"Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak.
Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama.
"Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih."
"Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?"
Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di daerah tempat kerjanya. Dibantu dengan beberapa teman karibnya, Aksa memulai usaha.
Pujian mengalir begitu lancar dari mulut Bapak dan Ibu. Kulirik Bang Agam yang hanya diam. Sesekali dia mengecek ponselnya. Aku tahu, suamiku itu jenuh. Seharusnya, acara kumpul keluarga begitu menyenangkan, bukan menjadi ajang pamer atau mengunggulkan hanya salah satu anak saja. Jika Bang Agam tidak berani menjawab, biarlah aku yang akan melakukan itu.
"Alhmdulillah, jadi itu alasan kamu tidak pulang, Sa? Padahal, Ibu selalu termenung di teras menunggu kepulanganmu. Beliau bukan hanya butuh uangmu, tetapi kepedulianmu juga," sindirku.
Semua mata memandang ke arahku. Aku tak acuh saja, berpura-pura kalau ucapanku tidak ada salah sedikit pun.
"Emm ... ya begitulah, Mbak. Aku--"
"Tentu saja Aksa sibuk jika mempunyai usaha. Kamu gimana, sih, Mbak!" potong Ibu cepat.
Tuh, kan! Sudah kuduga, Ibu pasti akan membela putranya itu. Hah, ingin sekali aku berkata lebih pedas dari ini. Akan tetapi, tahan dulu. Ini belum saatnya aku beraksi.
"Ya walaupun sibuk, bisa kali, Bu, pulang sekitar dua bulan sekali," timpalku tidak mau kalah.
Ibu mendelik sebal, mungkin dia tidak percaya, menantu yang selalu diam ini bisa berbicara pedas. Habisnya, aku sudah tidak tahan dengan sikap beliau. Ya Allah, maafkanlah kesalahanku. Bukan aku tidak menghormati beliau, tetapi meskipun Ibu adalah orang tua kami, jika salah memang seharusnya diingatkan.
"Dek, Abang mau pergi ke rumah Pak Wijaya. Beliau mengirim pesan untuk membersihkan kolam renang," ujar Bang Agam.
"Iya, Bang." Aku mencium punggung tangannya.
"Mau sampai kapan kamu menjadi pembantu, Gam, Gam." Bapak berkomentar seraya menggeleng.
"Aku pamit, Pak." Tanpa menggubris perkataan ayahnya, Bang Agam pergi.
Ibu kembali melanjutkan obrolan tadi dengan anak kesayangannya. Lihatlah sikap tidak sopan Aksa, dia malah tersenyum sambil memainkan ponsel.
Jika dulu sopan santun sangat diajarkan kepada Bang Agam dan Alan, tetapi pengecualian buat Aksa. Aku tahu cerita itu dari suamiku sendiri. Katanya, dulu saat Bang Agam remaja, Bapak begitu ketat. Dari mulai sekolah, mengaji, sampai hal lainnya.
Bapak akan marah besar jika suamiku tidak berangkat sekolah. Padahal, Bang Agam sedang tidak enak badan.
"Kamu alasan saja! Main bisa, giliran masuk sekolah alasan tidak enak badan," teriak Bapak waktu itu.
Bang Agam yang merasakan sakit di kepala, terpaksa berangkat sekolah. Waktu itu, dia masih SMP, tetapi sudah mulai belajar mencari uang. Sebab, Bapak belum seperti sekarang. Hanya mempunyai dua kota sawah, itu pun tidak luas.
Tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu, Bang Agam membantu bapak temannya untuk membersihkan rumah majikannya. Upahnya bisa ditabung untuk keperluan sekolah, lumayan untuk mengurangi beban orang tua. Namun, semua itu tidak pernah terlihat oleh Bapak dan Ibu. Betapa malangnya nasib suamiku. Anak kandung rasa anak tiri, nyata adanya.
"Kamu sedang berkirim pesan dengan siapa, Nak? Pacar kamu, ya?" Ibu bertanya seraya tersenyum.
"Emm ... doakan saja, ya, Bu. Dia temen kerjaku, orangnya sangat cantik."
Aku menyenggol sikut Rima. Adik iparku menoleh, lalu aku berbisik, "Mbak tidak sabar rasanya melihat calon Aksa. Apa dia akan bisa tinggal di kampung, apalagi serumah sama mertua."
Rima menahan senyum, lalu menyahut dengan berbisik juga, "Iya, Mbak. Aku harap, istri Aksa pelitnya sama kaya Ibu."
Ya ampun, aku dan Rima tidak kuat ingin tertawa. Ya Allah, ampuni kami. Berdoa buruk tidak baik, sebab doa apa pun akan berbalik kepada kita.
"Ya Allah, astagfirullah. Doain gak boleh yang buruk-buruk, ya, Rim," bisikku.
"Iya, Mbak. Ya Allah, ampuni kami."
Bapak mengajak kami ke taman belakang. Di sana ada gazebo tempat beristirahat atau berkumpul. Beliau mengajak membuat sate. Katanya, dia sudah membeli daging khusus untuk penyambutan Aksa.
Sungguh, pantaskah beliau berbicara seperti itu di saat Bapak tahu kalau salah satu keluarga anaknya ada yang tidak memasak lauk? Ya, Bapak dan Ibu tahu aku tidak masak untuk merayakan hari ini. Kemarin, saat aku datang untuk membantu, Ibu bilang, "Mbak, bantuin masak opor ayam, sambal goreng kentang hati, bihun goreng, kerupuk, sama bumbu kacang, ya."
Belum juga aku dan Bang Agam masuk, Ibu sudah menyebutkan hal apa saja yang harus kulakukan.
"Biarkan kami masuk dulu, Bu. Istriku bukan pembantu yang bisa langsung disuruh-suruh."
"Bukan begitu, Gam. Ibu hanya memberitahu."
Ibu berjalan ke arah dapur, aku menegur Bang Agam. Jangan berbicara seperti itu! Namun, sekarang aku pun sudah muak dengan sikap Ibu dan Bapak. Mereka harus diberitahu secara perlahan agar tersadar.
"Apa Ibu masak tidak kebanyakan?" tanya Bang Agam saat kami sudah sampai di dapur.
"Enggak lah, kan adek kamu mau pulang. Itu semua kesukaan Aksa. Masa kamu lupa."
"Oh." Bang Agam hanya menjawab begitu.
Tidak lama kemudian, Bang Agam berpamitan untuk pulang menjaga Asti. Meskipun putri kami sudah berumur sepuluh tahun, tetapi tetap saja khawatir jika bermain tanpa pengawasan.
"Kamu gak sibuk kan, Mbak?" tanya Ibu setelah Bang Agam pergi.
"Tidak, Bu. Aku tidak masak apa pun untuk besok," sahutku agak malu.
"Kenapa? Agam gak ngasih kamu uang?"
Aku mengangguk pelan, lalu menjelaskan bahwa Bang Agam tidak bekerja karena tak ada panggilan.
"Ibu pun tidak beli apa-apa, hanya sayuran yang tadi Ibu sebutkan saja."
Hatiku perih seketika saat Ibu menyebutkan 'hanya' padahal beliau akan memasak banyak untuk menyambut Aksa.
Sekarang, Bapak malah berbicara membeli daging khusus untuk anak bungsunya itu. Hah, orang tua Bang Agam memang sama saja. Keduanya tidak mencerminkan bahwa mereka adalah orang tua yang bijak.
Memang benar, berharap kepada manusia adalah kecewa yang disengaja. Iya, aku berharap Bapak atau Ibu memberi sedikit lauk untuk kami di rumah. Nyatanya, yang ada dalam pikiran mereka hanya Aksa, si anak paling disayang.
"Mbak, kamu ambil dagingnya, lalu potong-potong, ya," titah Ibu.
"Iya, lalu apa lagi, Bu? Biar sekalian."
"Sama bumbunya, Mbak. Arang juga, ada di bawah meja kompor."
Aku berjalan dengan langkah malas. Aku harus menetralkan hati yang bergemuruh. Ya Allah, semoga aku diberikan kesabaran serta kekuatan untuk menghadapi semua ini. Lembutkanlah hati kedua mertuaku.
"Mbak, melamun aja!" tegur Rima.
"Eh, Rim, kamu mau ambil apa?"
"Mau bantuin Mbak. Ibu tadi minta dibawakan kipas angin dan perintilan untuk membuat sate. Mbak-nya udah pergi tadi."
Aku tidak mendengar saat Ibu meminta semua itu. Mungkin, karena hatiku sedang jengkel makanya tidak fokus.
"Lagian, Ibu sama Mbak kaya bukan sama menantu. Nyuruh aja kerjaannya. Ibuku, ya, Mbak, sama menantunya gak gitu-gitu amat."
Aku mendengarkan ocehan Rima. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu memang sangat pengertian. Dia itu termasuk menantu yang beruntung. Sebab, Ibu tidak sering memerintahnya, mungkin karena keluarga Rima orang berada dan juga Alan mempunyai usaha yang terbilang sukses. Pastilah uang mengalir dari Alan untuk Ibu. Mana berani beliau menyuruh Rima seperti menyuruhku.
"Udah, jangan ngedumel aja! Nanti Ibu dengar, kan bahaya."
"Habisnya aku kesel, Mbak. Ibu baik sama aku begitu karena akhir-akhir ini Bang Alan memberi uang lebih dari biasanya," sahutnya, "oh, iya, alhamdulillah, kemarin kami dapat orderan seragam untuk di pabrik, Mbak," lanjut Rima.
Alhamdulillah, Alan memang membuka usaha konveksi. Aku tahu perjuangannya saat awal-awal merintis usaha. Sekarang, usahanya itu sudah cukup besar.
"Ini ada titipan dari Bang Alan untuk Mbak."
Rima memberikan amplop langsung ke tanganku.
"Rim, gak usah. Buat Salsa saja, kamu juga pasti banyak kebutuhan," tolakku tidak enak hati.
"Gak apa-apa, Mbak. Ini sudah rezeki Mbak. Ambil, ya! Jangan bilang sama Ibu, tahu sendiri beliau seperti apa."
Akhirnya aku menerima amplop itu. Ujung mataku telah basah, di saat sedang butuh begini, Allah memberi pertolongan melalui tangan Rima. Alhamdulillah, besok aku bisa membeli beras dan kebutuhan lainnya. Belum lagi, nanti Bang Agam mendapatkan upah dari Pak Wijaya, bisa untuk uang sekolah Asti.
"Mbak, lama banget ketimbang ngambil daging dan bumbu aja," teriak Ibu. "Ayok, buruan! Aksa sudah gak sabar ingin makan sate," lanjutnya.
Duh Gusti, seandainya beliau bukan orang tua, mungkin aku sudah mencak-mencak sambil memarahinya.
"Mbak, buatkan minuman yang seger-seger, ya. Cepat, ya!" titah Aksa tanpa merasa berdosa.
Sungguh, rasanya aku ingin memukul kepalanya sekarang juga.
Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian. Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya. Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan. "Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu. "Sudah, Bu." Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi. Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh
Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. "Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." "Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat