"Ternyata karma sudah sangat nyata diperlihatkan," celetuk seorang gadis yang dilalui Barbara dengan tatapan sinis kepadanya. "Lihat saja, dulu dia berjalan begitu sombongnya. Seakan akan dia paling cantik di dunia ini."
"Hmm, betul. Dulu aku pernah menyapa, tapi caranya bicara seolah kita ini ga ada harga diri, dianggap kotoran burung," sahut temannya."Aku dengar, Leo malah pacaran sama Selen loh...tau kan, sahabatnya itu makin lengket sama Leo," bisik-bisik yang cukup jelas berdengung di telinganya."Tau rasa, makanya jangan sombong kalau jadi orang. Toh kalau sudah cacat begitu, ga bakalan Leo melirik dia."Telinga Barbara memerah. Beberapa anak duduk bergerombol di tepian jalan yang dilewatinya itu, menatap Barbara dengan tatapan sinis dan mencibir.Ucapan itu sangat menyakiti perasaannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, ucapan mereka tak sepenuhnya salah. Ia dulu merasa terlalu sibuk jika untuk bersikap akrab dengan teman-teman kampusnya. Ia lebih memilih bersikap cuek, acuh tak acuh, dan tidak banyak bergaul.
Ia terbiasa bersikap seperti itu di mana pun, di kampus, bahkan di rumahnya. Hal itu ia baru saja menyadarinya sebagai sikap yang ternyata dianggap kesombongan.
Adapun Leo, adalah yang terburuk. Kekasihnya yang selama ini dipercaya sepenuh hati malah menjalin hubungan di belakangnya, dengan sahabat karibnya sendiri. Saar dia membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya tegar, Leo justru menambah luka semakin jadi.Barbara yang tadinya menunggu supir pribadinya di atas kursi roda miliknya, akhirnya memutuskan untuk memberhentikan taksi. Supir pribadinya tak juga ada jawaban padahal cuaca panas dan terik di halaman parkir ini.
Kalau saja bukan karena ia bertekad harus menyelesaikan dengan segera pasca sarjana ini, ia memilih untuk duduk di rumah dan cuti dua atau tiga tahun lamanya hingga kakinya pulih. Akan tetapi, ia tak ingin membuang waktu dan harus segera menyelesaikan kuliahnya demi pergi ke Belanda, ia sudah sangat merindukan mamanya.
*****Selama menunggu taksi, Barbara teringat kejadian yang menimpanya saat itu. Ya, dia memang bodoh. Begitu percaya pada sahabat dan pacarnya. Ah, tunggu! Mantan sahabat dan mantan pacarnya.
Tepat sehari setelah hari ulang tahun Barbara yang ke-20, Barbara menerima panggilan dari Selen untuk perayaan spesial di sebuah kafe. Katanya, itu adalah hadiah spesial dari Selen untuknya. Barbara juga menyetir sendiri karena keduanya berjanji akan ke pantai setelah bertemu di kafe. Baru saja keluar dari komplek di persimpangan perumahan, tiba-tiba sebuah truk menghantam dari sisi kanan mobilnya. Untungnya, hanya kakinya yang terjepit dasboard, sehingga bagian tubuhnya yang lain baik-baik saja, meski hanya luka ringan.
Kejadian itu masih menyisakan trauma sehingga Barbara belum punya mental untuk menyetir sendiri saat ini. Satu tahun lamanya pemulihan yang sangat menyakitkan, Leo bahkan mulai sangat jarang menghubungi dirinya meskipun sekedar menghiburnya.
"Leo, apakah kau sibuk hari ini? Maafkan aku karena sekarang aku menjadi seperti ini, Leo. Aku terlalu merepotkan bukan? Akan tetapi dokter mengatakan bahwa kakiku akan baik baik saja."
"Barbara, aku sedang mengerjakan tugas sekarang ini. Kau tahu kan, aku cukup payah menyelesaikan tugas akutansi."
"Hmm, siapa yang membantumu sekarang ini?" tanya Barbara hati-hati.
"Selen. Aku mau minta tolong Selen saja. Setelah itu aku akan menemuimu, gimana?"
Barbara tak pernah merasa curiga meskipun kejadian semisal itu sering kali berulang. Mereka bahkan datang bersama saat menemuinya. Barbara sama sekali tak merasa curiga hingga sebuah kejadian menyadarkan dirinya.
Saat itu, Leo seakan bergantung pada Selen, hingga Barbara tidak punya ruang sama sekali di antara mereka berdua. Namun, Barbara membiarkannya karena tahu kehadiran Selen membantu Leo. Hingga suatu saat, Barbara melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana Leo dan Selen bermesraan di rumah Selen. Dengan ciuman panas tak melihat situasi, Barbara terkejut setengah mati.
"Selen...Leo... apakah ini yang kalian lakukan di belakangku?" ujarnya sangat lirih, namun cukup mengejutkan kedua insan itu. Mereka sepertinya tak menyadari kehadiran Barbara yang melihat perbuatan mereka.
"Barbara...aku...." Leo bangkit dari duduknya menghampiri Barbara. Bisa ia rasakan kekecewaan Barbara yang sangat mendalam.
"Leo, aku sungguh terkejut. Dan kau, Selen, aku membawakan kue kesukaanmu," kata Barbara sembari meletakkan dua kotak kue lalu membalikkan tubuhnya menghindari Leo yang mendekatinya. Ia tak mau Leo semakin memangkas jarak kecanggungan yang tercipta.
"Barbara..."
Barbara hanya bisa menangis menyesali apa yang telah dilihatnya malam itu. Air mata tak berhenti mengalir meskipun ia berusaha tegar. Hatinya sungguh terluka. Kenapa harus Selen? Kenapa ia selalu mengira semua ini tak mungkin terjadi? Luka itu sangat mendalam, sehingga Barbara hampir mati rasa.
"Hi, kau mau naik taksi? Ayo, aku bantu." Sebuah suara mengejutkan Barbara dan mengembalikan dirinya pada kenyataan bahwa tak ada satu pun taksi berhenti untuknya.
Barbara sedikit ragu. Ia sama sekali tak mengenali pria tersebut. "Tapi...." "Kamu Barbara, kan? Tenang, aku hanya ingin membantu. Kebetulan mobilku lagi di bengkel, ayo bareng naik taksi kalau kamu mau." Mata Barbara terus menatapnya ragu. "Kenapa? Takut aku culik? Aku juga mahasiswa di sini, lagian banyak saksi kalau kita naik bareng. Ayo, buruan! Di sini bukan tempat pemberhentian taksi, loh." Barbara menoleh ke sekitar. Bodohnya ia tak pernah tahu kalau area tersebut tidak untuk pemberhentian. Pantas saja tak satu taksi pun berhenti saat disetop. Akhirnya iapun menuruti tawaran tersebut dan pria tersebut membantunya untuk turun dari kursi roda juga melipatnya dengan baik. Dengan sabar pria itu membantu Barbara duduk di bangku taksi. "Terima kasih," kata Barbara membalas kebaikan sang pria. "Nggak usah sungkan. Lain kali kita pulang bareng saja kalau sopirmu tak menjemput. Toh kita satu arah." Barbara lega, seperti pria ini cukup baik dan ramah. "Namaku Ovan, aku masih bar
Barbara sudah terbiasa dengan keadaan yang menyulitkan dirinya saat ini. Rundungan ibu tiri, tatapan sinis dan merendahkan dari teman teman kampus, dan bahkan kesulitan untuk menegakkan punggungnya disaat berjalan. Dengan susah payah, ia akhirnya menuruti permintaan ayahnya. "Ya, berhentilah merepotkan orang lain," batin Barbara pedih.Perempuan itu menyeret tongkat penyangga tubuhnya memasuki rumah dan menjalani aktivitas tanpa suara.*****Dengan usaha ekstra, Barbara akhirnya berhasil memasuki ruang kelas. Tak ada senyuman di wajah gadis itu. Ia tetap menjadi sosok yang tak pernah ramah kecuali pada orang orang tertentu saja. Rasa kecewa dikhianati sahabatnya sendiri membuatnya semakin tak mempercayai siapapun saat ini. "Barbara..." sebuah suara yang cukup dikenalnya membuatnya menghentikan langkahnya. Akan tetapi ia menahan diri untuk menoleh. "Kau... sendirian?" Barbara tak menjawab, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Hanya saja pria itu mengiringi langkahnya yang payah. Saat i
Setelah pertemuan itu, Barbara dan juga Ovan semakin sering bertemu dan semakin akrab, hinggasuatu malam Ovan datang dengan banyak sekali hadiah untuknya. Barbara bahkan tak mengira dengan kejutan tersebut dan ia hanya merasa Ovan bermain main."Apa maksudmu, Ovan? Apa arti semua ini?" tanya Barbara menahan marah"Barbara, aku sedang menyatakan perasaanku kepadamu. Aku menyukaimu, akan tetapi aku tahu mungkin ini tak mudah untukmu. Jangan kuatir, kau tak perlu merasa terbebani kalau memang harus menolakku," ujarnya sambil menatap mata Barbara dengan intens."Apakah ini tidak terlalu terburu-buru? Kita bahkan baru mengenal tiga bulan, tidakkah kau akan menyesal nantinya?""Aku sudah memikirkan segalanya, kau hanya perlu menerima dan mencoba menjalaninya bersamaku. Aku hanya menyukaimu, tak perduli apa yang terjadi di kemudian hari," kata Ovan meyakinkan.Barbara yang sebenarnya terkejut, ia tak mengira Ovan akan menyatakan perasaannya, meskipun sebenarnya ia menyukai ini terjadi. Ia m
Sialnya, saat ia berhasil mendekati tempat tersebut, Ovan sudah tidak berada di tempat itu lagi."Sialan! Ke mana kau sekarang?!" kesalnya dan iapun berlari menuju pintu keluar, mencari kemana kemungkinan kedua orang itu pergi.Hingga kakinya sampai di ruang parkir bertepatan dengan Ovan yang memasuki sebuah mobil bersama seorang wanita tadi."Brengsek!!" Leo mengumpat dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barbara. Akan tetapi panggilannya ditolak dan bahkan sepertinya nomornya telah diblokir Barbara."Barbara, kenapa kau tak mengangkat panggilanku? Atau kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah gigolo? Hah! Kau sangat buruk Barbara, bagaimana bisa kau juga menyewa gigolo hanya untuk membuatku cemburu? Kau ketahuan, Barbara, kau ketahuan...," Leo berceloteh, berbicara sendiri dengan segala kemungkinan kenapa Barbara menjalin hubungan dengan pria sejenis Ovan."Baiklah, aku akan mempercayai bahwa kau masih mencintaiku, tapi haruskah kau melakukannya demi membuatku cemburu? Tapi
Belum sempat Leo mengatakan apapun, seseorang memasuki toilet karena mencari keberadaan Barbara."Barbara, suamimu mencarimu kemana mana, kenapa lama sekali di toilet?""Ehmm, Sebentar lagi, bibi. Aku akan segera kembali," ucap Barbar. Setelah wanita itu pergi, Barbara menatap kesal pada Leo yang bersembunyi."Leo, pergilah dari tempat ini. Aku sudah menikah sekarang ini. Berhentilah untuk melakukan hal-hal yang semakin menyakiti perasaanku, Leo. Please."Ditatap seperti itu, hati Leo menjadi sakit. Ia tak tahu lagi apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang ini. Barbara memohon untuk ia tidak menyakiti hatinya lagi.Dalam termangu, Berbara beranjak dari hadapannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dan tiba-tiba Barbara berbalik ke arahnya."Leo, seharusnya kau berdoa untukku, agar pernikahanku bahagia. Aku yakin, meskipun kau pernah menyakiti hatiku, masih ada hati nuranimu untuk melihatku berbahagia," sergah Barbara, lalu meninggalkan Leo yang masih berdiri menatapnya.Leo mengerti, ini bu
"Kamu sangat cantik," ucap Ovan mengomentari Barbara yang sedang merias wajahnya dengan beberapa polesan warna etnic di hadapan cermin. Memoles dengan warna dominan coklat gelap dan paduan silver sedikit berkilat. Wajah oval dan garis wajahnya yang tajam membuat kecantikan Barbara semakin menonjol. " Lagi memuji apa sedang menghina? Pagi pagi dah gombal," cicit Barbara menanggapi komentar Ovan."Serius, kau lebih cocok jadi model majalah kecantikan. Karena sepertinya kau sangat fotogenik. Kalau saja ada kesempatan, aku akan memperkenalkanmu dengan seorang teman fotografer majalah mode," katanya dengan senyum manis.Barbara tercenung, ucapan Ovan membuatnya sedikit gelisah. Bagaimanapun, Ovan memang tak tahu, bahwa sebenarnya ia pernah menggeluti dunia itu dulu saat masih sangat remaja, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Hanya saja ayahnya berharap ia serius menyelesaikan kuliah.Saat ia benar-benar menekuni pendidikannya dan meninggalkan dunia modeling untuk sementara waktu, kece
Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum