Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum
"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela
"Hentikan. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seorang pasien. Jangan lakukan hal seperti itu, ini hanya masalah privasi seorang pasien yang harus kujaga.""Tapi Dok, Vanessa adalah masa depan bagiku, bagaimana aku tak boleh mengetahui apapun? Bagaimana bisa seseorang menganggap ini kemanusiaan sementara aku harus merasa jadi orang yang tak berguna?!" Ovan bersikeras untuk mengetahui apa yang Vanessa alami sebenarnya.Melihat bagaimana Ovan sangat memohon dan terlihat bersungguh-sungguh, dokter itupun menyerah dan memberitahukan kondisi Vanessa."Saudara Ovan. Vanessa mengalami masa sulit dan menyakitkan dalam hidupnya. Gadis ini gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh. Kami para dokter dan juga perawat di rumah sakit ini, menaruh empati besar untuk Vanessa. Akan tetapi, jangan sampai rasa empati dan kasihan cenderung melemahkan mentalnya untuk melawan penyakit ini. Sejujurnya, kami tidak menceritakan apapun pada Vanessa perihal penyakitnya."Ovan mendengar dengan seksa
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Ovan berdiri di teras balkon kamar mereka. Waktu sudah menunjukkan dini hari, tapi Ovan tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, padahal tubuhnya sudah terasa letih. Untuk itu, ia memilih menyendiri di teras balkon dan menikmati melihat ponsel rahasia miliknya. Dengan tiga lapis kata sandi keamanan, Ovan membuka aplikasi pesan dan galeri miliknya di dalam ponsel.Seperti biasa, rasa rindu menyelimuti hatinya untuk bisa bertemu Vanessa. Akan tetapi ini tak akan mudah karena ia telah terikat pernikahan dengan Barbara. Sangat menyiksa, saat ia ingin tahu bagaimana kondisi Vanessa saat ini secara langsung, tapi itu sangat tak mungkin.Ia tak akan menyerah mendapatkan biaya pengobatan Vanessa, dan ia harus memperoleh uang itu dalam waktu dekat ini. Setidaknya ia bersyukur, operasi sudah akan dilakukan berkat pinjaman uang dari John, teman dekatnya di Australia.Melalui teman John yang berada di Belanda, ia mendapatkan pekerjaan dan bertemu Nyonya Vein,
Beberapa saat lamanya lidah Ovan terasa kelu. Sorot mata Barbara terlihat memohon dengan sangat. "Jelaskan padaku, apa yang harus kubenci darimu dan apa yang seharusnya membuatku mencintaimu?" Barbara terus memandangi Ovan begitu intens.Ovan tak berdaya, ia tak mungkin mengatakan dengan jujur. Jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia tak berhak menyakiti hati Barbara. Entahlah dorongan dari mana tiba tiba Ovan menyentuh bibir Barbara dengan bibirnya. Melumatnya dengan pagutan yang memburu. Begitu juga Barbara yang tak tahu lagi, apakah maksud ciuman panas yang Ovan lakukan. Ia hanya mengikuti keinginan Ovan untuk melakukannya. Toh Ovan adalah suaminya, ia seharusnya melakukan sejak hari sebelumnya.Suara napas tersengal-sengal tenggelam dalam suara hujan yang turun dengan derasnya. Hampir saja Ovan melupakan apa tujuan dirinya menikahi Barbara. Lalu ia tersadar, ia telah melangkah terlalu jauh meskipun baru di pekan pertama mereka menikah. 'Sampai kapan aku bertahan, Barbie," bisik ha
Tiba saatnya, Ovan berada di suatu keadaan untuk ia bisa menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Akan tetapi Barbara yang selalu berada di sampingnya membuat tangannya berkeringat luar biasa. Barbara cukup cerdas untuk tidak membiarkan Ovan bekerja tanpa ia awasi."Ovan, kau terlihat letih. Besok kita akan lanjutkan lagi pekerjaan ini. Ayo kita pulang dan pergi ke suatu tempat," pinta Barbara kemudian.Karena Ovan tak punya jalan lain selain menerima tawaran Barbara, iapun tak bisa berbuat banyak selain setuju dan mengakhiri rencananya untuk sementara waktu."Ke suatu tempat?""Benar, sudah lama aku tidak berlatih di arena tembak."Ovan mengernyit. Ia bahkan tak pernah mendapatkan informasi hobi Barbara yang satu ini."Kau melakukan hobi semacam itu?""Kebanyakan anak konglomerat melakukannya untuk melindungi diri mereka. Kurasa aku butuh juga meskipun bukan putri konglomerat. Aku semakin lemah dengan kondisi kakiku ini, jadi mungkin ini sedikit memberiku kekuatan."Tiba-tiba Barbara
Barbara mengenakan atribut menembak dengan cepat. Berbeda dengan Ovan yang masih bingung mengenakannya dan apalagi memasukkan peluru ke dalam pistol. Seorang pemandu membantunya dan mengajari teknik menembak pada sebuah objek yang tidak terlalu jauh. Beberapa kali tembakan, Ovan memang sedikit memahami cara memakainya dan mulai mencoba teknik membidik agar tepat sasaran.Setelah pemandu itu pergi, Ovan mencobanya sendiri.Duarr! Duarr!Satu kena di batas tengah dan satunya lagi meleset lebih jauh.Lalu iapun melihat Barbara yang membidik dengan serius pada setiap sasaran tembak yang berganti. Beberapa kali tembakan tak ada satupun yang meleset. Gadis itu sangat menikmati permainannya.Seseorang dari arah lain mendekati Barbara, pria itu juga membidik sasaran tak kalah hebatnya dengan Barbara. Karena itu membuat Barbara jadi penasaran.Setelah pria itu benar benar berhenti, pria itu membuka penutup wajahnya."Barbie, skormu masih sama dengan yang dulu. Kau masih di skor 70 dan aku masi