"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela
"Hentikan. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seorang pasien. Jangan lakukan hal seperti itu, ini hanya masalah privasi seorang pasien yang harus kujaga.""Tapi Dok, Vanessa adalah masa depan bagiku, bagaimana aku tak boleh mengetahui apapun? Bagaimana bisa seseorang menganggap ini kemanusiaan sementara aku harus merasa jadi orang yang tak berguna?!" Ovan bersikeras untuk mengetahui apa yang Vanessa alami sebenarnya.Melihat bagaimana Ovan sangat memohon dan terlihat bersungguh-sungguh, dokter itupun menyerah dan memberitahukan kondisi Vanessa."Saudara Ovan. Vanessa mengalami masa sulit dan menyakitkan dalam hidupnya. Gadis ini gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh. Kami para dokter dan juga perawat di rumah sakit ini, menaruh empati besar untuk Vanessa. Akan tetapi, jangan sampai rasa empati dan kasihan cenderung melemahkan mentalnya untuk melawan penyakit ini. Sejujurnya, kami tidak menceritakan apapun pada Vanessa perihal penyakitnya."Ovan mendengar dengan seksa
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Ovan berdiri di teras balkon kamar mereka. Waktu sudah menunjukkan dini hari, tapi Ovan tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, padahal tubuhnya sudah terasa letih. Untuk itu, ia memilih menyendiri di teras balkon dan menikmati melihat ponsel rahasia miliknya. Dengan tiga lapis kata sandi keamanan, Ovan membuka aplikasi pesan dan galeri miliknya di dalam ponsel.Seperti biasa, rasa rindu menyelimuti hatinya untuk bisa bertemu Vanessa. Akan tetapi ini tak akan mudah karena ia telah terikat pernikahan dengan Barbara. Sangat menyiksa, saat ia ingin tahu bagaimana kondisi Vanessa saat ini secara langsung, tapi itu sangat tak mungkin.Ia tak akan menyerah mendapatkan biaya pengobatan Vanessa, dan ia harus memperoleh uang itu dalam waktu dekat ini. Setidaknya ia bersyukur, operasi sudah akan dilakukan berkat pinjaman uang dari John, teman dekatnya di Australia.Melalui teman John yang berada di Belanda, ia mendapatkan pekerjaan dan bertemu Nyonya Vein,
Beberapa saat lamanya lidah Ovan terasa kelu. Sorot mata Barbara terlihat memohon dengan sangat. "Jelaskan padaku, apa yang harus kubenci darimu dan apa yang seharusnya membuatku mencintaimu?" Barbara terus memandangi Ovan begitu intens.Ovan tak berdaya, ia tak mungkin mengatakan dengan jujur. Jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia tak berhak menyakiti hati Barbara. Entahlah dorongan dari mana tiba tiba Ovan menyentuh bibir Barbara dengan bibirnya. Melumatnya dengan pagutan yang memburu. Begitu juga Barbara yang tak tahu lagi, apakah maksud ciuman panas yang Ovan lakukan. Ia hanya mengikuti keinginan Ovan untuk melakukannya. Toh Ovan adalah suaminya, ia seharusnya melakukan sejak hari sebelumnya.Suara napas tersengal-sengal tenggelam dalam suara hujan yang turun dengan derasnya. Hampir saja Ovan melupakan apa tujuan dirinya menikahi Barbara. Lalu ia tersadar, ia telah melangkah terlalu jauh meskipun baru di pekan pertama mereka menikah. 'Sampai kapan aku bertahan, Barbie," bisik ha
Tiba saatnya, Ovan berada di suatu keadaan untuk ia bisa menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Akan tetapi Barbara yang selalu berada di sampingnya membuat tangannya berkeringat luar biasa. Barbara cukup cerdas untuk tidak membiarkan Ovan bekerja tanpa ia awasi."Ovan, kau terlihat letih. Besok kita akan lanjutkan lagi pekerjaan ini. Ayo kita pulang dan pergi ke suatu tempat," pinta Barbara kemudian.Karena Ovan tak punya jalan lain selain menerima tawaran Barbara, iapun tak bisa berbuat banyak selain setuju dan mengakhiri rencananya untuk sementara waktu."Ke suatu tempat?""Benar, sudah lama aku tidak berlatih di arena tembak."Ovan mengernyit. Ia bahkan tak pernah mendapatkan informasi hobi Barbara yang satu ini."Kau melakukan hobi semacam itu?""Kebanyakan anak konglomerat melakukannya untuk melindungi diri mereka. Kurasa aku butuh juga meskipun bukan putri konglomerat. Aku semakin lemah dengan kondisi kakiku ini, jadi mungkin ini sedikit memberiku kekuatan."Tiba-tiba Barbara
Barbara mengenakan atribut menembak dengan cepat. Berbeda dengan Ovan yang masih bingung mengenakannya dan apalagi memasukkan peluru ke dalam pistol. Seorang pemandu membantunya dan mengajari teknik menembak pada sebuah objek yang tidak terlalu jauh. Beberapa kali tembakan, Ovan memang sedikit memahami cara memakainya dan mulai mencoba teknik membidik agar tepat sasaran.Setelah pemandu itu pergi, Ovan mencobanya sendiri.Duarr! Duarr!Satu kena di batas tengah dan satunya lagi meleset lebih jauh.Lalu iapun melihat Barbara yang membidik dengan serius pada setiap sasaran tembak yang berganti. Beberapa kali tembakan tak ada satupun yang meleset. Gadis itu sangat menikmati permainannya.Seseorang dari arah lain mendekati Barbara, pria itu juga membidik sasaran tak kalah hebatnya dengan Barbara. Karena itu membuat Barbara jadi penasaran.Setelah pria itu benar benar berhenti, pria itu membuka penutup wajahnya."Barbie, skormu masih sama dengan yang dulu. Kau masih di skor 70 dan aku masi
"Tunggu, aku harus bicara."Leo membalikkan badannya, melihat ke arah suara."Hmm, sepertinya kau penasaran.""Tidak, samasekali tidak. Aku justru ingin mengatakan kepadamu bahwa kau tak perlu merasa kuatir tentang apapun yang terjadi pada kami. Begitu juga bagaimanapun keadaan Ovan, itu bukanlah urusanmu. Itu saja!"Lalu Barbara membalikkan rodanya, setelah menegaskan kalimat tersebut."Bagaimana kalau ternyata dia seorang mucikari. Aku sungguh bisa membuktikan kepadamu, Barbara"Barbara berhenti sejenak, tapi kemudian melanjutkan untuk kembali ke mobilnya dimana Ovan telah menunggu.Ovan dan Barbara saling diam, hingga Ovan memulai percakapan."Kau terlihat meragukan aku, Barbara.""Untuk apa aku harus meragukan suamiku sendiri? Andai kau memiliki masa lalu, maka aku juga memiliki masa lalu. Seburuk apapun masa lalumu maka aku akan menerima keadaanmu apa adanya. Aku hanya merasa marah, kenapa kau tak sedikitpun membuka diri untuk bercerita tentang masa lalumu kepadaku, wanita yang t
Setelah Ovan pergi, Barbara menghubungi Michael, temannya yang berada di Bandung. Michael adalah seorang temannya di sebuah Klub motor gede yang juga memiliki beberapa usaha bar dan karaoke. Ia sedikit penasaran, dengan apa yang dikatakan Leo kepadanya."Halo nona Bar bar, sudah lama sekali kau tak menghubungi aku. Kau tenggelam dimana?""Sial, kenapa kau bilang aku Bar bar, hah. Kalau aku bar bar, akan kusita satu klub kamu buat nutup utang kamu yang udah berbunga jutaan dolar itu," seloroh Barbara menyinggung utang dua puluh ribu di warung es karena dompet Michael hilang dicopet orang. "Ya ampun, utangku cuma utang es teh, kenapa jadi jutaan dolar? Ha ha ha...bener bener kau pejuang bar bar," gelak tawa Michael menggelegar. "Jadi, gimana caraku melunasi hutangku?" "Bantu aku mencari informasi tentang seseorang yang akan aku kirimkan fotonya. Kalau perlu, sewa beberapa orang untuk menggali informasi ini. Akan tetapi rahasiakan dengan baik masalah ini.""Wah wah wah, kau berlagak j
"Apakah kisah kita juga termasuk yang unik?" kali ini Risa berkata sambil senyum-senyum."Kita? Apa kau sungguh mencintaiku?""Jawab saja pertanyaanku!"Drett dreett dreett!Ponsel Dave berdering dan pria itu lalu mengambil ponsel di sakunya.["Halo, ada apa?"]["Kenapa galak begitu? Aku mengganggumu?"]["Tidak, tapi kau merusak aktifitasku."]["Oh sayangku, tapi hari ini kau harus segera datang karena ini sangat penting, Dave."]["Barbara, kau selalu saja menganggap penting masalahmu. Kau bisa bilang dari sekarang, ada apa dan kenapa kami harus datang?"]["Terserah, kau harus datang! Titik!"]Klep!"Siapa?" Risa bertanya."Siapa lagi kalau bukan saudara perempuanku yang bawel itu, heh?" kata Dave, tapi dia malah tersenyum. "Bersiaplah, kita harus datang ke rumah mereka."Tak ada jawaban, Risa hanya bergegas sesuai kata Dave. Di rumah Anton Bagaskara, mereka berkumpul dengan aneka macam hidangan. Mereka dengan sengaja mengundang Dave dan Risa dan juga Veina.Anton Bagaskara terlihat
Pagi mulai merayap memancarkan sinarnya. Dari setiap asa yang terbersit, selalu ada cara untuk menempuh harapan yang ingin ia wujudkan.Harapan terbesar yang hampir ingin dicapai manusia adalah mereka ingin menikmati bahagia di hari ini.Doa dilantunkan, dipanjatkan demi mengharapkan takdir yang baik untuk dirinya dan orang yang dicintainya.Siapa yang tak ingin bahagia?Mustahil bagi manusia untuk berharap tidak bahagia.Akan tetapi pada sebagian hidup yang ia jalani, ia harus menempuh ujian sampai ia akan tahu di akhir ujian itulah kebahagiaan yang sebenarnya.Bahagia itu relatif, demikian kata sebagian orang.Seorang yang membutuhkan uang, ia akan bahagia saat mendapatkan uang yang ia inginkan.Seorang yang membutuhkan kasih sayang, maka ia akan mengharapkan kasih sayang dan cinta dan ia akan bahagia karenanya.Sebagian orang memilih untuk tidak perduli dengan pencapaian orang lain, ia merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, bersyukur dengan apa yang ia miliki.Ia menutup ma
"Maafkan Ceila, Bu. Dia sedikit takut," kata Risa dengan memeluknya."Takut? Apa ini? Kenapa dia harus takut denganku?" heran Veina."Mom, kau memang menakutkan, Ceila kan belum mengenalmu, jadi wajar kalau dia takut dengan wajah seram Mommy," kata Dave kemudian, dia berbicara dengan sedikit mengulas senyum."Apa apaan, kau omong kosong ya?"Risa ikut tersenyum karena kelakuan Dave yang menggoda ibunya."Masalah ini sedikit rumit menjelaskannya, Bu. Yang jelas Ceila tahu Ibu baru di penjara seperti ibunya."Veina merenungkannya, Risa mungkin sedang mengatakan kalau Ceila memiliki traumatis bahkan saat bertemu dirinya."Baiklah, aku bisa mengerti. Padahal aku sangat ingin memeluk cucu Perempuanku, eh, kenapa sampai takut begitu...ufh," keluhnya. "Tapi, cepatlah berkumpul bersama Barbara, kita harus punya foto kenangan yang bagus, oke?""Baik, Bu."Risa akhirnya membujuk Ceila untuk berkumpul bersama keluarga dan mengatakan bahwa Selen tidak mungkin ada di tempat pesta tersebut. Ia sung
"Anu...kamu sekarang...""Ya, tentu saja aku harus ada di sini, ini adalah pernikahan putriku. Bagaimana kabar kalian, apakah semua baik?""Iya... tentu saja kami baik. Dan kamu, apakah menetap di sini sekarang? Aku dengar kamu ada di Belanda.""Benar, aku memang di Belanda kemarin, tapi sekarang aku akan menetap di sini.""Di rumah ini?" kata salah seorang menyahut."Tidak. Sekarang aku masih dalam masa tahanan, tapi kalau sudah bebas nanti, aku mungkin akan membeli rumah di sekitar sini.""Apa maksudmu dalam masa tahanan? Apa kau.... melakukan kejahatan?" tanya salah satunya ragu, sementara yang lain saling melihat. Mereka makin memperhatikan penampilan Veina yang sangat mewah dan mencolok, memangnya kejahatan apa yang dia perbuat?Pandangan mata mereka mulai berubah canggung, sepertinya ada sedikit rasa takut pada Veina."Jangan kuatir, aku bukan pembunuh kecuali dengan terpaksa," kata Veina dengan tersenyum yang membuat para wanita itu semakin gugup.Saat itu Lena juga ikut mendek
Warna bahagia meliputi suasana sebuah aula pertemuan milik Anton Bagaskara. Gedung megah itu memiliki kesibukan yang tak biasa pada hari itu.Penjagaan ketat di berbagai tempat samasekali tidak menghilangkan suasana rileks dan bersahabat menyambut siapapun yang hadir dalam undangan pernikahan Ovan dan Barbara.Bahkan saat mereka melihat semakin ke dalam, maka mereka akan menyaksikan lebih banyak keindahan dan suasana bahagia yang semakin kentara."Aku merasa gaun ini menonjolkan bentuk perutku yang semakin besar, suamiku. Apa ini masih enak dilihat? Jangan salah faham, aku bukan malu karena hamil, tapi aku kasihan kalau sampai desainer pakaian ini kecewa saat melihatku dalam bentuk tubuh seperti ini," katanya.Ovan hanya tersenyum geli karena Barbara malah sangat gugup dengan bentuk tubuhnya."Kau memang sangat jelek sekarang ini. Tapi itu sih bukan salahku."Mendengar jawaban Ovan yang tak memiliki beban itu Barbara jadi sangat kesal."Kau bilang tak bersalah? Baiklah, aku akan memba
Persidangan berjalan sangat lancar. Sebab, tidak ada bantahan baik itu Selen atau Leo dalam menanggapi dakwaan hakim. Mereka hanya pasrah dan menunduk dalam atas semua yang mereka dengar.Percuma saja melawan, toh semuanya sudah ketahuan."Dengan ini, maka pengadilan hukum pidana memutuskan untuk Nyonya Selen mendapatkan hukuman pidana selama dua belas tahun karena percobaan pembunuhan terhadap sahabatnya sendiri, dan denda senilai lima ratus juta rupiah atas kerusakan yang telah ditimbulkan."Tok Tok Tok!Suara riuh menggema di dalam ruangan tersebut. Mereka senang dengan keputusan hakim atas Selen."Selain itu, kami juga memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Saudara Leo selama sepuluh tahun penjara karena telah menyembunyikan bukti dan percobaan pelecehan kepada saudara Barbara."Tok Tok Tok!Kembali suara riuh ruangan itu menggema atas apa yang mereka dengar dari keputusan hakim.Tidak ada lagi keberatan yang akan mereka, Leo dan Selen sampaikan kecuali pasrah dengan putusan
Dave sedikit terkesima, ia melupakan sosok kecil putrinya yang mungkin akan terluka saat melihat Selen mendapatkan hujatan di pengadilan nanti. Ia tak seharusnya membiarkan Ceila menyaksikan hal itu."Kau benar, kurasa kita tidak perlu datang dan mengikuti jalannya pengadilan. Lebih baik kita pergi bersama ke suatu tempat untuk rekreasi. Aku akan mengatakan hal ini pada Barbara dan meminta maaf.""Atau sebaiknya kau saja yang datang? Aku akan menjaga Ceila dan tidak menyinggung hal ini. Jangan sampai Ceila sedih karenanya."Dave berpikir sebentar, ia juga penasaran soal jalannya pengadilan, tapi juga ingin menghabiskan waktu bersama Risa dan Ceila alih-alih melihat mantan kekasihnya yang menyedihkan."Dave, kau melamun?""Eh, bukan begitu. Aku sedang berpikir kalau Ceila sampai melihat hal semacam itu, pastilah akan menjadi traumatis di hari akan datang."***Keesokan harinya, mereka memang sudah sangat ramai berkumpul di pengadilan. Antusias kerabat Barbara terlihat memenuhi teras pe
"Wow, kenapa kalian tidak memanggil kami? Kami bisa saja datang ke sana dan membalas perbuatan mereka.""Hentikan omong kosong kamu Dave! Ovan sudah menyerahkan semuanya pada polisi, nggak perlu repot-repot. Kau hanya perlu mengangkat semua tas itu, oke?"***"Baik, karena semua sudah berkumpul, mari kita melanjutkan pembicaraan kita soal pesta pernikahan Barbara dan Ovan.. Aku ingin pesta pernikahan ini dibuat sangat meriah dan berkesan.""Tunggu! kenapa pernikahan ini diselenggarakan tanpa keluarga Ovan? Ini sangat tak biasa," protes bibi Barbara. "Bukan tak percaya, tapi ..""Bibi, mereka punya tempat tinggal yang sangat jauh. Mereka sangat kesulitan. Toh orang tua Ovan telah tiada, untuk apa memaksakan diri?" jawab Barbara sedikit berbohong. "Barbara, apakah semua baik-baik saja? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di sana?"Barbara menarik tangan Lena dan membawanya ke kamar miliknya."Bu, aku tidak bisa menceritakan semuanya sekarang ini. Akan tetapi aku pasti akan menceritakan
Ovan yang sudah kembali dengan banyak makanan di kantong belanjanya melihat Barbara terlihat sangat pucat."Sayang, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat sangat pucat. Ada apa?"Barbara tak menjawab, ia hanya memberikan isyarat untuk Ovan melihatnya dengan menunjuk ke arah Laptop."Apa yang terjadi?"Pria itupun masuk ke mobil dan melihat laptopnya.Ovan sangat terkejut karena melihat serombongan orang menyusup ke dalam rumahnya. Bukan satu atau dua orang, tapi ada sekitar tujuh orang pria. Mereka sungguh mengincar apa yang ia miliki. Terlihat beberapa orang berjaga dan yang lainnya memeriksa kotak perhiasan. Mereka sungguh perampok dengan persenjataan lengkap berupa senapan dan senjata tajam. Semua fenomena itu, persis seperti apa yang ia takutkan.Itulah sebabnya ia tidak mau mengambil resiko nyawa, tidak akan!"Kau sudah melihatnya bukan? Kau bisa melihat betapa kejamnya mereka ini. Bahkan dengan apa yang mereka lakukan itu tidak seorangpun yang bisa melarangnya. Aku sangat yakin me