Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya.
Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya.
Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi.
"Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib."
"Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita."
Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan cinta dan kasih sayang. Terlebih, sikap Bang Agam yang sangat lembut serta setia, membuatku banyak-banyak bersyukur.
Teman SMP-ku mempunyai banyak uang, tetapi suaminya tukang selingkuh. Beberapa waktu lalu, kami sempat bertemu di pasar. Setelah bertahun-tahun berpisah karena dia pindah rumah, akhirnya Allah mempertemukan kami lagi. Dia sangat senang, pun denganku. Kami memilih mengobrol di kedai bakso yang agak jauh dari pasar.
Namanya Mita, dia teman terbaikku saat sekolah. Sekarang, Mita sangat berkelas. Terlihat dari baju dan aksesoris yang dia kenakan. Namun, biar pun sudah menjadi sultan versiku, dia tetap ramah serta baik hati.
Mita bercerita kalau suaminya sudah dua kali ketahuan selingkuh. Air matanya berderai, sesekali dia sesenggukan. Aku menjadi iba, padahal dia memiliki segalanya yang tidak aku miliki. Kuusap tangannya lembut untuk memberikan kekuatan. Kami terpaksa mengakhiri bercerita karena Mita sudah ditelepon suaminya.
Dering ponsel Bang Agam membuyarkan segala lamunanku. Dia mengangkat seraya menjauh. Aku melongo melihat sikap Bang Agam, tidak biasanya dia begitu. Apa ada sesuatu yang dia rahasiakan?
Cukup lama Bang Agam menerima telepon, aku menjadi gelisah dan berpikiran hal yang tidak-tidak. Daripada aku mati penasaran, lebih baik menghampirinya keluar.
"Bang," panggilku lembut.
Bang Agam tersenyum seraya memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
"Ibu meminta kita ke rumahnya besok pagi. Katanya, ada sesuatu yang akan Aksa sampaikan."
"Jadi yang barusan telepon itu Ibu?"
"Emm ... iya, Dek."
Bang Agam terlihat gugup, naluri seorang istri biasanya kuat. Aku yakin, suamiku itu tengah menyembunyikan sesuatu.
"Oh, iya, insyaallah besok kita ke sana."
Aku memilih tidak membahasnya sekarang. Bang Agam bernapas lega, terlihat dari cara mengembuskannya. Wajahnya pun tersenyum dipaksakan.
***
Sekitar pukul 9 pagi, aku ke rumah Ibu bersama keluarga Alan. Bang Agam hanya bisa singgah sebentar. Sebab, Pak Wijaya meminta untuk melanjutkan membersihkan rumah yang kemarin belum selesai.Kami sudah kumpul di ruang tamu. Salsa dan Asti bermain di taman belakang. Di atas meja, sudah tersaji kue-kue basah serta teh panas. Aku memperhatikan Ibu yang tengah sibuk menyodorkan kue-kue tersebut kepada Aksa.
"Mumpung kamu lagi di sini, Nak. Ayok, dimakan bugisnya! Tuh, itu juga. Kue cokelat kesukaanmu," tawar Ibu. Telunjuknya sibuk menunjuk sana-sini.
Bapak pun bersikap demikian. Tidak ingat kah mereka, jika di ruangan ini masih ada Bang Agam dan Alan?
"Pak, aku tidak punya banyak waktu. Aksa mau menyampaikan apa?" tanya Bang Agam tanpa basa-basi.
"Iya, Pak. Aku juga mau ke toko kain sebentar lagi," timpal Alan.
"Kalian itu, ada adik pulang bukannya meluangkan waktu malah pada sibuk. Terutama kamu, Gam. Cuman membersihkan kebun saja pake acara gak punya waktu," cibir Bapak.
"Meskipun membersihkan kebun, itu tetap harus disiplin, Pak. Namanya juga kerja sama orang lain." Bang Agam sudah tersulut emosi.
"Bapak sama Bang Agam malah ribut, seperti anak kecil saja," ujar Aksa.
Akhirnya, Bang Agam dan Bapak pun diam. Di antara anak-anaknya, memang suamiku yang selalu menjawab ucapan Bapak kalau terlalu menyakiti. Dulu, Bang Agam tidak begitu. Jika tidak enak dengan omongan orang tuanya, dia pasti akan diam atau memukul tembok untuk melampiaskan rasa kesalnya.
Aku sangat khawatir, tidak jarang darah segar mengucur dari jari-jarinya. Terakhir kali Bang Agam melakukan itu, saat kesal dengan ucapan Bapak. Beliau berkomentar, kalau motor Bang Agam itu sudah banyak kerusakan karena jarang di-service.
"Motor itu dirawat, Gam, jangan hanya dipake saja! Udah mah tua umurnya, eh, jarang diservice. Kamu sisihkan uang dari hasil kerja, palingan ini cuman 400 atau 500 ribu."
Mendengar Bapak berkata begitu, Bang Agam sangat marah. Orang tuanya itu seakan buta dengan keadaan anaknya yang hanya kerja serabutan. Sudah dapat makan setiap hari pun untung, tidak menyusahkan beliau dengan meminta beras atau nasi. Walaupun suamiku tahu, di rumah ibunya banyak makanan dan beras.
Aku menasehati Bang Agam saat dia tenang. Kuobati lukanya sembari memberinya semangat. Aku tidak kuasa menyembunyikan tangis.
"Abang, jika tidak suka dengan ucapan Bapak atau siapa pun itu, tidak usah didengarkan, anggap saja angin lalu. Abang itu suami hebat bagiku. Menunda keperluan lain demi kebutuhan anak istri. Jangan dipikirin, ya, ucapan Bapak. Fokus saja dengan kehidupan kita."
Kulihat matanya berkaca-kaca. Saat dia terluka begini, aku jauh sakit darinya. Tidak menyangka, kok, ada orang tua yang seperti itu?
"Bang, jangan mengingat setiap kesalahan orang lain kepada kita, tetapi ingatlah kebaikannya. Jangan menaruh dendam, itu tidak baik."
Bang Agam menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku usap kepalanya lembut. Sekuat-kuatnya seorang lelaki, tetap akan lemah jika di hadapkan dengan urusan seperti tadi. Harga dirinya terluka karena belum bisa membahagiakan anak istri.
"Aksa, kamu mau bicara apa?" tanya Ibu lembut.
"Aku ingin melamar pacarku, Bu, dalam waktu dekat," sahut Aksa.
Kami semua kakak-kakaknya saling pandang. Melamar? Dikenalkan saja belum, main lamar saja. Dulu, saat Bang Agam menyampaikan niatnya padaku, Ibu memintaku untuk berkunjung ke rumahnya. Tentu saja aku bersedia, sebab kami harus mengenal satu sama lain. Mendekatkan diri dengan keluarga Bang Agam agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.
"Alhamdulillah, kapan itu, Nak?" Ibu sangat antusias.
"Mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi."
Bapak dan Ibu terlihat bahagia, lalu mereka bertanya tentang calon istrinya Aksa. Ternyata, wanita itu satu tempat kerja dengannya. Kata Aksa, gadis itu sangat cantik dan sopan. Sesuai dengan harapan Bapak dan Ibu. Aku tersenyum sekilas, ingin tahu, seberapa kuat istri Aksa nantinya jika tinggal di sini.
"Calonmu gak disuruh main ke sini dulu, Sa?" tanyaku santai.
"Emm ... dia sibuk, Mbak. Lagi pula, dari sana ke sini, kan jauh beda kota."
"Cuman tiga jam perjalanan, Sa. Gak terlalu jauh, kok. Mbak aja dulu kenalan dulu dengan keluarga di sini sebelum Bang Agam melamar."
Sengaja aku berkata demikian untuk menyindir Ibu. Jika Bang Agam dan Alan diperlakukan sama, Aksa juga, dong. Ibu terlihat salah tingkah, beliau pasti ingat dengan sikapnya dulu padaku dan Rima.
"Iya, Sa. Mbak juga pengen kenalan sama calon istri kamu," timpal Rima.
Aku tertawa jahat dalam hati. Akhirnya, adikku itu mau mendukung ucapanku. Kulirik Rima, dia tersenyum kecil.
"Namanya orang kerja di kantoran, Mbak, pasti sibuklah. Buktinya, Aksa juga susah sekali mau pulang. Gak apa-apa, kita aja nanti yang ke sana untuk lamaran," jawab Ibu kesal.
"Ya terserah, sih, tapi lucu saja. Calon menantu dan calon mertua gak saling kenal, tiba-tiba lamaran aja," sarkasku.
Ibu mengalah, beliau tidak menjawab lagi. Setidaknya, aku merasakan kelegaan dalam hati. Kami mengobrol sambil memakan hidangan yang ada. Bang Agam berkali-kali mengecek ponselnya. Sesekali dia mengetik, mungkin mengirim pesan. Aku tidak berani mengintipnya.
"Pak, Bu, aku harus berangkat sekarang. Aku pamit, ya." Bang Agam mencium tangan orang tuanya.
"Aksa, sebaiknya kamu bawa dulu ke sini calon istrimu itu. Kenalkan kepada kami. Kalian tidak sesibuk presiden yang menunggu jadwal berbulan-bulan untuk bertemu seseorang," sindir Bang Agam sebelum pergi.
Aksa terdiam, kulihat kilatan amarah dalam sorot matanya. Ya, suamiku dan Aksa sama-sama keras kepala, hanya Alan yang bisa bersabar dan mengalah. Dia jarang sekali ribut dengan keluarganya.
"Aku juga pamit, Pak, Bu." Alan melakukan hal yang sama, yaitu mencium punggung tangan orang tuanya.
"Abang pengen tahu, cantikan calon istrimu atau Mbak Rima," gurau Alan. Dia menepuk bahu Aksa seraya tersenyum.
Setelah Bang Agam dan Alan pergi, aku duduk mendekat ke arah Rima. Wanita itu memberiku sepotong kue. Kami memakannya sambil bergosip tipis-tipis. Ibu dan Bapak mengobrol dengan Aksa. Mereka sangat bahagia, apalagi saat anak bungsu bercerita tentang penghasilannya dari usaha yang kini sedang dirintis.
Tidak dipungkiri, aku pun sangat bahagia jika salah satu adik Abang ada yang sukses. Setidaknya, mereka tidak akan kesusahan untuk mencari makan macam keluargaku. Ya, walaupun terkadang aku kesal juga dengan Aksa atau kedua mertua yang selalu meremehkan pekerjaan suamiku. Kalau mereka sayang dan peduli dengan Bang Agam, mengapa tidak membantu saja? Memberi pekerjaan yang layak untuk Bang Agam. Sebab, jika diberi uang atau sawah, suamiku sudah tidak mau lagi, dia sangat kapok.
"Tidak sia-sia Bapak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, Nak. Sekarang kamu berhasil," ujar Bapak bangga.
"Iya, Pak, alhamdulillah," sahut Aksa.
Aku menyenggol lengan Rima, memberi kode untuk mendengarkan percakapan Ibu, Bapak, dan Aksa.
Adik bungsu Bang Agam itu bercerita kalau usaha kafenya sangat ramai pengunjung, apalagi di akhir pekan. Belum lagi usahanya dengan teman yang lain. Jadi, selain kafe, Aksa pun membuka distro bersama temannya. Di pasarkan lewat online, jadi lebih luas jaringannya. Syukurlah, jadi biaya sekolah Aksa yang entah berapa, tidak sia-sia.
Aku masih tenang mengobrol dengan Rima, sampai akhirnya hatiku tidak terima saat Aksa bilang, "Bang Agam tidak sekolah tinggi-tinggi, sih, jadi hanya bekerja serabutan."
Aku mendelik kesal ke arah Aksa, tetapi dia malah tersenyum seperti tidak merasa kalau apa yang diucapkannya hal yang wajar. Didukung dengan sikap Bapak dan Ibu yang biasa saja, membuat Aksa semakin menjadi-jadi.
"Bang Agam kerja sama aku aja, Mbak. Mendingan disuruh adik sendiri, kan, daripada sama orang lain," ujar Aksa tanpa berdosa.
"Nah, betul itu. Agam bekerja di kafe Aksa saja. Pulang sebulan sekali," timpal Bapak.
Aku mengatur napas agar tenang, aku tidak terima Bang Agam direndahkan begini, meskipun dengan keluarganya sendiri. Untung saja, suamiku sudah berangkat kerja.
"Aksa, kau tahu? Abangmu berhenti sekolah agar kamu dan Alan bisa sekolah sampai menjadi sarjana. Dia mengorbankan masa depannya untuk kalian. Dulu, Bapak tidak seperti sekarang yang mempunyai banyak harta. Ah, kamu gak akan ingat karena masih kecil."
Bapak, Ibu, dan Aksa langsung terdiam. Padahal, sebelum aku bicara, mereka masih tertawa.
"Jangan memandang rendah abangmu, Aksa!" sentakku meluapkan emosi. Tidak peduli kalau nanti orang tuanya marah padaku.
"Loh, kok, jadi marah, Mbak? Apa yang Aksa sampaikan itu benar," bela Ibu.
"Jika yang dikatakan Aksa benar, bagaimana dengan ucapanku?" Aku balik bertanya.
Ibu saling pandang dengan Bapak. Aku yakin, mereka pun tahu kalau apa yang aku ucapkan benar adanya.
Bang Agam dan aku menikah muda karena kami sama-sama tidak kuliah. Daripada menimbulkan fitnah, jadi kami memutuskan untuk menikah saja. Sebenarnya, Bang Agam ingin sekali kuliah jurusan bisnis. Akan tetapi, sejak SMP dia sudah menghapus semua cita-citanya demi kedua adiknya. Apalagi Aksa, sejak kecil dia paling beda sendiri. Membeli barang harus yang mahal. Dari mulai pakaian, mainan, sampai makanan pun harus beda dari teman-temannya. Dulu, ekonomi Bapak belum seperti sekarang. Maka dari itu, Bang Agam yang sudah besar, mengalah saja.
"Aku mau pulang, Bu, Pak. Terima kasih kuenya."
Meskipun aku sedang kesal, kucium tangan Bapak dan Ibu. Mereka berwajah masam, aku tidak peduli! Aku menghampiri Asti di taman, lalu mengajaknya pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat