Setelah pertemuan itu, Barbara dan juga Ovan semakin sering bertemu dan semakin akrab, hinggasuatu malam Ovan datang dengan banyak sekali hadiah untuknya. Barbara bahkan tak mengira dengan kejutan tersebut dan ia hanya merasa Ovan bermain main.
"Apa maksudmu, Ovan? Apa arti semua ini?" tanya Barbara menahan marah
"Barbara, aku sedang menyatakan perasaanku kepadamu. Aku menyukaimu, akan tetapi aku tahu mungkin ini tak mudah untukmu. Jangan kuatir, kau tak perlu merasa terbebani kalau memang harus menolakku," ujarnya sambil menatap mata Barbara dengan intens.
"Apakah ini tidak terlalu terburu-buru? Kita bahkan baru mengenal tiga bulan, tidakkah kau akan menyesal nantinya?"
"Aku sudah memikirkan segalanya, kau hanya perlu menerima dan mencoba menjalaninya bersamaku. Aku hanya menyukaimu, tak perduli apa yang terjadi di kemudian hari," kata Ovan meyakinkan.
Barbara yang sebenarnya terkejut, ia tak mengira Ovan akan menyatakan perasaannya, meskipun sebenarnya ia menyukai ini terjadi. Ia menggigit bibirnya, menatap lebih dalam manik Ovan untuk melihat kesungguhannya. Sungguh, dia trauma dengan Leo dan sungguh tidak percaya diri dengan keadaannya.
"Aku wanita cacat, Ovan. Kau tak perlu seperti ini."
"Kenapa? Bahkan wanita cacat sangat bisa mencintai bukan?" ucap Ovan tanpa ragu.
"Kau yakin?"tanya Barbara ragu.
"Tentu saja, atau kalau kau mau, aku akan langsung menikahimu saja. Bagaimana?"
Barbara semakin terkesima. Tiba-tiba hatinya melambung sangat jauh. "Jangan bercanda Ovan. Menikah bukanlah permainan."
"Apa kau tidak menyukaiku, Barbara? Apa aku tak sebanding dengan Leo mantan kekasihmu itu?"
Leo? Apakah Ovan tak sebanding dengan Leo? Tentu saja, Leo brengsek, tak akan bisa dibandingkan dengan Ovan. Pria ini cukup jantan untuk melamarnya langsung dan bersedia menikahinya meskipun cacat.
Leo bahkan hampir tak pernah menyinggung soal pernikahan. Barbara memikirkannya, tentu saja ia tidak ingin kehilangan pria sebaik Ovan.
"Aku menyukaimu, Ovan. Aku bersedia untuk menikah denganmu. Akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bukankah mereka akan kecewa dengan kondisiku ini? Bagaimana kau akan menjelaskan kepada mereka?"
"Keluargaku hanyalah tinggal kakek tua yang tidak bisa dimintai pendapat. Tak usah kuatir, ini hanyalah pada keputusanku sendiri." Ovan lalu memeluk Barbara erat, membelai puncak kepala Barbara dengan lembut sementara gadis itu menangis haru dalam pelukan Ovan.
Keduanya terlihat menikmati momen malam itu dengan suka cita, memberikan kecupan romantis yang membuat hati Barbara berbunga-bunga. Melupakan kesulitan hidupnya, melupakan pengkhianatan Leo dan juga Selen.
"Terima kasih, Ovan. Kau adalah pria yang akan menjadi sandaran hidupku," lirih Barbara dan Ovan terus memeluk dan membelai Barbara.
Sementara itu, Ovan juga tersenyum puas. Wajahnya diliputi kebahagiaan karena apa yang ia harapkan sungguh akan terwujud.'Aku pun berterima kasih, Barbara. Kau telah menolongku untuk mendapatkan keinginanku, terima kasih dan maaf," bisik Ovan dalam hati.
*****
"Menikah? Bukannya mau ke Belanda?" Lena meragukan penjelasan Anton, suaminya, tentang keputusan Barbara yang urung ke Belanda dan bahkan akan segera menikah dengan Ovan.
Itu artinya, kehidupan Lena masih akan sama dengan hari hari sebelumnya, kan? Apakah dia akan selalu berhadapan dengan Barbara?
"Kenapa? Bukankah seharusnya kau senang karena Barbara akan mendapatkan seorang pendamping yang bisa membimbing hidupnya?"
"Masalahnya, mereka akan menempati rumah ini, dan aku masih harus bersikap waspada dengan Barbara."
"Jadi, kau merasa Barbara adalah musuh dalam hidupmu? Haruskah kita bercerai, Lena?" kata Anton dengan tenang, sembari membolak balik halaman sebuah buku di tangannya.
Lena terkejut bukan main. Bagaimana mungkin Anton mengatakan hal semacam itu, rela bercerai demi Barbara.
"Anton?!"
"Kau tahu, aku memiliki keturunan seorang anak saja, bahkan kau tak bisa melahirkan untukku. Aku ingin mewariskan seluruh hartaku untuk Barbara dan cucu cucuku kelak, kau harus tahu tempatmu Lena. Kalau kau diam dan bertahan, maka kau juga yang diuntungkan," jawab Anton dengan sangat transparan.
Lena hanya bisa menitikkan air matanya saat pria itu pergi meninggalkan dirinya keluar ruangan. Sementara itu, Anton melihat Barbara di halaman belakang sedang merangkai bunga. Pria itu tersenyum melihat gadisnya kembali ceria.
Sejak kecelakaan yang melumpuhkan kakinya, baru sekarang ia melihat Barbara terlihat sangat bahagia.
"Kau sudah benar-benar siap sepertinya, Barbara. Apa kau bahagia?" tanya Anton antusias.
"Ouh, Papa, aku senang karena ada seorang pria yang terlihat sangat menghargai seorang wanita. Aku merasa dia lebih hebat dari Papa."
"Benarkah? Papa tak sekeren dia sih waktu muda," seloroh papanya.
"Hmm, aku tahu, Papa terlihat kuno di foto papa waktu muda."
"Aah, itu kan karena efek kameranya saja yang belum modern. Sebenarnya nggak juga berbeda jauh kok soal penampilan."
Barbara tertawa terpingkal-pingkal dengan gaya papanya yang bertingkah sok keren. "Tapi, Pa. Apakah nantinya, dia bisa bekerja di perusahaan kita? Aku ingin dia bekerja satu divisi denganku."
"Tak masalah, Papa sudah memikirkannya. Sepertinya dia seorang yang cerdas, kurasa sangat cocok dengan bagian itu."
"Oh, iya. Kami akan menikah di hadapan kerabat dekat dahulu, Pa. Setelah kaki kiriku benar benar pulih, kita bisa merayakannya kembali dengan pesta yang meriah,"
Sekali lagi, Anton mengangguk setuju.
#Sementara itu, Leo sedang bersama beberapa temannya sedang berkumpul di sebuah club malam. Leo dan Darn berbincang-bincang tentang kondisi club milik Darn yang semakin ramai.
"Kau makin sukses Darn. Club kamu cukup booming di kalangan anak muda."
"Nggak cuma, anak muda. Pria dewasa juga makin banyak yang datang, dan bahkan nyonya kesepian sering mampir juga."
"Gila, apa ada bisnis sampingan di club kamu ini?" tanya Leo penasaran.
"Aku sih nggak menjalankan bisnis kayak begitu, tapi entah kalau mereka. Aku cuma fasilitas hiburan aja, dan jual minuman kesukaan mereka."
"Gila! Omset kamu pasti gila!" pekik Leo.
"Nggak juga, ini nggak seberapa dibandingkan suntikan dana dari papaku," jawab Darn senyum senyum.
Leo mengedarkan pandangannya, hingga melihat sosok pria yang sering menjadi perbincangan di kampusnya. Pria itu sangat populer di kalangan para gadis karena terkenal tampannya, dan juga pria itu akan menikahi Barbara tak lama lagi. Dia Ovan!
"Kau kenal siapa dia?" tunjuk Leo pada pria yang sedang duduk bersama seorang wanita.
"Oh, si Pangeran."
"Pangeran? Kau kenal dia?"
"Nggak juga, tapi dia sering kesini sama cewek berbaju hijau itu, denger denger sih itu sugar mommy nya."
"Kau bercanda ya? Kau yakin Pangeran itu seperti seperti yang kau katakan?"
Leo terus memperhatikan gerak gerik pria yang jadi perhatiannya. Akan tetapi sepertinya keterangan Darn sangat sesuai. Tak lama kemudian, si wanita bergelayut manja di lengan Pangeran, yang ia kenal sebagai Ovan di kampus.
"Leo, apa kau mengenalnya? Dia memang pria piaraan nyonya nyonya jablai. Aku dengar dia masih kuliah juga dan cukup cerdas. Ah, itukan privasi orang, untuk apa kita ngurusin."
Leo mengepalkan tinjunya. Hal yang paling membuat dirinya khawatir adalah Barbara yang sekarang telah menjalin hubungan dengan Ovan.
"Sial!" gumam Leo marah, "Aku tak akan membiarkan kau menyakiti hati Barbara setelah apa yang terjadi."
Leo kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Ovan.
"Leo? Mau ke mana?" Darn memanggilnya, tapi Leo terus menerobos pengunjung yang sedang berdesakan. Hiruk-pikuk DJ yang mendominasi ruangan membuat Leo kesulitan menuju tempat Ovan berada.
"Membuat perhitungan!"
Sialnya, saat ia berhasil mendekati tempat tersebut, Ovan sudah tidak berada di tempat itu lagi."Sialan! Ke mana kau sekarang?!" kesalnya dan iapun berlari menuju pintu keluar, mencari kemana kemungkinan kedua orang itu pergi.Hingga kakinya sampai di ruang parkir bertepatan dengan Ovan yang memasuki sebuah mobil bersama seorang wanita tadi."Brengsek!!" Leo mengumpat dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barbara. Akan tetapi panggilannya ditolak dan bahkan sepertinya nomornya telah diblokir Barbara."Barbara, kenapa kau tak mengangkat panggilanku? Atau kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah gigolo? Hah! Kau sangat buruk Barbara, bagaimana bisa kau juga menyewa gigolo hanya untuk membuatku cemburu? Kau ketahuan, Barbara, kau ketahuan...," Leo berceloteh, berbicara sendiri dengan segala kemungkinan kenapa Barbara menjalin hubungan dengan pria sejenis Ovan."Baiklah, aku akan mempercayai bahwa kau masih mencintaiku, tapi haruskah kau melakukannya demi membuatku cemburu? Tapi
Belum sempat Leo mengatakan apapun, seseorang memasuki toilet karena mencari keberadaan Barbara."Barbara, suamimu mencarimu kemana mana, kenapa lama sekali di toilet?""Ehmm, Sebentar lagi, bibi. Aku akan segera kembali," ucap Barbar. Setelah wanita itu pergi, Barbara menatap kesal pada Leo yang bersembunyi."Leo, pergilah dari tempat ini. Aku sudah menikah sekarang ini. Berhentilah untuk melakukan hal-hal yang semakin menyakiti perasaanku, Leo. Please."Ditatap seperti itu, hati Leo menjadi sakit. Ia tak tahu lagi apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang ini. Barbara memohon untuk ia tidak menyakiti hatinya lagi.Dalam termangu, Berbara beranjak dari hadapannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dan tiba-tiba Barbara berbalik ke arahnya."Leo, seharusnya kau berdoa untukku, agar pernikahanku bahagia. Aku yakin, meskipun kau pernah menyakiti hatiku, masih ada hati nuranimu untuk melihatku berbahagia," sergah Barbara, lalu meninggalkan Leo yang masih berdiri menatapnya.Leo mengerti, ini bu
"Kamu sangat cantik," ucap Ovan mengomentari Barbara yang sedang merias wajahnya dengan beberapa polesan warna etnic di hadapan cermin. Memoles dengan warna dominan coklat gelap dan paduan silver sedikit berkilat. Wajah oval dan garis wajahnya yang tajam membuat kecantikan Barbara semakin menonjol. " Lagi memuji apa sedang menghina? Pagi pagi dah gombal," cicit Barbara menanggapi komentar Ovan."Serius, kau lebih cocok jadi model majalah kecantikan. Karena sepertinya kau sangat fotogenik. Kalau saja ada kesempatan, aku akan memperkenalkanmu dengan seorang teman fotografer majalah mode," katanya dengan senyum manis.Barbara tercenung, ucapan Ovan membuatnya sedikit gelisah. Bagaimanapun, Ovan memang tak tahu, bahwa sebenarnya ia pernah menggeluti dunia itu dulu saat masih sangat remaja, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Hanya saja ayahnya berharap ia serius menyelesaikan kuliah.Saat ia benar-benar menekuni pendidikannya dan meninggalkan dunia modeling untuk sementara waktu, kece
Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum
"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela
"Hentikan. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seorang pasien. Jangan lakukan hal seperti itu, ini hanya masalah privasi seorang pasien yang harus kujaga.""Tapi Dok, Vanessa adalah masa depan bagiku, bagaimana aku tak boleh mengetahui apapun? Bagaimana bisa seseorang menganggap ini kemanusiaan sementara aku harus merasa jadi orang yang tak berguna?!" Ovan bersikeras untuk mengetahui apa yang Vanessa alami sebenarnya.Melihat bagaimana Ovan sangat memohon dan terlihat bersungguh-sungguh, dokter itupun menyerah dan memberitahukan kondisi Vanessa."Saudara Ovan. Vanessa mengalami masa sulit dan menyakitkan dalam hidupnya. Gadis ini gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh. Kami para dokter dan juga perawat di rumah sakit ini, menaruh empati besar untuk Vanessa. Akan tetapi, jangan sampai rasa empati dan kasihan cenderung melemahkan mentalnya untuk melawan penyakit ini. Sejujurnya, kami tidak menceritakan apapun pada Vanessa perihal penyakitnya."Ovan mendengar dengan seksa
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Ovan berdiri di teras balkon kamar mereka. Waktu sudah menunjukkan dini hari, tapi Ovan tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, padahal tubuhnya sudah terasa letih. Untuk itu, ia memilih menyendiri di teras balkon dan menikmati melihat ponsel rahasia miliknya. Dengan tiga lapis kata sandi keamanan, Ovan membuka aplikasi pesan dan galeri miliknya di dalam ponsel.Seperti biasa, rasa rindu menyelimuti hatinya untuk bisa bertemu Vanessa. Akan tetapi ini tak akan mudah karena ia telah terikat pernikahan dengan Barbara. Sangat menyiksa, saat ia ingin tahu bagaimana kondisi Vanessa saat ini secara langsung, tapi itu sangat tak mungkin.Ia tak akan menyerah mendapatkan biaya pengobatan Vanessa, dan ia harus memperoleh uang itu dalam waktu dekat ini. Setidaknya ia bersyukur, operasi sudah akan dilakukan berkat pinjaman uang dari John, teman dekatnya di Australia.Melalui teman John yang berada di Belanda, ia mendapatkan pekerjaan dan bertemu Nyonya Vein,