Share

Bab 8

Penulis: Rita Juwita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-21 17:54:36

Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. 

Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. 

Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. 

"Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. 

Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. 

Mengapa aku jadi curigaan begini, sih! Mungkin karena aku kecapekan, jadi pikiranku ke mana-mana. Aku harus percaya kepada Bang Agam. Lagi pula, wanita mana yang mau sama lelaki yang gak punya uang banyak? Menurut info dari kang gosip, pelakor biasanya suka sama pria banyak duit. Tidak peduli lelaki itu sudah punya anak istri atau tua sekalipun. 

Aku melanjutkan lagi memasak, tetapi saat akan menumis bumbu, minyaknya sudah habis. Terpaksa aku harus ke warung. Mungkin, Asti bisa kusuruh beli dulu sebentar. 

Aku berjalan ke kamar Asti, anak itu tengah serius belajar. Aku tidak tega memintanya untuk ke warung. Sementara itu, aku tidak melihat Bang Agam, cepat sekali dia hilangnya. Perasaan, tadi suamiku itu sedang tiduran di sini. Aku mencari ke teras, ternyata dia sedang duduk bersandar ke tembok. 

"Cari apa, Dek?" tanya Bang Agam. 

"Emm ... cari Abang," jawabku jujur. 

Bang Agam malah tersenyum, entah kenapa. 

"Abang gak bakalan ke mana-mana. Kamu kenapa, sih, kayanya beda sekali semenjak pulang dari rumah Pak Wijaya." 

Aku terdiam, tidak berani untuk jujur. Malu dan takut. Iya, aku takut Bang Agam marah karena aku kesal gara-gara tadi melihat keakraban dia dan Mita. Lebih baik, aku cari alasan lain saja. 

"Aku mau ke warung dulu, Bang, minyak goreng habis." 

Aku segera berangkat sebelum Bang Agam bertanya lagi. Rasanya belum siap untuk mengutarakan ketidaksukaanku atas kejadian tadi. Jangan sampai karena cemburu buta, hubunganku dan Bang Agam renggang. Akan tetapi, kami bukan ABG yang tidak bisa berpikir bijak, 'kan? Aku rasa, dia tidak akan marah kalau aku cerita dengan jujur. Ya, sebaiknya nanti malam aku bicara dengan Bang Agam. 

Sesampainya di warung, ibu-ibu tengah berkumpul. Malas sekali sebenarnya, sebab mereka itu sudah terkenal tukang gosip. Lapor sana, lapor sini, tidak punya kerjaan. 

"Bu, beli minyak goreng satu liter, ya," ujarku. 

"Eh, Bu Risa. Tumben belanja, lagi banyak duit, ya?" tanya Bu Rika. 

Wajar saja jika dia bertanya begitu, sebab aku jarang sekali ke warung. Paling, aku belanja di tukang sayur keliling, itu pun hanya sedikit dan jarang. 

"Oh, iya, saya baru ingat. Kan Aksa kemarin pulang, ya. Tadi Ibu Tini ada cerita. Katanya, semua saudaranya diberi uang dan oleh-oleh," lanjut Bu Rika. 

Aku menoleh seketika. Diberi uang? Hah, Ibu benar-benar, ya. Apa maksudnya menyebarkan berita begitu. 

"Bu Tini juga bilang, katanya cuman Bu Risa dan Agam yang gak ngasih oleh-oleh sama Aksa." 

Si Bu Rik semakin menjadi-jadi. Aku tidak menyahut, biarkan saja. Tukang gosip dan tukang lapor, memang cocok. Iya, mertuaku tukang lapornya. Apa-apa pasti bilang sama tetangga. 

"Ini uangnya, Bu." Aku segera menyerahkan uang pas kepada si pemilik warung. 

"Eh, Bu Risa, kenapa diem aja? Malu, ya, diomongin jelek sama mertua sendiri?" 

"Bu Rik, saya tidak peduli, permisi!" 

"Hei, nama saya Rika, bukan Bu Rik!" teriaknya tidak terima. 

Aku berjalan cepat agar tidak mendengar lagi ocehannya. Hari ini benar-benar membuatku pusing. Dari mulai ribut di rumah Ibu, melihat kedekatan Bang Agam dan Mita, sekarang mendengar ucapan Bu Rika. Mengapa di dekatku orangnya aneh-aneh semua. 

Ini bukan pertama kalinya aku mendengar laporan seperti itu. Ibu tahu, kalau Bu Rika mempunyai level julid dan gosip yang sudah mendarah daging. Jadi, beliau sering bercerita mengharumkan nama Aksa dan merendahkan Bang Agam kepada Bu Rika agar ucapannya itu cepat menyebar.  

Pasti besok pagi akan semakin gempar soal pembagian uang dan oleh-oleh dari Aksa. Meskipun ini bukan hal yang pertama, tetapi aku tetap kesal mendengarnya. Mending kalau iya bagi-bagi uang, ini kan tidak. 

Ibu juga pernah bercerita kalau aku tidak pernah ikutan bayar listrik. Ya, dulu saat hidup menumpang di rumah beliau, aku dan Bang Agam tinggal gratis karena penghasilan suamiku itu tidak tentu, bahkan kadang kami menahan lapar. Jadi, jangankan ikut memberi untuk bayar listrik. 

Waktu itu, setiap kali tanggal pembayaran listrik tiba, Ibu pasti menyindirku. 

"Pak, besok bayar listrik, ya. Jangan sampai telat! Nanti listrik kita dicabut. Pake aja uang yang ada, mudah-mudahan ada rezeki lagi." 

Awalnya, aku biasa saja saat mendengar beliau berkata demikian. Mungkin, keuangannya memang sedang tidak baik, ya, walaupun kecil kemungkinannya. Lama-lama aneh juga. Setiap kali jatuh tempo, Ibu pasti bilang begitu di depanku yang tengah beberes rumah. Akhirnya, aku bicara dengan Bang Agam. 

"Bang, entah ini perasaanku atau memang benar ditujukan untuk kita." 

"Kenapa, Dek?" 

Aku ceritakan kepada Bang Agam soal Ibu yang selalu menyindir soal biaya listrik. Suamiku menghela napas berat, mungkin sama bingungnya. 

"Mungkin kebetulan aja, Dek. Masa iya Ibu tega sama anak sendiri. Beliau kan bisa lihat keadaan kita bagaimana. Lagi pula, Ibu itu uangnya selalu ada. Kamu tenang aja, ya. Gak udah dipikirkan." 

Aku terpaksa mengangguk. Bukan tidak ingin membantu Ibu bayar listrik, tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, aku dan Bang Agam menguatkan hati dan menebalkan telinga selama serumah dengan Ibu. 

Aku langsung masuk ke dapur tanpa menoleh kanan kiri. Rasa kesal begitu terasa. Mau sampai kapan Ibu seperti itu? Kekurangan anak bukannya ditutup-tutupi malah diumbar. Ya Allah, lembutkanlah hati mertuaku. 

***

Makan malam telah selesai, aku dan Bang Agam duduk di atas kasur saling bersisian. Aku ragu untuk memulai percakapan. Ucapan Bu Rika tadi masih terngiang, membuat suasana hatiku semakin buruk. 

"Dek, kamu mikirin apa?" tanya Bang Agam seraya menggenggam jemariku. 

Aku menghela napas berat sebelum menjawab. 

"Kapan Ibu akan berubah, Bang? Beliau selalu saja merendahkan Abang. Parahnya, Ibu bercerita begitu di kepada Bu Rika. Tahu sendiri si Bu Rik itu gimana sifatnya," sahutku kesal. 

"Ibu bicara apa?" 

Aku jelaskan semuanya dari awal sampai akhir. Napasku menjadi memburu lagi karena sangat jengkel. Bang Agam mendengarkan sambil jarinya tidak bisa diam. Terus memainkan rambutku. 

"Biarkan saja, Dek. Jangan berikan penjelasan apa pun kepada Bu Rika atau tetangga lainnya. Biarkan mereka dengan prasangkanya." 

Aku terdiam, mencerna ucapan Bang Agam. Lelah sebenarnya menghadapi sikap Ibu dan Bapak, tetapi seburuk-buruknya mereka, tetaplah orang tua Bang Agam, orang tuaku juga. 

"Kapan, ya, kita jadi orang kaya, Bang?" tanyaku pada akhirnya. Aku sandarkan kepala di bahunya. 

"Dek, kamu tahu? Allah memuliakan umat Nabi Muhammad dengan 6 perkara," sahut Bang Agam. 

"Pertama; Allah jadikan mereka miskin sehingga hisab mereka ringan. 

Kedua; Allah jadikan mereka berbadan kecil, hingga nafkah mereka tidak berat 

Ketiga; Allah menjadikan mereka lemah, hingga mereka tidak sombong 

Keempat; Allah menjadikan umur mereka pendek sehingga dosa mereka sedikit. 

Kelima; Allah menjadikan mereka umat terakhir sehingga yang mereka lakukan tidak diinjak-injak oleh umat kemudian 

Keenam; Allah menjadikan mereka umat akhir zaman sehingga tempo mereka tinggal di alam kubur tidaklah lama." 

Aku bangun menatap matanya. Bang Agam tersenyum lembut, lalu kembali berucap, "Apa kamu paham, Dek?" 

Aku mengangguk, tidak seharusnya aku bertanya demikian. Allah menjadikanku miskin karena hisabnya ringan. Tidak terbayang seandainya Allah menitipkan banyak harta padaku, apa aku akan sanggup? 

"Abang, aku mau tanya, tapi Abang jangan marah." 

"Tanya apa, Istriku?" sahut Bang Agam sembari menoel pipiku. 

"Emm ... apa Abang sudah kenal lama dengan Mita? Aku perhatikan, kalian sangat akrab." 

Bang Agam tidak langsung menjawab. Dia terdiam cukup lama,  tanganku sudah basah karena keringat dingin. Jantungku sudah seperti habis lomba lari. 

"Mengapa kamu tanyakan itu?" Bang Agam malah balik bertanya. 

Jawaban yang tidak aku harapkan sama sekali. Rasa curigaku semakin besar. Bang Agam, jangan harap kamu bisa berpaling dariku! Aku akan mengingatkanmu betapa terjalnya jalan yang sudah kita lalui sebelum berada di titik ini. 

Bab terkait

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 9

    "Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-21
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 10

    Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-21
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 11

    Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-21
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 12

    Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 13

    Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 14

    Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 1

    "Mbak, setelah ngupas kentang selesai, langsung goreng, ya!" ujar Ibu Tini. "Iya," sahutku pelan. Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku. Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh. Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya. "Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-29
  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 2

    Bagiku, berkumpul ketika Aksa pulang ada senang dan sedihnya. Ya, lebih banyak sedihnya. Sebab, kedua mertuaku tidak hentinya menyanjung dan memujinya. Aku memikirkan perasaan Bang Agam, dia hanya bisa diam. Sering kali aku memintanya untuk menjawab jika sekiranya tidak enak dengan ucapan Ibu atau Bapak. Akan tetapi, dia hanya menjawab, "Abang tidak mau ada keributan, Dek. Biarlah, suatu saat nanti mereka akan sadar, kalau masih punya anak lain selain Aksa." "Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak. Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama. "Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih." "Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?" Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di dae

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-29

Bab terbaru

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 14

    Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 13

    Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 12

    Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 11

    Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 10

    Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 9

    "Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 8

    Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 7

    Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.

  • Suamiku Menjadi Sultan   Bab 6

    Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status