Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa.
"Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan.
"Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya.
"Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu.
Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati.
"Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja.
"Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
"Aamiin. Kamu yang kuat dan sabar, Mit. Jangan menyerah!" Aku memberi dukungan kepada sahabatku itu.
Beberapa menit kemudian, aku meminta berhenti di depan rumah berpagar hitam tinggi menjulang. Tidak lupa, sebelum turun aku mengucapkan terima kasih kepada Mita. Namun, alangkah terkejutnya aku saat dia pun ikut turun.
"Kamu kenapa ikut turun, Mit?" tanyaku penasaran.
Belum juga Mita menjawab, Bang Agam langsung membuka pagar. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum lebar. Akan tetapi, saat matanya menatap Mita, bola mata Bang Agam langsung membulat sempurna, pun dengan Mita. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang.
"Loh, Agam? Kamu ternyata ...." Tunjuk Mita, dia terkekeh pelan.
"Iya, Nona, saya yang akan bekerja di sini," jawab Bang Agam.
Hah, dunia terasa sangat sempit bagiku. Ternyata, Mita mengenal suamiku, bahkan menjadi pekerja di rumahnya. Bibirku agak kaku untuk tersenyum. Tidak bisa aku pungkiri, Mita sangat cantik dan baik, apalagi rumah tangganya sedang goyah, bukan tidak mungkin kalau Bang Agam atau Mita sendiri akan saling jatuh cinta karena seringnya bertemu. Ya Allah, mengapa hatiku merasa sakit?
Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk. Bukan kah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Aku harus berpikir positif agar apa yang terjadi dalam hidupku, sesuatu yang baik juga.
"Jadi, anak Pak Wijaya itu kamu, Mit?" ujarku berusaha menepis rasa cemburu.
"Iya, Ris. Suamiku anaknya Papa Wijaya."
Bang Agam mempersilakan Mita masuk, pun denganku. Kedua orang itu berjalan berdampingan, sedangkan aku tertinggal di belakang. Langkahku semakin pelan saat melihat Mita begitu akrab dengan suamiku. Sepertinya, Bang Agam lupa kalau ada istrinya di sini. Aku berjalan cepat untuk mengejar langkah mereka. Jangan sampai ada celah untuk Mita dan suamiku berdeketan. Setan akan mudah masuk, lalu membujuknya untuk terjerumus.
Mita berpamitan untuk keliling dalam rumah. Bang Agam dan aku menuju kolam renang yang ada di taman bekalang. Kulirik dia, wajahnya cerah, seperti tidak mempunyai beban hidup. Padahal, baru tadi pagi dia kesal dengan sikap orang tuanya.
"Dek, kamu rapikan tanaman, ya. Gunting daun-daun yang sudah rusak. Lalu, semprot menggunakan obat yang ada di botol warna hijau," ujar Bang Agam.
Aku mengangguk tanpa menjawab, saat melewati tubuhnya, tangannya meraih jemariku. Kami bersitatap, dadaku berdebar sekaligus berdenyut ngilu. Aku sangat takut dia berselingkuh.
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi di rumah Ibu?"
Bukan di rumah Ibu, Bang, tapi di sini. Di tempat ini, aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan wanita mana pun termasuk Mita. Apalagi dia itu majikan baru kamu. Seharusnya, kamu bisa menjaga jarak dan pandangan kamu.
Rasanya ingin sekali aku menjawab seperti itu. Akan tetapi, tidak enak rasanya kalau ribut di rumah orang lain, nanti Mita mendengarnya dan malah terjadi kesalah pahaman.
"Gak apa-apa, Bang. Aku hanya gak enak badan saja."
Bang Agam langsung menyentuh dahiku, raut wajahnya sangat khawatir. Melihatnya seperti ini, rasanya tidak mungkin dia berpaling.
"Gak panas, kok. Yasudah, kamu istirahat aja. Biar aku kerja sendiri. Kamu lihatin aja dari sana." Bang Agam menunjuk kursi besi yang ada di taman.
"Aku masih, kuat, kok. Cuman pusing dikit, Abang tenang aja, ya."
Aku mengulas senyum sebelum meninggalkan Bang Agam. Lalu, mengambil peralatan untuk mengurus tanaman. Mataku berbinar saat melihat berbagai macam bunga tumbuh dengan subur. Pekerjaan ini sangat cocok untukku karena aku suka sekali bercocok tanam. Aku bersenandung sembari bekerja, sambil sesekali melihat Bang Agam yang tengah mengelap kaca dekat kolam renang.
Tidak berapa lama, Mita datang kembali. Dia mengajak ngobrol Bang Agam. Diam-diam aku memperhatikan keduanya. Tawa Mita sangat lepas, apa mungkin kehadiran suamiku menjadi pelipur lara untuknya? Aku menjadi penasaran, seperti apa wajah suami Mita.
Aku tidak bisa membiarkan Bang Agam terlalu dekat dengan majikannya, aku bergegas ke sana.
"Abang, aku sudah selesai. Sekarang apa lagi?" tanyaku lembut.
"Sudah selesai? Wah, istriku memang hebat," puji Bang Agam sembari tersenyum manis.
"Sekarang, kita pindah ke lantai dua, Dek. Beresin setiap ruangan."
Aku mengangguk semangat, lalu menggandeng lengan Bang Agam. Tidak lupa berpamitan kepada Mita kalau kami akan ke lantai dua. Sebenarnya, aku malu harus melakukan ini di depan orang lain. Kesannya, seperti kekanak-kanakan. Akan tetapi, apa boleh buat? Dari pada nanti ada setan lewat, lalu mereka terjebak, lebih baik aku secepatnya turun tangan.
Lantai dua rumah Mita begitu megah. Ada tiga pintu, balkon yang cukup luas, serta ruang tamu mungkin, sebab ada sofa besar di tengah-tengah ruangan. Hiasan yang dipakai pun berkelas semua. Bang Agam memintaku membersihkan kamar utama, yaitu kamar yang akan ditempati Mita dan suaminya.
Aku bergegas masuk. Kamar ini sangat luas, bahkan lebih luas dari rumahku. Meja riasnya sangat cantik, belum lagi sofa berwarna biru turkis sangat lucu. Ranjangnya sangat besar, sepertinya muat dipakai empat orang juga.
Aku mulai mengganti seprai, menyapu, mengepel, serta membersihkan kamar mandi. Aku begitu takjub melihat semua ini. Betapa enaknya menjadi orang kaya. Makan tinggal makan, pakai baju tidak perlu mencuci dulu, ingin belanja, ya, tinggal berangkat, betapa sempurnanya hidup mereka yang terlahir kaya. Namun, itu hanya dalam pandangan si miskin macam diriku. Nyatanya, orang kaya itu jauh lebih pusing. Buktinya Mita, dia pusing memikirkan suaminya agar tidak selingkuh lagi. Padahal, Mita sangat cantik, jadi wanita seperti apalagi yang dicari suaminya.
Membersihkan satu ruangan saja begitu melelahkan. Aku istirahat sejenak dengan duduk di kursi yang ada di balkon. Semilir angin begitu sejuk. Aku memandangi pemandangan dari sini, sangat indah. Apalagi kalau dilihat waktu malam, pasti akan jauh lebih bagus.
Setelah sepuluh menit beristirahat, aku keluar dari kamar itu. Mencoba mencari Bang Agam untuk bertanya aku harus bantu apa lagi. Aku menyusuri setiap ruangan, kubuka sedikit pintunya, tetapi Bang Agam tidak ada. Lalu, aku melihat pintu terakhir terbuka sedikit, aku mendekatinya dengan berjalan pelan. Sebab, samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara.
"Mau sampai kapan kamu menyembunyikan semua ini, Gam?"
Mataku seketika memanas menahan tangis saat mendengar jelas siapa yang bertanya, itu suara Mita.
"Ini belum saatnya, Mit," jawab Bang Agam.
"Tapi, Gam, kasihan Risa. Aku gak tega melihatnya--"
"Dia wanita yang kuat, Mit. Kamu tidak usah khawatir!" potong Bang Agam cepat.
Aku tidak sanggup harus mendengarkan lebih lama lagi. Rasanya, jantungku seperti diremas kuat dan dipaksa keluar, sangat sakit. Aku secepatnya turun, sambil menutup mulut. Jangan sampai suara tangisku terdengar oleh mereka.
Aku terduduk di lantai dapur, menangis tanpa suara. Apa yang mereka bicarakan sebenarnya? Mengapa aku merasa kalau mereka sedang membahas soal perasaan? Ya Allah, apa benar aku ini kuat? Aku rasa tidak! Istri mana yang kuat melihat suaminya menyukai wanita lain.
Cukup lama aku menangis, tetapi tidak ada tanda-tanda Bang Agam mencariku. Apa dia terlalu asyik berbincang dengan Mita. Aku tidak boleh seperti ini. Aku bergegas bangun, lalu mencuci muka. Tidak akan aku biarkan siapa pun mengusik rumah tanggaku. Cukup ini yang terakhir aku menangis. Jika Bang Agam terbukti selingkuh, aku akan menyadarkannya dengan cara yang berbeda.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
"Mbak, setelah ngupas kentang selesai, langsung goreng, ya!" ujar Ibu Tini. "Iya," sahutku pelan. Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku. Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh. Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya. "Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat