Barbara sedikit ragu. Ia sama sekali tak mengenali pria tersebut.
"Tapi...."
"Kamu Barbara, kan? Tenang, aku hanya ingin membantu. Kebetulan mobilku lagi di bengkel, ayo bareng naik taksi kalau kamu mau."
Mata Barbara terus menatapnya ragu.
"Kenapa? Takut aku culik? Aku juga mahasiswa di sini, lagian banyak saksi kalau kita naik bareng. Ayo, buruan! Di sini bukan tempat pemberhentian taksi, loh."
Barbara menoleh ke sekitar. Bodohnya ia tak pernah tahu kalau area tersebut tidak untuk pemberhentian. Pantas saja tak satu taksi pun berhenti saat disetop. Akhirnya iapun menuruti tawaran tersebut dan pria tersebut membantunya untuk turun dari kursi roda juga melipatnya dengan baik. Dengan sabar pria itu membantu Barbara duduk di bangku taksi.
"Terima kasih," kata Barbara membalas kebaikan sang pria.
"Nggak usah sungkan. Lain kali kita pulang bareng saja kalau sopirmu tak menjemput. Toh kita satu arah."
Barbara lega, seperti pria ini cukup baik dan ramah.
"Namaku Ovan, aku masih baru di sini."
"Eum, aku Barbara."
"Aku tahu, kau sangat populer di kampus."
Barbara menanggapi hanya dengan senyuman, ia tahu kalau ia cukup populer. Tapi ia akan senang kalau dikenal karena sombong atau karena perubahan yang ada pada tubuhnya.
****
Mereka mengobrol ringan dan sesekali tertawa bersama, hingga tak terasa telah sampai di depan rumah Barbara. Ya, Barbara akhirnya memutuskan untuk pulang bersama pria baik hati itu yang ternyata bernama Ovan.
"Terima kasih tumpangannya, semoga saja aku bisa membalas kebaikanmu," kata Barbara.
"Sama sama, dan aku akan menghubungimu segera, oke?"
"Hmm, baiklah."
Barbara tersenyum senang, ternyata ada juga tersisa manusia yang bersikap baik kepadanya di kampus. Sejak tiga bulan ia kembali ke kampus, ia bahkan tak memiliki seorang teman yang bisa berbincang akrab dengannya. Akan tetapi, Ovan bahkan bersikap sangat manis kepadanya.
Sangat menyakitkan baginya juga bila harus bergabung dengan komunitas disabilitas saat sebelumnya ia tak pernah membayangkan akan menjadi penyandang disabilitas. Butuh perjuangan keras untuk meyakinkan dirinya lalu menerima kenyataan ini. Sangat menyajikan saat tatapan mata merendahkan dirinya yang hanya bisa memutar roda dengan payah sementara yang lain berjalan dengan bebas. Tapi Ovan, pria itu terlihat tak memperdulikan keadaan dirinya yang cacat. Seolah itu bukanlah apa-apa. Dan bahkan Ovan berjanji akan menemuinya besok pagi sebelum berangkat ke kampus.
Dengan hati yang bahagia, Barbara menuju pintu rumahnya. Lalu iapun mengganti kursi roda dengan tongkat penyangga berjalan miliknya untuk kemudian memasuki rumah.
"Hei, kenapa harus memaksakan diri berangkat kuliah, kaki saja sudah seperti kaki meja, mendingan berhenti saja kuliah?"
Barbara tentu sudah faham suara wanita yang baru saja mengomel itu. Ia tak mau ambil pusing dan tidak sedikitpun menggubris.
"Seharusnya kau ikut mamamu saja di Belanda. Aahh, kurasa wanita seperti mamamu itu juga tak akan mau mengurusi anak cacat sepertimu." Kali ini, Barbara merasa panas sekujur tubuhnya. Segera, ia menatap ibu tirinya dengan tatapan menghujam.
"Nyonya Lena, tak usah takut, aku memang akan menemui mama segera. Akan tetapi tentu saja aku akan membawa papa ikut serta dan kembali menjadi suami mamaku," balas Barbara sinis.
"Ha ha ha, mana mungkin papa kamu mau balikan sama mamamu yang tak tahu diri itu. Kau tahu sendiri bagaimana papa kamu membencinya."
"Tentu saja aku tahu, itu karena mama tak cukup baik menjadi ibu bagiku. Akan tetapi apa sih bedanya ibu tiri ku sekarang ini? Kalau mama, sejelek apapun, dia adalah ibuku. Kalau kamu? Kamu hanya numpang hidup di sini!" ketus Barbara sengit.
"Dasar anak keterlaluan!" Lena, istri ayah Barbara merasa kesal mendapatkan bantahan sengit dari Barbara. Wanita cantik itu melangkah maju dan mengangkat tangannya hendak menampar Barbara. Namun dengan sigap Barbara menangkisnya dan mencekal tangan Lena.
"Barbara? Lena? Apa apaan kalian ini, kenapa kalian bertingkah memalukan?!" Suara Anton menginterupsi mereka berdua yang sedang bersitegang.
"Pa, kau bahkan masih muda, kau juga bisa mencari wanita yang lebih cantik lagi. Atau...papa juga bisa menikahi dua wanita sekaligus, aku tak masalah. Daripada papa menikahi wanita yang selalu merundungku setiap saat," ujar Barbara tegas untuk menyindir ibu tirinya.
"Barbara, apa maksudmu? Bertingkahlah yang baik pada ibumu, kalau selalu seperti ini, papa harus bagaimana, hmm? Kau sudah besar, seharusnya bersikap lebih dewasa."
Mendengar itu, Barbara sungguh kesal. Sampai kapan ayahnya dibutakan oleh wanita ular ini.
"Pa, aku sudah bilang bukan? Aku tak mau papa menikahi sahabat mama, aku tak menyukainya sejak awal. Sekarang bersabar saja sebentar karena aku juga sudah tak tahan tinggal di Indonesia," sungut Barbara pada akhirnya.
"Barbara, ini rumahmu, kenapa kau harus tak nyaman? Pergi ke Belanda bukanlah solusi untukmu." Pria itu tahu, pertengkaran diantara Lena dan Barbara adalah sesuatu yang paling sulit untuk diselesaikan.
"Lena, kau adalah ibunya. Tidak bisakah kau bersikap baik kepadanya? Kau tahu bagaimana aku mempertahankan semua ini demi anak perempuanku satu satunya. Aku ingin kau menjadi seorang ibu yang baik untuk Barbara."
Lena hanya tertunduk kesal dan mengalihkan pandangannya. Ia sudah berusaha untuk berbaik hati, tapi terkadang Barbara yang bertingkah tidak menghormatinya sebagai istri ayahnya.
"Mas Anton, aku tahu aku cuma ibu tiri. Tapi aku kesal kalau Barbara tidak menghormatiku. Aku merasa tak tahan...," isaknya kemudian.
Barbara tersenyum sinis. Ia benci melihat Lena menangis seolah-olah dia adalah korban. Padahal ia telah berusaha untuk tidak memulai pertengkaran terlebih dahulu.
"Kalau tak tahan tinggal di rumah ini, kenapa tidak pergi saja? Kalau kau pergi, aku bersedia untuk tinggal di Indonesia. Aku tak perlu pergi ke Belanda. Bagaimana kalau seperti itu, Papa?"
Anton mengacak rambutnya. Berdiri sebagai orang yang ditengah tengah bagaikan makan buah simalakama. Ucapan Barbara bukan sekedar omong kosong. Putrinya ini memang tak akan keberatan kalau dirinya bercerai dengan Lena. Akan tetapi, apakah pernikahan seperti ini yang akan ia jalani selamanya?
"Barbara... tidakkah kau sedikit memberikan sikap toleransi untuk papa, bisakah kau mengerti bagaimana perasaan papa saat ini? Tolong jangan memperumit semua ini." bisik pria itu dengan memegangi kedua lengan putrinya.
Deg!
Barbara merasakan hatinya begitu sakit.
Barbara sudah terbiasa dengan keadaan yang menyulitkan dirinya saat ini. Rundungan ibu tiri, tatapan sinis dan merendahkan dari teman teman kampus, dan bahkan kesulitan untuk menegakkan punggungnya disaat berjalan. Dengan susah payah, ia akhirnya menuruti permintaan ayahnya. "Ya, berhentilah merepotkan orang lain," batin Barbara pedih.Perempuan itu menyeret tongkat penyangga tubuhnya memasuki rumah dan menjalani aktivitas tanpa suara.*****Dengan usaha ekstra, Barbara akhirnya berhasil memasuki ruang kelas. Tak ada senyuman di wajah gadis itu. Ia tetap menjadi sosok yang tak pernah ramah kecuali pada orang orang tertentu saja. Rasa kecewa dikhianati sahabatnya sendiri membuatnya semakin tak mempercayai siapapun saat ini. "Barbara..." sebuah suara yang cukup dikenalnya membuatnya menghentikan langkahnya. Akan tetapi ia menahan diri untuk menoleh. "Kau... sendirian?" Barbara tak menjawab, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Hanya saja pria itu mengiringi langkahnya yang payah. Saat i
Setelah pertemuan itu, Barbara dan juga Ovan semakin sering bertemu dan semakin akrab, hinggasuatu malam Ovan datang dengan banyak sekali hadiah untuknya. Barbara bahkan tak mengira dengan kejutan tersebut dan ia hanya merasa Ovan bermain main."Apa maksudmu, Ovan? Apa arti semua ini?" tanya Barbara menahan marah"Barbara, aku sedang menyatakan perasaanku kepadamu. Aku menyukaimu, akan tetapi aku tahu mungkin ini tak mudah untukmu. Jangan kuatir, kau tak perlu merasa terbebani kalau memang harus menolakku," ujarnya sambil menatap mata Barbara dengan intens."Apakah ini tidak terlalu terburu-buru? Kita bahkan baru mengenal tiga bulan, tidakkah kau akan menyesal nantinya?""Aku sudah memikirkan segalanya, kau hanya perlu menerima dan mencoba menjalaninya bersamaku. Aku hanya menyukaimu, tak perduli apa yang terjadi di kemudian hari," kata Ovan meyakinkan.Barbara yang sebenarnya terkejut, ia tak mengira Ovan akan menyatakan perasaannya, meskipun sebenarnya ia menyukai ini terjadi. Ia m
Sialnya, saat ia berhasil mendekati tempat tersebut, Ovan sudah tidak berada di tempat itu lagi."Sialan! Ke mana kau sekarang?!" kesalnya dan iapun berlari menuju pintu keluar, mencari kemana kemungkinan kedua orang itu pergi.Hingga kakinya sampai di ruang parkir bertepatan dengan Ovan yang memasuki sebuah mobil bersama seorang wanita tadi."Brengsek!!" Leo mengumpat dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barbara. Akan tetapi panggilannya ditolak dan bahkan sepertinya nomornya telah diblokir Barbara."Barbara, kenapa kau tak mengangkat panggilanku? Atau kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah gigolo? Hah! Kau sangat buruk Barbara, bagaimana bisa kau juga menyewa gigolo hanya untuk membuatku cemburu? Kau ketahuan, Barbara, kau ketahuan...," Leo berceloteh, berbicara sendiri dengan segala kemungkinan kenapa Barbara menjalin hubungan dengan pria sejenis Ovan."Baiklah, aku akan mempercayai bahwa kau masih mencintaiku, tapi haruskah kau melakukannya demi membuatku cemburu? Tapi
Belum sempat Leo mengatakan apapun, seseorang memasuki toilet karena mencari keberadaan Barbara."Barbara, suamimu mencarimu kemana mana, kenapa lama sekali di toilet?""Ehmm, Sebentar lagi, bibi. Aku akan segera kembali," ucap Barbar. Setelah wanita itu pergi, Barbara menatap kesal pada Leo yang bersembunyi."Leo, pergilah dari tempat ini. Aku sudah menikah sekarang ini. Berhentilah untuk melakukan hal-hal yang semakin menyakiti perasaanku, Leo. Please."Ditatap seperti itu, hati Leo menjadi sakit. Ia tak tahu lagi apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang ini. Barbara memohon untuk ia tidak menyakiti hatinya lagi.Dalam termangu, Berbara beranjak dari hadapannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dan tiba-tiba Barbara berbalik ke arahnya."Leo, seharusnya kau berdoa untukku, agar pernikahanku bahagia. Aku yakin, meskipun kau pernah menyakiti hatiku, masih ada hati nuranimu untuk melihatku berbahagia," sergah Barbara, lalu meninggalkan Leo yang masih berdiri menatapnya.Leo mengerti, ini bu
"Kamu sangat cantik," ucap Ovan mengomentari Barbara yang sedang merias wajahnya dengan beberapa polesan warna etnic di hadapan cermin. Memoles dengan warna dominan coklat gelap dan paduan silver sedikit berkilat. Wajah oval dan garis wajahnya yang tajam membuat kecantikan Barbara semakin menonjol. " Lagi memuji apa sedang menghina? Pagi pagi dah gombal," cicit Barbara menanggapi komentar Ovan."Serius, kau lebih cocok jadi model majalah kecantikan. Karena sepertinya kau sangat fotogenik. Kalau saja ada kesempatan, aku akan memperkenalkanmu dengan seorang teman fotografer majalah mode," katanya dengan senyum manis.Barbara tercenung, ucapan Ovan membuatnya sedikit gelisah. Bagaimanapun, Ovan memang tak tahu, bahwa sebenarnya ia pernah menggeluti dunia itu dulu saat masih sangat remaja, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Hanya saja ayahnya berharap ia serius menyelesaikan kuliah.Saat ia benar-benar menekuni pendidikannya dan meninggalkan dunia modeling untuk sementara waktu, kece
Mereka masih hening di dalam perjalanan menuju perusahaan, disibukkan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sampai di area perusahaan.Bagi Ovan, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang fabrikasi sparepart kendaraan bermotor ini sudah tidak asing baginya. Dalam bulan bulan terakhir, Ovan telah melakukan penelitian secara mendetail perusahaan tersebut. Dan bahkan masih ada lagi beberapa anak perusahaan yang bergerak dalam bilang garmen dan tekstil di tempat yang berbeda, bukan hanya besar, perusahaan Anton Bagaskara cukup memiliki kredibilitas kesejahteraan karyawan yang mumpuni. Itu dikarenakan, omset dan keuntungan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya.Itulah sebabnya, Nyonya Vein, memiliki kecondongan untuk mendapatkan bagian dari perusahaan mantan suaminya. Wanita itu tak mendapatkan hati dan tempat di sisi Anton Bagaskara dan merasa belum mendapatkan apa-apa dari pria itu.Seperti biasa, Ovan membantu Barbara menggunakan kursi roda. Dengan telaten pria itu m
"Aku tak setuju kalau semua orang yang bersikap baik dan ramah dianggap sebagai orang munafik. Kukira karakter seseorang adalah yang paling penting. Dan untuk tahu karakter seseorang itu, butuh waktu untuk bisa memahami.""Wah, aku jadi bingung, sebenarnya kau suka yang mana sih?"Ovan tersenyum, melihat wajah cantik Barbara yang menawan. Wanita itu terlihat sangat elegan saat duduk di meja kantornya. Dengan tumpukan berkas di hadapannya, laptopnya dan juga gerak geriknya saat menatap ke layar laptop. Ia berbica sembari mengerjakan sesuatu."Aku suka kau apa adanya, Barbara," tanpa sadar Ovan mengatakan kata kata itu yang keluar dari hati kecilnya.Sekilas mereka saling bertatapan, seakan melemparkan pandangan yang diwarnai cinta yang sesungguhnya. Dalam beberapa detik saja, Barbara memalingkan wajahnya, menatap kembali ke layar laptop."Aku berharap, kau akan membuktikan bahwa cinta itu benar adanya. Kau tahu, kenapa aku mau kau nikahi? Padahal aku belum sepenuhnya mengenalmu, belum
"Sangat kebetulan...," tiba-tiba Ovan tak sengaja mengatakan bait kata tersebut."Kebetulan? Kau menyukai bukan?""Ehmm, eh...iya...aku sedikit menyukai pekerjaan yang tidak menghabiskan keringat. Bayangkan saja kalau aku harus keluar kesana kemari, aku akan seperti tempe gosong.""Ouh... sudah kuduga, kau bukan type pria yang suka kepanasan. Tapi...""Tapi?"Barbara tersenyum simpul. Ia teringat saat melihat dengan jelas tubuh Ovan yang seksi saat mereka berada di kamar. Saat itu Ovan akan berganti pakaian. Body six pack dengan masa otot yang menawan, pastilah bukan dari hasil bersantai santai tanpa aktivitas. Minimal, pria ini pasti seorang penggemar gym."Kenapa kau senyum begitu?""Tidak ada, aku cuma heran aja. Pria biasanya suka pekerjaan yang lebih keras dan tidak membosankan.""Masalahnya, ada kamu di ruangan ini. Mana mungkin aku bosan, Barbara?" ujarnya. Dalam hati ia mengumpat lagi. Anjir, kenapa aku selalu mengatakan kata kata manis padanya? Sial! Bisa nggak sih tidak sela