Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK.
Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa.
Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar tidak terlalu berharap kepada manusia. Cukup Allah sebagai satu-satunya tempat kita menggantung harapan.
Aku juga ingat saat Asti sakit. Aku sudah membawanya ke bidan, tetapi bidan itu menyarankan agar aku membawa Asti ke dokter spesialis anak. Aku bertanya-tanya, berapa kira-kira biayanya. Namun, Bang Agam memintaku tidak usah pusing soal biaya, mau tak mau dia akan meminta bantuan orang tuanya.
"Gimana Asti, Gam? Sakit apa?" Ibu mendekat ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu.
"Cucu Nenek sakit apa, Sayang?" Dari nadanya, Ibu sangat khawatir waktu itu.
"Katanya harus dibawa ke dokter spesialis, Bu. Soalnya, BAB-nya sudah terlalu sering. Umurnya pun belum dua bulan, jadi bidan tidak bisa menangani," jelas Bang Agam.
"Mbak Risa, sih, Bapak kan sudah bilang, cepetan bawa Asti ke dokter! Ini malah dibawa ke bidan." Bapak malah memarahiku.
Di ambang pintu, aku meremas baju. Air mata tidak dapat dicegah. Ucapan Bapak begitu menusuk hatiku. Dengan entengnya beliau menyalahkanku, padahal dia tahu aku dan Bang Agam sedang kesusahan. Jangankan untuk membawa ke dokter, untuk makan saja susah.
"Bapak jangan salahkan istriku! Kalau kami punya uang, sudah kami bawa Asti ke dokter." Bang Agam menyahut dengan nada tinggi.
Aku menenangkan Asti yang menangis. Perasaanku semakin kalut, takut terjadi apa-apa dengan Asti.
Di saat situasi sedang tegang-tegangnya, Bang Agam mendapatkan telepon. Dia mengangkatnya, lalu tidak berapa lama telepon berakhir.
"Alhamdulillah, Dek, Bapak meminta Abang ke sana. Katanya, beliau mau memberi uang untuk berobat Asti, tapi kalo kurang, kita cari sisanya," ujar Bang Agam.
Alhamdulillah, memang sebelum ke rumah mertua, aku menghubungi bapakku dulu. Meminta bantuan darinya, aku singkirkan rasa malu. Sebab, orang tuaku juga bukan orang kaya, tetapi setidaknya mereka sering mengusahakan membantuku ketika aku sedang kesulitan.
"Mertuamu mau kasih berapa?" tanya Bapak.
"150ribu, Pak," sahut Bang Agam ketus.
Bang Agam berpamitan kepadaku untuk ke rumah Bapak, tanpa diduga Ibu menghampiri suamiku.
"Emm ... Ibu ada uang buat nambahin ke dokter, tapi ini uang punya paman kamu. Kemarin, dia menitip untuk beli pupuk."
"Tidak perlu, aku akan mencarinya sendiri."
Aku tahu, sebenarnya itu uang Ibu. Mungkin, beliau sayang untuk memberi. Mengapa aku berpikir begitu? Sebab, kemarin paman baru meminta Bang Agam membelikan semua kebutuhan bertani. Jadi, mustahil jika paman menitip kepada Bapak.
Bang Agam memintaku untuk masuk kamar sembari menunggunya pulang dari rumah Bapak. Aku menurut, Ibu dan Bapak tidak banyak komentar. Mereka memasuki kamar tanpa peduli pada perasaanku yang sedang khawatir.
Ingin rasanya aku ditemani oleh kedua mertuaku. Diberikan dukungan serta kekuatan. Aku sebagai ibu baru tidak tahu harus berbuat apa. Aku menangis sambil menciumi wajah Asti.
Mengingat semua itu membuat dadaku semakin sesak. Betapa sengsaranya kehidupanku dan Bang Agam. Biar pun kami hidup satu atap dengan orang tua, tetapi Ibu atau Bapak tidak pernah peduli dengan kehidupan anaknya. Di saat aku mendengar Ibu tengah memasak, di kamar aku sedang menahan lapar. Menunggu suamiku pulang dan berharap akan membawa uang.
Tidak jarang, aku menginginkan makanan yang ada di meja ruang tamu atau meja makan. Akan tetapi, aku tidak berani meminta. Ibu memang sering menawariku, tetapi hanya basa-basi saja, sedangkan aku tidak terbiasa mengambil makanan kalau tidak diberikan langsung.
"Dek, kamu kenapa?" tanya Bang Agam mengejutkanku.
Aku tidak sadar kalau Bang Agam sudah pulang. Kuusap mata yang telah basah. Mencoba mencari alasan agar Bang Agam tidak marah, aku takut rasa kecewanya berubah menjadi benci. Walau bagaimanapun, Ibu dan Bapak adalah orang tuanya.
"Abang sejak kapan di rumah?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Jawab aku, Dek! Kamu kenapa?" Jika suaranya sudah dingin begini, aku harus berkata jujur. Jangan sampai Bang Agam semakin marah.
"Emm ... aku hanya teringat saat Asti sakit, Bang. Waktu itu, kita gak punya uang sepeser pun," sahutku beralasan. "Alhamdulillah, sekarang Abang punya pekerjaan tetap," lanjutku.
Bang Agam menatapku tanpa berkedip. Aku menjadi takut, kalau dia akan memaksaku untuk bercerita.
"Aku tahu, pasti di rumah Ibu--"
"Bang, aku gak apa-apa, kok," potongku cepat.
Bang Agam menyandarkan tubuhnya ke tembok. Matanya menatap langit-langit rumah. Terdengar helaan napas berat berkali-kali. Aku mendekatinya, lalu menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku sangat kecewa dengan Bapak dan Ibu, Dek." Suara Bang Agam sudah sumbang, mungkin menahan tangis.
"Abang, ingatlah kalimat bijak dari Ali bin Abi Thalib," sahutku, "ketika kamu ikhlas menerima kekecewaan dalam hidup, maka Allah akan membayar tuntas kecewamu dengan beribu-ribu kebaikan."
Iya, aku sangat percaya bahwa Allah akan membalas setiap kecewa, sedih, sakit, dengan beribu kebahagiaan atau kebaikan. Teruslah berbuat baik kepada siapa pun, sebab kita tidak tahu melalui tangan mana yang akan memberi pertolongan.
"Tapi orang tuaku keterlaluan, Dek. Mereka hanya menganggap Aksa, tetapi lupa padaku."
Aku mengusap dadanya pelan, tidak menyahut. Biarkan dia mengeluarkan rasa kecewanya. Meskipun kami sudah berumah tangga, tetapi anak tetaplah anak bukan? Seperti halnya Bang Agam. Meskipun dia sekarang menjadi seorang suami dan ayah, tetapi tetap saja mengharapkan kasih sayang dari ibunya.
"Ibu bukan lupa, Bang. Mungkin, beliau berpikir kalau Abang sudah dewasa dan bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Ada aku sebagai istri yang bisa memberikan perhatian, jadi mereka--"
"Alan dan Aksa pun sudah dewasa," potong Agam cepat.
Aku terdiam, tidak menjawab lagi. Sejujurnya, aku pun merasakan hal yang sama. Akan tetapi, aku mencoba mengarahkan agar Bang Agam tidak berpikir macam-macam tentang orang tuanya.
Melihat wajahnya yang sendu, aku beranjak dari peluknya. Dia menatapku, lalu berkata, "Kamu mau ke mana?"
"Ambil air minum. Sepertinya, Abang sangat capek, jadi banyak pikiran."
Bang Agam tersenyum kecil, lalu aku secepatnya ke dapur mengambil air. Setelah dia tenang, aku mencoba bertanya.
"Kok, Abang sudah pulang? Memangnya sudah selesai kerjaannya?"
"Sudah, Dek. Emm ... dua hari lagi Abang kerja di rumah itu. Besok, kalo kamu mau, bantuin aku beresin barang-barang anak Pak Wijaya, ya."
"Iya, Bang. Nanti aku bantuin."
Ponsel Bang Agam berdering, dia menerima telepon dengan menjauh dariku. Sebenarnya, siapa, sih, yang sering meneleponnya? Suamiku tidak selingkuh, kan?
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat