Sialnya, saat ia berhasil mendekati tempat tersebut, Ovan sudah tidak berada di tempat itu lagi.
"Sialan! Ke mana kau sekarang?!" kesalnya dan iapun berlari menuju pintu keluar, mencari kemana kemungkinan kedua orang itu pergi.
Hingga kakinya sampai di ruang parkir bertepatan dengan Ovan yang memasuki sebuah mobil bersama seorang wanita tadi.
"Brengsek!!" Leo mengumpat dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barbara. Akan tetapi panggilannya ditolak dan bahkan sepertinya nomornya telah diblokir Barbara.
"Barbara, kenapa kau tak mengangkat panggilanku? Atau kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah gigolo? Hah! Kau sangat buruk Barbara, bagaimana bisa kau juga menyewa gigolo hanya untuk membuatku cemburu? Kau ketahuan, Barbara, kau ketahuan...," Leo berceloteh, berbicara sendiri dengan segala kemungkinan kenapa Barbara menjalin hubungan dengan pria sejenis Ovan.
"Baiklah, aku akan mempercayai bahwa kau masih mencintaiku, tapi haruskah kau melakukannya demi membuatku cemburu? Tapi, kenapa harus sampai menikah? Ataukah pernikahan itu palsu?"
Asumsi Leo masih dalam lingkup hubungan mereka yang terpaksa berakhir karena orang ketiga. Ia tahu ia telah bersalah karena mengkhianati Barbara. Pada akhirnya Leo justru melihat banyak hal dari diri Selen yang tidak disukainya. Di sisi lain ia sangat pengecut karena tidak bisa menerima keadaan Barbara yang menjadi lumpuh. Ia takut Barbara sungguh akan lumpuh selamanya.
"Baiklah, aku harus menemuimu besok, Barbara. Kau harus percaya padaku untuk kali ini, kau tak boleh terluka untuk kedua kalinya. Maafkan aku, maafkan aku yang telah menyakiti perasaanmu selama ini," lirih Leo sembari kembali ke mobilnya dengan lemah.
Ia akan kembali ke Jakarta dan menemui Barbara esok hari. Untuk itu ia harus melakukan perjalanan panjang dari Bandung ke Jakarta meski hari sudah menjelang pagi.
Setelah istirahat satu jam lamanya, Leo bangun untuk mandi. Ia akan menemui Barbara siang ini di rumahnya.
Dengan tekad yang kuat, ia merasa apa yang ia lakukan adalah kebenaran. Andai Barbara sudah tahu kalau Ovan adalah gigolo, maka ia akan menyerahkan urusan itu dan tidak ikut campur. Hanya saja yang Leo takutkan adalah bahwa Barbara ditipu oleh pria brengsek itu.
"Meskipun aku berkhianat, aku bukan lelaki hidung belang yang bersikap murahan dengan menjual diriku. Aku tak akan membiarkan orang seperti Ovan menikahimu Barbara," tekatnya.
Leo melaju, mengumpulkan keberanian untuk menemui Barbara di rumahnya.
*****
"Mas Leo, apa mas Leo juga diundang?" tanya Inem, pembantu Barbara di rumah itu, Inem sangat tahu hubungan Leo dengan Barbara yang telah kandas.
"Hmm, maksudmu apa Nem?" bingung Leo.
"Loh, Non Barbar lagi di Bandung loh Mas, akad nikah rencana malam ini, saya kira Mas Leo di undang di acaranya. Tapi nggak di sini Loh, Mas."
"Apa katamu? Di Bandung? Akad Nikah?"
"Iya, di Villa Hijau."
Tanpa mendengar penjelasan Inem selanjutnya, Leo segera meninggalkan wanita tersebut dan menuju mobilnya. Ia sudah semakin kacau sekarang ini, tak mungkin Barbara menikah malam ini bukan?
Sementara itu, Barbara kini tersenyum saat melihat Ovan datang dengan pakaian rapi berupa setelan jas berwarna merah maroon. Warna itu sangat cocok untuknya. Di sampingnya, seorang wanita bertubuh sintal dan berusia tak jauh darinya menggandengnya, membawa Ovan lebih dekat kepadanya.
"Apakah kau Barbara? Aku Nancy, kakak angkat Ovan yang tinggal di Bandung."
"Hmm, benarkah? Kenapa kau tak pernah cerita kalau punya kakak angkat yang sangat cantik begini?" Barbara menyambut wanita itu dengan seloroh menggoda Ovan.
"Hmm, toh kau sudah berkenalan juga akhirnya."
"Yah, kau benar. Mungkin saja karena hubungan kita terlalu singkat dan tiba-tiba menikah," balas Barbara sambil berpikir.
"Kau pintar cari istri, Ovan. Wanita ini memang seperti boneka Barbie yang cantik, apalagi kalau sudah dengan gaun seperti ini," puji Nancy mengagumi Barbara.
Suasana akrab meliputi mereka dan seluruh keluarga sudah berkumpul untuk menyaksikan acara pernikahan sederhana Barbara dan Ovan.Sangat hikmat dan sangat mudah, Ovan akhirnya menikahi Barbara. Kebahagiaan terlihat mewarnai suasana malam itu.
"Barbara...."
"Leo? Kau...kau di sini?" Barbara sangat terkejut dengan kehadiran Leo di hari pernikahannya. Padahal Barbara sengaja tak mengundang siapapun teman kampus mereka, apalagi mantan kekasihnya.
"Barbie, ada sesuatu yang harus kukatakan kepadamu," ucap Leo setengah berbisik. Leo sengaja datang secara diam diam untuk bisa menemui Barbara tanpa sepengetahuan Ovan. Secara kebetulan, Barbara pergi ke toilet sebentar.
"Apa maksudmu, kau, kenapa kau menemuiku seperti ini? Orang akan salah faham dengan kehadiranmu di sini," gusar Barbara.
"Maaf, tapi ini sangat penting, Barbara. Please, hentikan pernikahan ini, kau tak bisa menikahi Ovan brengsek ini."
"Brengsek? Bagaimana denganmu? Kau bahkan berselingkuh dengan sahabatku sendiri, Leo. Kau yang terburuk dalam hidupku!"
"Please, dengarkan aku sekali ini saja. Dia---"
Belum sempat Leo mengatakan apapun, seseorang memasuki toilet karena mencari keberadaan Barbara."Barbara, suamimu mencarimu kemana mana, kenapa lama sekali di toilet?""Ehmm, Sebentar lagi, bibi. Aku akan segera kembali," ucap Barbar. Setelah wanita itu pergi, Barbara menatap kesal pada Leo yang bersembunyi."Leo, pergilah dari tempat ini. Aku sudah menikah sekarang ini. Berhentilah untuk melakukan hal-hal yang semakin menyakiti perasaanku, Leo. Please."Ditatap seperti itu, hati Leo menjadi sakit. Ia tak tahu lagi apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang ini. Barbara memohon untuk ia tidak menyakiti hatinya lagi.Dalam termangu, Berbara beranjak dari hadapannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dan tiba-tiba Barbara berbalik ke arahnya."Leo, seharusnya kau berdoa untukku, agar pernikahanku bahagia. Aku yakin, meskipun kau pernah menyakiti hatiku, masih ada hati nuranimu untuk melihatku berbahagia," sergah Barbara, lalu meninggalkan Leo yang masih berdiri menatapnya.Leo mengerti, ini bu
"Kamu sangat cantik," ucap Ovan mengomentari Barbara yang sedang merias wajahnya dengan beberapa polesan warna etnic di hadapan cermin. Memoles dengan warna dominan coklat gelap dan paduan silver sedikit berkilat. Wajah oval dan garis wajahnya yang tajam membuat kecantikan Barbara semakin menonjol. " Lagi memuji apa sedang menghina? Pagi pagi dah gombal," cicit Barbara menanggapi komentar Ovan."Serius, kau lebih cocok jadi model majalah kecantikan. Karena sepertinya kau sangat fotogenik. Kalau saja ada kesempatan, aku akan memperkenalkanmu dengan seorang teman fotografer majalah mode," katanya dengan senyum manis.Barbara tercenung, ucapan Ovan membuatnya sedikit gelisah. Bagaimanapun, Ovan memang tak tahu, bahwa sebenarnya ia pernah menggeluti dunia itu dulu saat masih sangat remaja, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Hanya saja ayahnya berharap ia serius menyelesaikan kuliah.Saat ia benar-benar menekuni pendidikannya dan meninggalkan dunia modeling untuk sementara waktu, kece
Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum
"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela
"Hentikan. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seorang pasien. Jangan lakukan hal seperti itu, ini hanya masalah privasi seorang pasien yang harus kujaga.""Tapi Dok, Vanessa adalah masa depan bagiku, bagaimana aku tak boleh mengetahui apapun? Bagaimana bisa seseorang menganggap ini kemanusiaan sementara aku harus merasa jadi orang yang tak berguna?!" Ovan bersikeras untuk mengetahui apa yang Vanessa alami sebenarnya.Melihat bagaimana Ovan sangat memohon dan terlihat bersungguh-sungguh, dokter itupun menyerah dan memberitahukan kondisi Vanessa."Saudara Ovan. Vanessa mengalami masa sulit dan menyakitkan dalam hidupnya. Gadis ini gadis yang kuat dan tak pernah mengeluh. Kami para dokter dan juga perawat di rumah sakit ini, menaruh empati besar untuk Vanessa. Akan tetapi, jangan sampai rasa empati dan kasihan cenderung melemahkan mentalnya untuk melawan penyakit ini. Sejujurnya, kami tidak menceritakan apapun pada Vanessa perihal penyakitnya."Ovan mendengar dengan seksa
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Ovan berdiri di teras balkon kamar mereka. Waktu sudah menunjukkan dini hari, tapi Ovan tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, padahal tubuhnya sudah terasa letih. Untuk itu, ia memilih menyendiri di teras balkon dan menikmati melihat ponsel rahasia miliknya. Dengan tiga lapis kata sandi keamanan, Ovan membuka aplikasi pesan dan galeri miliknya di dalam ponsel.Seperti biasa, rasa rindu menyelimuti hatinya untuk bisa bertemu Vanessa. Akan tetapi ini tak akan mudah karena ia telah terikat pernikahan dengan Barbara. Sangat menyiksa, saat ia ingin tahu bagaimana kondisi Vanessa saat ini secara langsung, tapi itu sangat tak mungkin.Ia tak akan menyerah mendapatkan biaya pengobatan Vanessa, dan ia harus memperoleh uang itu dalam waktu dekat ini. Setidaknya ia bersyukur, operasi sudah akan dilakukan berkat pinjaman uang dari John, teman dekatnya di Australia.Melalui teman John yang berada di Belanda, ia mendapatkan pekerjaan dan bertemu Nyonya Vein,
Beberapa saat lamanya lidah Ovan terasa kelu. Sorot mata Barbara terlihat memohon dengan sangat. "Jelaskan padaku, apa yang harus kubenci darimu dan apa yang seharusnya membuatku mencintaimu?" Barbara terus memandangi Ovan begitu intens.Ovan tak berdaya, ia tak mungkin mengatakan dengan jujur. Jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia tak berhak menyakiti hati Barbara. Entahlah dorongan dari mana tiba tiba Ovan menyentuh bibir Barbara dengan bibirnya. Melumatnya dengan pagutan yang memburu. Begitu juga Barbara yang tak tahu lagi, apakah maksud ciuman panas yang Ovan lakukan. Ia hanya mengikuti keinginan Ovan untuk melakukannya. Toh Ovan adalah suaminya, ia seharusnya melakukan sejak hari sebelumnya.Suara napas tersengal-sengal tenggelam dalam suara hujan yang turun dengan derasnya. Hampir saja Ovan melupakan apa tujuan dirinya menikahi Barbara. Lalu ia tersadar, ia telah melangkah terlalu jauh meskipun baru di pekan pertama mereka menikah. 'Sampai kapan aku bertahan, Barbie," bisik ha