Setelah pertemuan itu, Barbara dan juga Ovan semakin sering bertemu dan semakin akrab, hinggasuatu malam Ovan datang dengan banyak sekali hadiah untuknya. Barbara bahkan tak mengira dengan kejutan tersebut dan ia hanya merasa Ovan bermain main.
"Apa maksudmu, Ovan? Apa arti semua ini?" tanya Barbara menahan marah
"Barbara, aku sedang menyatakan perasaanku kepadamu. Aku menyukaimu, akan tetapi aku tahu mungkin ini tak mudah untukmu. Jangan kuatir, kau tak perlu merasa terbebani kalau memang harus menolakku," ujarnya sambil menatap mata Barbara dengan intens.
"Apakah ini tidak terlalu terburu-buru? Kita bahkan baru mengenal tiga bulan, tidakkah kau akan menyesal nantinya?"
"Aku sudah memikirkan segalanya, kau hanya perlu menerima dan mencoba menjalaninya bersamaku. Aku hanya menyukaimu, tak perduli apa yang terjadi di kemudian hari," kata Ovan meyakinkan.
Barbara yang sebenarnya terkejut, ia tak mengira Ovan akan menyatakan perasaannya, meskipun sebenarnya ia menyukai ini terjadi. Ia menggigit bibirnya, menatap lebih dalam manik Ovan untuk melihat kesungguhannya. Sungguh, dia trauma dengan Leo dan sungguh tidak percaya diri dengan keadaannya.
"Aku wanita cacat, Ovan. Kau tak perlu seperti ini."
"Kenapa? Bahkan wanita cacat sangat bisa mencintai bukan?" ucap Ovan tanpa ragu.
"Kau yakin?"tanya Barbara ragu.
"Tentu saja, atau kalau kau mau, aku akan langsung menikahimu saja. Bagaimana?"
Barbara semakin terkesima. Tiba-tiba hatinya melambung sangat jauh. "Jangan bercanda Ovan. Menikah bukanlah permainan."
"Apa kau tidak menyukaiku, Barbara? Apa aku tak sebanding dengan Leo mantan kekasihmu itu?"
Leo? Apakah Ovan tak sebanding dengan Leo? Tentu saja, Leo brengsek, tak akan bisa dibandingkan dengan Ovan. Pria ini cukup jantan untuk melamarnya langsung dan bersedia menikahinya meskipun cacat.
Leo bahkan hampir tak pernah menyinggung soal pernikahan. Barbara memikirkannya, tentu saja ia tidak ingin kehilangan pria sebaik Ovan.
"Aku menyukaimu, Ovan. Aku bersedia untuk menikah denganmu. Akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bukankah mereka akan kecewa dengan kondisiku ini? Bagaimana kau akan menjelaskan kepada mereka?"
"Keluargaku hanyalah tinggal kakek tua yang tidak bisa dimintai pendapat. Tak usah kuatir, ini hanyalah pada keputusanku sendiri." Ovan lalu memeluk Barbara erat, membelai puncak kepala Barbara dengan lembut sementara gadis itu menangis haru dalam pelukan Ovan.
Keduanya terlihat menikmati momen malam itu dengan suka cita, memberikan kecupan romantis yang membuat hati Barbara berbunga-bunga. Melupakan kesulitan hidupnya, melupakan pengkhianatan Leo dan juga Selen.
"Terima kasih, Ovan. Kau adalah pria yang akan menjadi sandaran hidupku," lirih Barbara dan Ovan terus memeluk dan membelai Barbara.
Sementara itu, Ovan juga tersenyum puas. Wajahnya diliputi kebahagiaan karena apa yang ia harapkan sungguh akan terwujud.'Aku pun berterima kasih, Barbara. Kau telah menolongku untuk mendapatkan keinginanku, terima kasih dan maaf," bisik Ovan dalam hati.
*****
"Menikah? Bukannya mau ke Belanda?" Lena meragukan penjelasan Anton, suaminya, tentang keputusan Barbara yang urung ke Belanda dan bahkan akan segera menikah dengan Ovan.
Itu artinya, kehidupan Lena masih akan sama dengan hari hari sebelumnya, kan? Apakah dia akan selalu berhadapan dengan Barbara?
"Kenapa? Bukankah seharusnya kau senang karena Barbara akan mendapatkan seorang pendamping yang bisa membimbing hidupnya?"
"Masalahnya, mereka akan menempati rumah ini, dan aku masih harus bersikap waspada dengan Barbara."
"Jadi, kau merasa Barbara adalah musuh dalam hidupmu? Haruskah kita bercerai, Lena?" kata Anton dengan tenang, sembari membolak balik halaman sebuah buku di tangannya.
Lena terkejut bukan main. Bagaimana mungkin Anton mengatakan hal semacam itu, rela bercerai demi Barbara.
"Anton?!"
"Kau tahu, aku memiliki keturunan seorang anak saja, bahkan kau tak bisa melahirkan untukku. Aku ingin mewariskan seluruh hartaku untuk Barbara dan cucu cucuku kelak, kau harus tahu tempatmu Lena. Kalau kau diam dan bertahan, maka kau juga yang diuntungkan," jawab Anton dengan sangat transparan.
Lena hanya bisa menitikkan air matanya saat pria itu pergi meninggalkan dirinya keluar ruangan. Sementara itu, Anton melihat Barbara di halaman belakang sedang merangkai bunga. Pria itu tersenyum melihat gadisnya kembali ceria.
Sejak kecelakaan yang melumpuhkan kakinya, baru sekarang ia melihat Barbara terlihat sangat bahagia.
"Kau sudah benar-benar siap sepertinya, Barbara. Apa kau bahagia?" tanya Anton antusias.
"Ouh, Papa, aku senang karena ada seorang pria yang terlihat sangat menghargai seorang wanita. Aku merasa dia lebih hebat dari Papa."
"Benarkah? Papa tak sekeren dia sih waktu muda," seloroh papanya.
"Hmm, aku tahu, Papa terlihat kuno di foto papa waktu muda."
"Aah, itu kan karena efek kameranya saja yang belum modern. Sebenarnya nggak juga berbeda jauh kok soal penampilan."
Barbara tertawa terpingkal-pingkal dengan gaya papanya yang bertingkah sok keren. "Tapi, Pa. Apakah nantinya, dia bisa bekerja di perusahaan kita? Aku ingin dia bekerja satu divisi denganku."
"Tak masalah, Papa sudah memikirkannya. Sepertinya dia seorang yang cerdas, kurasa sangat cocok dengan bagian itu."
"Oh, iya. Kami akan menikah di hadapan kerabat dekat dahulu, Pa. Setelah kaki kiriku benar benar pulih, kita bisa merayakannya kembali dengan pesta yang meriah,"
Sekali lagi, Anton mengangguk setuju.
#Sementara itu, Leo sedang bersama beberapa temannya sedang berkumpul di sebuah club malam. Leo dan Darn berbincang-bincang tentang kondisi club milik Darn yang semakin ramai.
"Kau makin sukses Darn. Club kamu cukup booming di kalangan anak muda."
"Nggak cuma, anak muda. Pria dewasa juga makin banyak yang datang, dan bahkan nyonya kesepian sering mampir juga."
"Gila, apa ada bisnis sampingan di club kamu ini?" tanya Leo penasaran.
"Aku sih nggak menjalankan bisnis kayak begitu, tapi entah kalau mereka. Aku cuma fasilitas hiburan aja, dan jual minuman kesukaan mereka."
"Gila! Omset kamu pasti gila!" pekik Leo.
"Nggak juga, ini nggak seberapa dibandingkan suntikan dana dari papaku," jawab Darn senyum senyum.
Leo mengedarkan pandangannya, hingga melihat sosok pria yang sering menjadi perbincangan di kampusnya. Pria itu sangat populer di kalangan para gadis karena terkenal tampannya, dan juga pria itu akan menikahi Barbara tak lama lagi. Dia Ovan!
"Kau kenal siapa dia?" tunjuk Leo pada pria yang sedang duduk bersama seorang wanita.
"Oh, si Pangeran."
"Pangeran? Kau kenal dia?"
"Nggak juga, tapi dia sering kesini sama cewek berbaju hijau itu, denger denger sih itu sugar mommy nya."
"Kau bercanda ya? Kau yakin Pangeran itu seperti seperti yang kau katakan?"
Leo terus memperhatikan gerak gerik pria yang jadi perhatiannya. Akan tetapi sepertinya keterangan Darn sangat sesuai. Tak lama kemudian, si wanita bergelayut manja di lengan Pangeran, yang ia kenal sebagai Ovan di kampus.
"Leo, apa kau mengenalnya? Dia memang pria piaraan nyonya nyonya jablai. Aku dengar dia masih kuliah juga dan cukup cerdas. Ah, itukan privasi orang, untuk apa kita ngurusin."
Leo mengepalkan tinjunya. Hal yang paling membuat dirinya khawatir adalah Barbara yang sekarang telah menjalin hubungan dengan Ovan.
"Sial!" gumam Leo marah, "Aku tak akan membiarkan kau menyakiti hati Barbara setelah apa yang terjadi."
Leo kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Ovan.
"Leo? Mau ke mana?" Darn memanggilnya, tapi Leo terus menerobos pengunjung yang sedang berdesakan. Hiruk-pikuk DJ yang mendominasi ruangan membuat Leo kesulitan menuju tempat Ovan berada.
"Membuat perhitungan!"
Sialnya, saat ia berhasil mendekati tempat tersebut, Ovan sudah tidak berada di tempat itu lagi."Sialan! Ke mana kau sekarang?!" kesalnya dan iapun berlari menuju pintu keluar, mencari kemana kemungkinan kedua orang itu pergi.Hingga kakinya sampai di ruang parkir bertepatan dengan Ovan yang memasuki sebuah mobil bersama seorang wanita tadi."Brengsek!!" Leo mengumpat dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barbara. Akan tetapi panggilannya ditolak dan bahkan sepertinya nomornya telah diblokir Barbara."Barbara, kenapa kau tak mengangkat panggilanku? Atau kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah gigolo? Hah! Kau sangat buruk Barbara, bagaimana bisa kau juga menyewa gigolo hanya untuk membuatku cemburu? Kau ketahuan, Barbara, kau ketahuan...," Leo berceloteh, berbicara sendiri dengan segala kemungkinan kenapa Barbara menjalin hubungan dengan pria sejenis Ovan."Baiklah, aku akan mempercayai bahwa kau masih mencintaiku, tapi haruskah kau melakukannya demi membuatku cemburu? Tapi
Belum sempat Leo mengatakan apapun, seseorang memasuki toilet karena mencari keberadaan Barbara."Barbara, suamimu mencarimu kemana mana, kenapa lama sekali di toilet?""Ehmm, Sebentar lagi, bibi. Aku akan segera kembali," ucap Barbar. Setelah wanita itu pergi, Barbara menatap kesal pada Leo yang bersembunyi."Leo, pergilah dari tempat ini. Aku sudah menikah sekarang ini. Berhentilah untuk melakukan hal-hal yang semakin menyakiti perasaanku, Leo. Please."Ditatap seperti itu, hati Leo menjadi sakit. Ia tak tahu lagi apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang ini. Barbara memohon untuk ia tidak menyakiti hatinya lagi.Dalam termangu, Berbara beranjak dari hadapannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dan tiba-tiba Barbara berbalik ke arahnya."Leo, seharusnya kau berdoa untukku, agar pernikahanku bahagia. Aku yakin, meskipun kau pernah menyakiti hatiku, masih ada hati nuranimu untuk melihatku berbahagia," sergah Barbara, lalu meninggalkan Leo yang masih berdiri menatapnya.Leo mengerti, ini bu
"Kamu sangat cantik," ucap Ovan mengomentari Barbara yang sedang merias wajahnya dengan beberapa polesan warna etnic di hadapan cermin. Memoles dengan warna dominan coklat gelap dan paduan silver sedikit berkilat. Wajah oval dan garis wajahnya yang tajam membuat kecantikan Barbara semakin menonjol. " Lagi memuji apa sedang menghina? Pagi pagi dah gombal," cicit Barbara menanggapi komentar Ovan."Serius, kau lebih cocok jadi model majalah kecantikan. Karena sepertinya kau sangat fotogenik. Kalau saja ada kesempatan, aku akan memperkenalkanmu dengan seorang teman fotografer majalah mode," katanya dengan senyum manis.Barbara tercenung, ucapan Ovan membuatnya sedikit gelisah. Bagaimanapun, Ovan memang tak tahu, bahwa sebenarnya ia pernah menggeluti dunia itu dulu saat masih sangat remaja, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Hanya saja ayahnya berharap ia serius menyelesaikan kuliah.Saat ia benar-benar menekuni pendidikannya dan meninggalkan dunia modeling untuk sementara waktu, kece
Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum
"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela
"Hentikan. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seorang pasien. Jangan lakukan hal seperti itu, ini hanya masalah privasi seorang pasien yang harus kujaga.""Tapi Dok, Vanessa adalah masa depan bagiku, bagaimana aku tak boleh mengetahui apapun? Bagaimana bisa seseorang menganggap ini kemanusiaan sementara aku harus merasa jadi orang yang tak berguna?!" Ovan bersikeras untuk mengetahui apa yang Vanessa alami sebenarnya.Melihat bagaimana Ovan sangat memohon dan terlihat bersungguh-sungguh, dokter itupun menyerah dan memberitahukan kondisi Vanessa."Saudara Ovan. Vanessa mengalami masa sulit dan menyakitkan dalam hidupnya. Gadis ini gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh. Kami para dokter dan juga perawat di rumah sakit ini, menaruh empati besar untuk Vanessa. Akan tetapi, jangan sampai rasa empati dan kasihan cenderung melemahkan mentalnya untuk melawan penyakit ini. Sejujurnya, kami tidak menceritakan apapun pada Vanessa perihal penyakitnya."Ovan mendengar dengan seksa
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Ovan berdiri di teras balkon kamar mereka. Waktu sudah menunjukkan dini hari, tapi Ovan tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, padahal tubuhnya sudah terasa letih. Untuk itu, ia memilih menyendiri di teras balkon dan menikmati melihat ponsel rahasia miliknya. Dengan tiga lapis kata sandi keamanan, Ovan membuka aplikasi pesan dan galeri miliknya di dalam ponsel.Seperti biasa, rasa rindu menyelimuti hatinya untuk bisa bertemu Vanessa. Akan tetapi ini tak akan mudah karena ia telah terikat pernikahan dengan Barbara. Sangat menyiksa, saat ia ingin tahu bagaimana kondisi Vanessa saat ini secara langsung, tapi itu sangat tak mungkin.Ia tak akan menyerah mendapatkan biaya pengobatan Vanessa, dan ia harus memperoleh uang itu dalam waktu dekat ini. Setidaknya ia bersyukur, operasi sudah akan dilakukan berkat pinjaman uang dari John, teman dekatnya di Australia.Melalui teman John yang berada di Belanda, ia mendapatkan pekerjaan dan bertemu Nyonya Vein,
"Apakah kisah kita juga termasuk yang unik?" kali ini Risa berkata sambil senyum-senyum."Kita? Apa kau sungguh mencintaiku?""Jawab saja pertanyaanku!"Drett dreett dreett!Ponsel Dave berdering dan pria itu lalu mengambil ponsel di sakunya.["Halo, ada apa?"]["Kenapa galak begitu? Aku mengganggumu?"]["Tidak, tapi kau merusak aktifitasku."]["Oh sayangku, tapi hari ini kau harus segera datang karena ini sangat penting, Dave."]["Barbara, kau selalu saja menganggap penting masalahmu. Kau bisa bilang dari sekarang, ada apa dan kenapa kami harus datang?"]["Terserah, kau harus datang! Titik!"]Klep!"Siapa?" Risa bertanya."Siapa lagi kalau bukan saudara perempuanku yang bawel itu, heh?" kata Dave, tapi dia malah tersenyum. "Bersiaplah, kita harus datang ke rumah mereka."Tak ada jawaban, Risa hanya bergegas sesuai kata Dave. Di rumah Anton Bagaskara, mereka berkumpul dengan aneka macam hidangan. Mereka dengan sengaja mengundang Dave dan Risa dan juga Veina.Anton Bagaskara terlihat
Pagi mulai merayap memancarkan sinarnya. Dari setiap asa yang terbersit, selalu ada cara untuk menempuh harapan yang ingin ia wujudkan.Harapan terbesar yang hampir ingin dicapai manusia adalah mereka ingin menikmati bahagia di hari ini.Doa dilantunkan, dipanjatkan demi mengharapkan takdir yang baik untuk dirinya dan orang yang dicintainya.Siapa yang tak ingin bahagia?Mustahil bagi manusia untuk berharap tidak bahagia.Akan tetapi pada sebagian hidup yang ia jalani, ia harus menempuh ujian sampai ia akan tahu di akhir ujian itulah kebahagiaan yang sebenarnya.Bahagia itu relatif, demikian kata sebagian orang.Seorang yang membutuhkan uang, ia akan bahagia saat mendapatkan uang yang ia inginkan.Seorang yang membutuhkan kasih sayang, maka ia akan mengharapkan kasih sayang dan cinta dan ia akan bahagia karenanya.Sebagian orang memilih untuk tidak perduli dengan pencapaian orang lain, ia merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, bersyukur dengan apa yang ia miliki.Ia menutup ma
"Maafkan Ceila, Bu. Dia sedikit takut," kata Risa dengan memeluknya."Takut? Apa ini? Kenapa dia harus takut denganku?" heran Veina."Mom, kau memang menakutkan, Ceila kan belum mengenalmu, jadi wajar kalau dia takut dengan wajah seram Mommy," kata Dave kemudian, dia berbicara dengan sedikit mengulas senyum."Apa apaan, kau omong kosong ya?"Risa ikut tersenyum karena kelakuan Dave yang menggoda ibunya."Masalah ini sedikit rumit menjelaskannya, Bu. Yang jelas Ceila tahu Ibu baru di penjara seperti ibunya."Veina merenungkannya, Risa mungkin sedang mengatakan kalau Ceila memiliki traumatis bahkan saat bertemu dirinya."Baiklah, aku bisa mengerti. Padahal aku sangat ingin memeluk cucu Perempuanku, eh, kenapa sampai takut begitu...ufh," keluhnya. "Tapi, cepatlah berkumpul bersama Barbara, kita harus punya foto kenangan yang bagus, oke?""Baik, Bu."Risa akhirnya membujuk Ceila untuk berkumpul bersama keluarga dan mengatakan bahwa Selen tidak mungkin ada di tempat pesta tersebut. Ia sung
"Anu...kamu sekarang...""Ya, tentu saja aku harus ada di sini, ini adalah pernikahan putriku. Bagaimana kabar kalian, apakah semua baik?""Iya... tentu saja kami baik. Dan kamu, apakah menetap di sini sekarang? Aku dengar kamu ada di Belanda.""Benar, aku memang di Belanda kemarin, tapi sekarang aku akan menetap di sini.""Di rumah ini?" kata salah seorang menyahut."Tidak. Sekarang aku masih dalam masa tahanan, tapi kalau sudah bebas nanti, aku mungkin akan membeli rumah di sekitar sini.""Apa maksudmu dalam masa tahanan? Apa kau.... melakukan kejahatan?" tanya salah satunya ragu, sementara yang lain saling melihat. Mereka makin memperhatikan penampilan Veina yang sangat mewah dan mencolok, memangnya kejahatan apa yang dia perbuat?Pandangan mata mereka mulai berubah canggung, sepertinya ada sedikit rasa takut pada Veina."Jangan kuatir, aku bukan pembunuh kecuali dengan terpaksa," kata Veina dengan tersenyum yang membuat para wanita itu semakin gugup.Saat itu Lena juga ikut mendek
Warna bahagia meliputi suasana sebuah aula pertemuan milik Anton Bagaskara. Gedung megah itu memiliki kesibukan yang tak biasa pada hari itu.Penjagaan ketat di berbagai tempat samasekali tidak menghilangkan suasana rileks dan bersahabat menyambut siapapun yang hadir dalam undangan pernikahan Ovan dan Barbara.Bahkan saat mereka melihat semakin ke dalam, maka mereka akan menyaksikan lebih banyak keindahan dan suasana bahagia yang semakin kentara."Aku merasa gaun ini menonjolkan bentuk perutku yang semakin besar, suamiku. Apa ini masih enak dilihat? Jangan salah faham, aku bukan malu karena hamil, tapi aku kasihan kalau sampai desainer pakaian ini kecewa saat melihatku dalam bentuk tubuh seperti ini," katanya.Ovan hanya tersenyum geli karena Barbara malah sangat gugup dengan bentuk tubuhnya."Kau memang sangat jelek sekarang ini. Tapi itu sih bukan salahku."Mendengar jawaban Ovan yang tak memiliki beban itu Barbara jadi sangat kesal."Kau bilang tak bersalah? Baiklah, aku akan memba
Persidangan berjalan sangat lancar. Sebab, tidak ada bantahan baik itu Selen atau Leo dalam menanggapi dakwaan hakim. Mereka hanya pasrah dan menunduk dalam atas semua yang mereka dengar.Percuma saja melawan, toh semuanya sudah ketahuan."Dengan ini, maka pengadilan hukum pidana memutuskan untuk Nyonya Selen mendapatkan hukuman pidana selama dua belas tahun karena percobaan pembunuhan terhadap sahabatnya sendiri, dan denda senilai lima ratus juta rupiah atas kerusakan yang telah ditimbulkan."Tok Tok Tok!Suara riuh menggema di dalam ruangan tersebut. Mereka senang dengan keputusan hakim atas Selen."Selain itu, kami juga memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Saudara Leo selama sepuluh tahun penjara karena telah menyembunyikan bukti dan percobaan pelecehan kepada saudara Barbara."Tok Tok Tok!Kembali suara riuh ruangan itu menggema atas apa yang mereka dengar dari keputusan hakim.Tidak ada lagi keberatan yang akan mereka, Leo dan Selen sampaikan kecuali pasrah dengan putusan
Dave sedikit terkesima, ia melupakan sosok kecil putrinya yang mungkin akan terluka saat melihat Selen mendapatkan hujatan di pengadilan nanti. Ia tak seharusnya membiarkan Ceila menyaksikan hal itu."Kau benar, kurasa kita tidak perlu datang dan mengikuti jalannya pengadilan. Lebih baik kita pergi bersama ke suatu tempat untuk rekreasi. Aku akan mengatakan hal ini pada Barbara dan meminta maaf.""Atau sebaiknya kau saja yang datang? Aku akan menjaga Ceila dan tidak menyinggung hal ini. Jangan sampai Ceila sedih karenanya."Dave berpikir sebentar, ia juga penasaran soal jalannya pengadilan, tapi juga ingin menghabiskan waktu bersama Risa dan Ceila alih-alih melihat mantan kekasihnya yang menyedihkan."Dave, kau melamun?""Eh, bukan begitu. Aku sedang berpikir kalau Ceila sampai melihat hal semacam itu, pastilah akan menjadi traumatis di hari akan datang."***Keesokan harinya, mereka memang sudah sangat ramai berkumpul di pengadilan. Antusias kerabat Barbara terlihat memenuhi teras pe
"Wow, kenapa kalian tidak memanggil kami? Kami bisa saja datang ke sana dan membalas perbuatan mereka.""Hentikan omong kosong kamu Dave! Ovan sudah menyerahkan semuanya pada polisi, nggak perlu repot-repot. Kau hanya perlu mengangkat semua tas itu, oke?"***"Baik, karena semua sudah berkumpul, mari kita melanjutkan pembicaraan kita soal pesta pernikahan Barbara dan Ovan.. Aku ingin pesta pernikahan ini dibuat sangat meriah dan berkesan.""Tunggu! kenapa pernikahan ini diselenggarakan tanpa keluarga Ovan? Ini sangat tak biasa," protes bibi Barbara. "Bukan tak percaya, tapi ..""Bibi, mereka punya tempat tinggal yang sangat jauh. Mereka sangat kesulitan. Toh orang tua Ovan telah tiada, untuk apa memaksakan diri?" jawab Barbara sedikit berbohong. "Barbara, apakah semua baik-baik saja? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di sana?"Barbara menarik tangan Lena dan membawanya ke kamar miliknya."Bu, aku tidak bisa menceritakan semuanya sekarang ini. Akan tetapi aku pasti akan menceritakan
Ovan yang sudah kembali dengan banyak makanan di kantong belanjanya melihat Barbara terlihat sangat pucat."Sayang, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat sangat pucat. Ada apa?"Barbara tak menjawab, ia hanya memberikan isyarat untuk Ovan melihatnya dengan menunjuk ke arah Laptop."Apa yang terjadi?"Pria itupun masuk ke mobil dan melihat laptopnya.Ovan sangat terkejut karena melihat serombongan orang menyusup ke dalam rumahnya. Bukan satu atau dua orang, tapi ada sekitar tujuh orang pria. Mereka sungguh mengincar apa yang ia miliki. Terlihat beberapa orang berjaga dan yang lainnya memeriksa kotak perhiasan. Mereka sungguh perampok dengan persenjataan lengkap berupa senapan dan senjata tajam. Semua fenomena itu, persis seperti apa yang ia takutkan.Itulah sebabnya ia tidak mau mengambil resiko nyawa, tidak akan!"Kau sudah melihatnya bukan? Kau bisa melihat betapa kejamnya mereka ini. Bahkan dengan apa yang mereka lakukan itu tidak seorangpun yang bisa melarangnya. Aku sangat yakin me