"Iya," sahutku pelan.
Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku.
Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh.
Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya.
"Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu aku memasak banyak makanan, tetapi tidak di rumahku. Di sana, hanya ada nasi sisa bekas buka puasa. Lauk pun hanya tahu goreng, itu pun tinggal beberapa potong.
Sebelum ke rumah Ibu, aku mengeluh kepada Bang Agam tidak mau disuruh oleh beliau. Suamiku tidak memaksa, katanya, "Terserah kamu saja, Dek. Nanti Abang akan cari alasan untuk bilang sama Ibu."
Akan tetapi, aku mengingat pesan ibuku, katanya, "Anggaplah mertuamu ibumu juga, Nak."
Tidak berapa lama, aku meminta Abang jangan memberi alasan apa pun karena aku akan datang. Suamiku tahu, kalau ibunya bersikap kurang baik padaku. Ah, bukan hanya kepada aku sebagai menantu, tetapi kepada Bang Agam juga. Bahkan, Asti pun tidak mendapatkan perhatian lebih dari nenek kakeknya.
Namun, aku selalu berpikir, cukup kasih sayang dari Bang Agam saja. Dia adalah suami dan ayah terbaik baik kami. Besok, Hari Raya Iedul Adha. Sudah dua tahun adik bungsu Bang Agam tidak pulang. Alasannya, sulit meminta izin. Aku tidak percaya, bekerja di mana pun, pasti akan libur jika mendapati tanggal merah, apalagi hari besar seperti sekarang.
Mertuaku percaya saja, beliau bahkan selalu membela anaknya ketika para tetangga bertanya. Katanya, anak bungsunya itu bekerja di bagian penting di kantor. Jadi, tidak sembarangan bisa cuti.
Selain menjadi pembela, Ibu juga selalu mengharumkan nama Aksa. Katanya, kehidupan beliau dijamin oleh anaknya itu. Terkadang, ada sakit yang menyelinap diam-diam. Mengapa Ibu selalu berkata demikian? Apa karena suamiku jarang memberi uang?
Bang Agam memang jarang memberi uang, tetapi kasih sayangnya kepada Ibu sangatlah besar. Seperti saat beliau kesusahan memasang pompa air, daripada meminta ahlinya dan memerlukan biaya, suamiku berusaha untuk memasangnya atau saat Bapak sakit, suamiku yang akan diminta untuk mengantar ke sana kemari. Uang ongkos tentunya dibayar oleh suamiku. Ibu tidak tahu, kalau mengantar Bapak atau dirinya ke rumah sakit, Bang Agam akan menahan lapar karena uangnya habis dipakai ongkos tadi.
Aku segera mengahapus air mata saat terdengar langkah seseorang. Ternyata Rima, adik iparku juga. Ibu mempunyai tiga orang anak, semuanya lelaki. Rima istri dari Alan, adik kedua Bang Agam.
"Mbak, aku aja yang masak bihun goreng. Kasihan, Mbak capek udah bantuin dari tadi."
Ya, Rima benar. Aku sangat lelah, memasak banyak makanan serta membereskan perabot yang telah dipakai.
"Gak apa-apa kalau kamu yang lanjutin?" tanyaku tidak enak hati.
"Enggak, Mbak. Lagian, aku udah selesai masak di rumah. Makanya aku ke sini."
Aku hanya menyelesaikan menggoreng kentang saja. Biarlah yang menyelesaikannya Rima. Dia juga bilang, kalau Asti sedang main di rumahnya bersama Salsa. Aku akan segera pulang, lalu menjemput Asti.
Kebetulan, rumahku, Ibu, dan rumah Rima berdekatan. Jadi, tidak perlu naik kendaraan untuk mengunjungi satu sama lain.
"Loh, Mbak Risa mau ke mana?" Ibu menghampiriku dan Rima.
"Emm ... aku mau pulang, Bu. Kepalaku agak pusing, biar Rima aja yang terusin," jawabku.
Ibu mengembuskan napas kasar. Beliau seperti tidak suka dengan jawabanku.
"Yasudah, makasih, ya, Mbak. Besok makan di sini, ya. Soalnya, Aksa mau bagi oleh-oleh. Katanya, udah beli banyak hadiah buat keponakan-keponakannya."
Aku terpaksa mengulas senyum. Bukan tidak senang dengan undangan makan dari Ibu serta oleh-oleh yang dibawa Aksa. Akan tetapi, aku sudah hafal sifat Ibu. Setiap kali Aksa datang, pasti dia akan memamerkan hasil kerjanya.
"Anak-anak, ini Om bawa makanan mahal. Pasti kalian suka. Kalian belum pernah beli, kan?"
Seperti itulah Aksa, selalu menyombongkan diri. Aku bergegas pulang, tidak ingin menumpahkan tangis di depan beliau.
***
Jam setengah enam pagi tadi, Rima sudah berkunjung. Dia memberiku ketupat dan opor ayam. Ah, adikku ini memang sangat pengertian. Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata Rima, "Aku tahu Mbak gak masak. Jadi, ini aku bawa makanan buat kalian."Aku menangis haru saat menerima semua makanan itu. Di antara ketiga anak Ibu, hanya suamiku yang belum berhasil. Dia juga yang dipandang sebelah mata oleh orang tuanya.
Kini, aku, Asti, dan Bang Agam akan ke rumah Ibu. Aksa sudah sampai sejak semalam katanya. Sesampainya di sana, adik bungsu Bang Agam sedang makan dengan lahapnya. Tanpa memedulikan kami, dia hanya menjawab salam tanpa menghampiri Bang Agam sebagai tanda menghormati sebagai kakak tertua.
"Agam, sana samperin adek kamu!" titah Bapak tanpa merasa bersalah.
"Dia yang seharusnya menghampiri aku, Pak. Mencium tanganku sebagai kakaknya, pengganti orang tua ketika nanti Bapak dan Ibu tiada."
"Kamu ini, masalah seperti ini saja sampai berpikir panjang begitu. Apa salahnya kamu yang menghampiri lebih dulu," timpal Ibu.
Aku berusaha menenangkan Bang Agam. Kugenggam jemarinya agar dia tidak menjawab dengan emosi.
"Sudah-sudah! Apa yang dikatakan Bang Agam benar, Pak, Bu. Harusnya Aksa yang menghampiri kami sebagai tanda menghormati." Alan menengahi, Bapak dan Ibu melengos pergi.
"Sudahlah, Bang, seperti tidak tahu sifat Bapak Ibu saja. Yuk, kita duduk di ruang keluarga." Ajak Alan, kami akhirnya melangkah menuju ruang keluarga.
Setelah Aksa selesai makan, dia menghampiri kami, mencium tangan kami takzim. Aku menanyakan kabarnya, setelah dua tahun tidak pulang. Dia hanya menyunggingkan senyum sedikit sambil menjawab baik.
"Anak-anak, Om Aksa bawa oleh-oleh buat kalian," seru Ibu.
Tentu saja anak-anak bersorak gembira. Aksa mulai mengeluarkan beberapa dus makanan dan mainan untuk Salsa dan Asti.
Ibu Bapak terus memuji keberhasilan Aksa tanpa memikirkan perasaan kedua anaknya yang lain. Ya, terutama perasaan suamiku yang hanya jadi tukang kebun. Sungguh, hatiku terasa tersayat sembilu mendengarnya.
"Nah, Gam, kamu harus contoh adikmu. Dia gajinya udah besar, loh. Sekitar 7 juta perbulan, ya, Nak?"
Ucapan Bapak seperti anak panah yang menancap tepat ke jantung. Bang Agam hanya diam, aku ingin segera pergi saja dari rumah ini.
"Iya, Pak, alhamdulillah. Semoga nanti aku bisa mendapatkan gaji lebih besar lagi," jawab Aksa jemawa.
Lalu, mengalirlah cerita tentang betapa royalnya Aksa kepada Bapak dan Ibu. Pemuda itu selalu mengirim uang setiap bulannya. Padahal, mertuaku bukan orang susah. Mereka mempunyai sawah entah berapa hektar dan beberapa pintu kontrakan.
"Pak, aku berniat membeli sawah Bapak. Biar aku ada penghasilan tambahan," ujar Aksa dengan entengnya.
"Oh, sama kontrakan juga. Boleh, kan, Pak?" lanjut Aksa.
Bang Agam dan Alan saling pandang. Pasti keduanya memiliki pemikiran yang sama.
"Gak bisa begitu, dong, Sa! Itu kan sumber penghasilan orang tua kita. Lagi pula, kamu kan jauh di kota, repot nanti," sahut Alan.
"Kenapa gak bisa? Abang iri, ya? Sawah dan kontrakan, kan, punya Bapak. Terserah beliau mau dijual atau enggak." Aksa menyolot, Alan pun tak mau kalah.
Bapak dan Ibu hanya diam saja. Padahal, aku sudah gemas ingin memberitahu Aksa kalau apa yang dia inginkan kurang tepat. Milik orang tua, kok, pengen dimiliki juga.
Ibu menengahi, beliau menawari Alan dan Bang Agam untuk makan. Untungnya, tadi kami sudah makan dengan opor serta ketupat dari Rima. Kalau tidak, pasti Asti akan merengek ingin cepat makan. Lalu, seperti biasa, besoknya akan ada laporan yang membuatku tidak enak hati, lebih tepatnya membuatku sakit hati.
Bagiku, berkumpul ketika Aksa pulang ada senang dan sedihnya. Ya, lebih banyak sedihnya. Sebab, kedua mertuaku tidak hentinya menyanjung dan memujinya. Aku memikirkan perasaan Bang Agam, dia hanya bisa diam. Sering kali aku memintanya untuk menjawab jika sekiranya tidak enak dengan ucapan Ibu atau Bapak. Akan tetapi, dia hanya menjawab, "Abang tidak mau ada keributan, Dek. Biarlah, suatu saat nanti mereka akan sadar, kalau masih punya anak lain selain Aksa." "Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak. Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama. "Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih." "Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?" Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di dae
Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian. Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya. Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan. "Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu. "Sudah, Bu." Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi. Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh
Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. "Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." "Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat