Warna bahagia meliputi suasana sebuah aula pertemuan milik Anton Bagaskara. Gedung megah itu memiliki kesibukan yang tak biasa pada hari itu.Penjagaan ketat di berbagai tempat samasekali tidak menghilangkan suasana rileks dan bersahabat menyambut siapapun yang hadir dalam undangan pernikahan Ovan dan Barbara.Bahkan saat mereka melihat semakin ke dalam, maka mereka akan menyaksikan lebih banyak keindahan dan suasana bahagia yang semakin kentara."Aku merasa gaun ini menonjolkan bentuk perutku yang semakin besar, suamiku. Apa ini masih enak dilihat? Jangan salah faham, aku bukan malu karena hamil, tapi aku kasihan kalau sampai desainer pakaian ini kecewa saat melihatku dalam bentuk tubuh seperti ini," katanya.Ovan hanya tersenyum geli karena Barbara malah sangat gugup dengan bentuk tubuhnya."Kau memang sangat jelek sekarang ini. Tapi itu sih bukan salahku."Mendengar jawaban Ovan yang tak memiliki beban itu Barbara jadi sangat kesal."Kau bilang tak bersalah? Baiklah, aku akan memba
"Anu...kamu sekarang...""Ya, tentu saja aku harus ada di sini, ini adalah pernikahan putriku. Bagaimana kabar kalian, apakah semua baik?""Iya... tentu saja kami baik. Dan kamu, apakah menetap di sini sekarang? Aku dengar kamu ada di Belanda.""Benar, aku memang di Belanda kemarin, tapi sekarang aku akan menetap di sini.""Di rumah ini?" kata salah seorang menyahut."Tidak. Sekarang aku masih dalam masa tahanan, tapi kalau sudah bebas nanti, aku mungkin akan membeli rumah di sekitar sini.""Apa maksudmu dalam masa tahanan? Apa kau.... melakukan kejahatan?" tanya salah satunya ragu, sementara yang lain saling melihat. Mereka makin memperhatikan penampilan Veina yang sangat mewah dan mencolok, memangnya kejahatan apa yang dia perbuat?Pandangan mata mereka mulai berubah canggung, sepertinya ada sedikit rasa takut pada Veina."Jangan kuatir, aku bukan pembunuh kecuali dengan terpaksa," kata Veina dengan tersenyum yang membuat para wanita itu semakin gugup.Saat itu Lena juga ikut mendek
"Maafkan Ceila, Bu. Dia sedikit takut," kata Risa dengan memeluknya."Takut? Apa ini? Kenapa dia harus takut denganku?" heran Veina."Mom, kau memang menakutkan, Ceila kan belum mengenalmu, jadi wajar kalau dia takut dengan wajah seram Mommy," kata Dave kemudian, dia berbicara dengan sedikit mengulas senyum."Apa apaan, kau omong kosong ya?"Risa ikut tersenyum karena kelakuan Dave yang menggoda ibunya."Masalah ini sedikit rumit menjelaskannya, Bu. Yang jelas Ceila tahu Ibu baru di penjara seperti ibunya."Veina merenungkannya, Risa mungkin sedang mengatakan kalau Ceila memiliki traumatis bahkan saat bertemu dirinya."Baiklah, aku bisa mengerti. Padahal aku sangat ingin memeluk cucu Perempuanku, eh, kenapa sampai takut begitu...ufh," keluhnya. "Tapi, cepatlah berkumpul bersama Barbara, kita harus punya foto kenangan yang bagus, oke?""Baik, Bu."Risa akhirnya membujuk Ceila untuk berkumpul bersama keluarga dan mengatakan bahwa Selen tidak mungkin ada di tempat pesta tersebut. Ia sung
Pagi mulai merayap memancarkan sinarnya. Dari setiap asa yang terbersit, selalu ada cara untuk menempuh harapan yang ingin ia wujudkan.Harapan terbesar yang hampir ingin dicapai manusia adalah mereka ingin menikmati bahagia di hari ini.Doa dilantunkan, dipanjatkan demi mengharapkan takdir yang baik untuk dirinya dan orang yang dicintainya.Siapa yang tak ingin bahagia?Mustahil bagi manusia untuk berharap tidak bahagia.Akan tetapi pada sebagian hidup yang ia jalani, ia harus menempuh ujian sampai ia akan tahu di akhir ujian itulah kebahagiaan yang sebenarnya.Bahagia itu relatif, demikian kata sebagian orang.Seorang yang membutuhkan uang, ia akan bahagia saat mendapatkan uang yang ia inginkan.Seorang yang membutuhkan kasih sayang, maka ia akan mengharapkan kasih sayang dan cinta dan ia akan bahagia karenanya.Sebagian orang memilih untuk tidak perduli dengan pencapaian orang lain, ia merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, bersyukur dengan apa yang ia miliki.Ia menutup ma
"Apakah kisah kita juga termasuk yang unik?" kali ini Risa berkata sambil senyum-senyum."Kita? Apa kau sungguh mencintaiku?""Jawab saja pertanyaanku!"Drett dreett dreett!Ponsel Dave berdering dan pria itu lalu mengambil ponsel di sakunya.["Halo, ada apa?"]["Kenapa galak begitu? Aku mengganggumu?"]["Tidak, tapi kau merusak aktifitasku."]["Oh sayangku, tapi hari ini kau harus segera datang karena ini sangat penting, Dave."]["Barbara, kau selalu saja menganggap penting masalahmu. Kau bisa bilang dari sekarang, ada apa dan kenapa kami harus datang?"]["Terserah, kau harus datang! Titik!"]Klep!"Siapa?" Risa bertanya."Siapa lagi kalau bukan saudara perempuanku yang bawel itu, heh?" kata Dave, tapi dia malah tersenyum. "Bersiaplah, kita harus datang ke rumah mereka."Tak ada jawaban, Risa hanya bergegas sesuai kata Dave. Di rumah Anton Bagaskara, mereka berkumpul dengan aneka macam hidangan. Mereka dengan sengaja mengundang Dave dan Risa dan juga Veina.Anton Bagaskara terlihat
"Ternyata karma sudah sangat nyata diperlihatkan," celetuk seorang gadis yang dilalui Barbara dengan tatapan sinis kepadanya. "Lihat saja, dulu dia berjalan begitu sombongnya. Seakan akan dia paling cantik di dunia ini.""Hmm, betul. Dulu aku pernah menyapa, tapi caranya bicara seolah kita ini ga ada harga diri, dianggap kotoran burung," sahut temannya."Aku dengar, Leo malah pacaran sama Selen loh...tau kan, sahabatnya itu makin lengket sama Leo," bisik-bisik yang cukup jelas berdengung di telinganya."Tau rasa, makanya jangan sombong kalau jadi orang. Toh kalau sudah cacat begitu, ga bakalan Leo melirik dia."Telinga Barbara memerah. Beberapa anak duduk bergerombol di tepian jalan yang dilewatinya itu, menatap Barbara dengan tatapan sinis dan mencibir. Ucapan itu sangat menyakiti perasaannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, ucapan mereka tak sepenuhnya salah. Ia dulu merasa terlalu sibuk jika untuk bersikap akrab dengan teman-teman kampusnya. Ia lebih memilih bersikap cuek, acuh t
Barbara sedikit ragu. Ia sama sekali tak mengenali pria tersebut. "Tapi...." "Kamu Barbara, kan? Tenang, aku hanya ingin membantu. Kebetulan mobilku lagi di bengkel, ayo bareng naik taksi kalau kamu mau." Mata Barbara terus menatapnya ragu. "Kenapa? Takut aku culik? Aku juga mahasiswa di sini, lagian banyak saksi kalau kita naik bareng. Ayo, buruan! Di sini bukan tempat pemberhentian taksi, loh." Barbara menoleh ke sekitar. Bodohnya ia tak pernah tahu kalau area tersebut tidak untuk pemberhentian. Pantas saja tak satu taksi pun berhenti saat disetop. Akhirnya iapun menuruti tawaran tersebut dan pria tersebut membantunya untuk turun dari kursi roda juga melipatnya dengan baik. Dengan sabar pria itu membantu Barbara duduk di bangku taksi. "Terima kasih," kata Barbara membalas kebaikan sang pria. "Nggak usah sungkan. Lain kali kita pulang bareng saja kalau sopirmu tak menjemput. Toh kita satu arah." Barbara lega, seperti pria ini cukup baik dan ramah. "Namaku Ovan, aku masih bar
Barbara sudah terbiasa dengan keadaan yang menyulitkan dirinya saat ini. Rundungan ibu tiri, tatapan sinis dan merendahkan dari teman teman kampus, dan bahkan kesulitan untuk menegakkan punggungnya disaat berjalan. Dengan susah payah, ia akhirnya menuruti permintaan ayahnya. "Ya, berhentilah merepotkan orang lain," batin Barbara pedih.Perempuan itu menyeret tongkat penyangga tubuhnya memasuki rumah dan menjalani aktivitas tanpa suara.*****Dengan usaha ekstra, Barbara akhirnya berhasil memasuki ruang kelas. Tak ada senyuman di wajah gadis itu. Ia tetap menjadi sosok yang tak pernah ramah kecuali pada orang orang tertentu saja. Rasa kecewa dikhianati sahabatnya sendiri membuatnya semakin tak mempercayai siapapun saat ini. "Barbara..." sebuah suara yang cukup dikenalnya membuatnya menghentikan langkahnya. Akan tetapi ia menahan diri untuk menoleh. "Kau... sendirian?" Barbara tak menjawab, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Hanya saja pria itu mengiringi langkahnya yang payah. Saat i