menggoda Dave?" lirih wanita itu penuh kebencian."Aku tidak bisa menerima ini, ini tidak setimpal," lirihnya lagi."Mami, aku mau es klim," kata bocah perempuan berusia kurang dari dua tahun merengek minta es krim."Ceila, dokter mengatakan kamu tidak boleh makan es krim lagi, hmm?""Mami...es klim coklat mami...."Gadis itu terus merengek dan mengganggu konsentrasi Selen untuk melihat apa yang dilakukan Barbara dan juga Dave."Dasar bocah sialan! Selalu saja membuat ulah!" kata Selen memarahi Ceila. "Apa kau tau, bagaimana susahnya aku menjalani kehidupan dengan anak sepertimu?" hardik Selen sinis pada anak sekecil itu.Ceila menunduk seakan mengerti bagaimana marahnya ibunya. Bibirnya meruncing dan melirik ibunya dengan mata berkaca-kaca.Sementara Selen masih menatap kesal dengan pemandangan yang kini ia lihat. Ia jadi tering
"Apa maksudmu? Apakah itu ibuku?""Mau bagaimana lagi, pasti ada alasan dibalik semua itu, Dave. Aku tak pernah menghukumi ibuku sejahat itu, hanya saja dia memang tidak menginginkan aku."Dave merasa ucapan Barbara memiliki arti yang mendalam."Aku tidak pernah tau apa yang kau alami, dan penderitaan apa yang mungkin dahulu ibuku timbulkan."Barbara tersenyum masam, kalau saja Dave tau, sebenarnya ia cukup beruntung karena menjadi anak kesayangan Veina, namun ternyata kehidupan Dave juga tidak indah. Setelah pada usia taman kanak-kanak, ayah Dave membawanya kabur dan bersembunyi di ketiak istri mudanya. Dan itulah awalnya Veina berubah menjadi seorang mafia."Dave, ibu lebih menderita setelah kalian pergi. Apalagi setelah Vanessa meninggal dunia, hidupnya semakin tak menentu sekarang."Dave termenung, ia merasa terhanyut dalam kisah menyedihkan itu, padahal ia tak pernah memikirkannya, memikirkan bagaimana kepiluan yang mungkin telah ibunya rasakan selama ini. Lalu ia menatap wajah m
Rencana bertemu dengan Veina gagal. Barbara dan juga Dave hanya bisa pasrah karena mereka tidak tahu dimana keberadaan Ovan dan juga Veina sekarang."Wah, kemana mereka pergi ya? Kalau begini, bagaimana aku bisa menyewa apartemen?" gerutu Dave pelan tapi masih bisa didengar Barbara."Kembalikan saja pada ibunya kalau kamu tak mampu, aku bisa tunjukkan dimana rumahnya.""Enak aja, anak ini sangat kurus dan tidak terawat, aku tidak bisa membiarkan Selen mengambilnya. Aku akan merawat anak ini dengan baik.""Bagaimana kau akan merawatnya dengan baik kalau kau saja nggak punya rumah? Mau kau apakan emangnya?""Eeh...masalah itu...aku bisa pinjam dulu uangmu, kau kan kakak perempuanku."Barbara melotot, baru saja jadi adik, maunya sudah utang saja "Ayolah, kau harus bersedekah pada kami yang membutuhkan," rengek Dave meminta tolong."Huh, kamu ini baru datang sudah merepotkan!""Ayolah, apa kamu nggak kasihan sama keponakan yang imut ini? Apa kau rela kami jadi gelandangan di Jakarta ini,