Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian.
Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya.
Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan.
"Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu.
"Sudah, Bu."
Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi.
Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh anak-anaknya? Padahal, dengan sawah dan kontrakan yang Bapak miliki, beliau tidak akan kekurangan uang. Ya, meskipun harga sewa kontrakan di sini tidak mahal, tetapi lumayan bukan? Belum lagi uang yang selalu Aksa beri. Entah berapa nominalnya, yang jelas Ibu selalu bercerita kepadaku serta para tetangga kalau kehidupannya dijamin oleh anak bungsunya.
Aku agak ragu dengan ucapan Ibu. Jika kehidupannya dijamin oleh Aksa, mengapa terkadang beliau mengeluh tidak punya uang? Apa maksudnya tidak punya uang puluhan juta gitu?
Pernah suatu hari aku meminjam uang kepada Ibu, sebab Bang Agam belum mendapat panggilan lagi. Beliau bilang, tidak punya uang, hanya ada dua ratus ribu. Aku pinjam seratus untuk membeli beras. Ibu tidak bisa meminjamkan uang, tetapi alhamdulillah beliau memberi satu karung kecil padi untuk aku giling.
Aku meminjam uang kepada Rima untuk biaya penggilingan padi. Seperti biasa, adikku itu malah memberi bukan meminjamkan. Padahal, keuangan dia juga sedang sulit karena Alan masih merintis usahanya, belum banyak langganan.
"Asyik, satenya udah mateng!" sorak Salsa.
"Sekarang sudah kumpul semua, ayok, makan!" titah Ibu.
Aku mengambilkan sate untuk Asti beserta ketupatnya. Ibu dengan cekatan memisahkan sate ke dalam piring yang berbeda untuk Aksa. Ya, sespesial itu adik bungsu Bang Agam. Kata Ibu, takut satenya habis oleh anak-anak, ya Allah.
Alan datang sembari membawa es teh. Dia duduk di samping Rima. Adik kedua Bang Agam itu, sangat perhatian dan sayang sekali kepada istrinya. Seperti saat ini, jemari Alan bermain dengan rambut Rima. Digulungnya rambut itu menggunakan jari, lalu diuraikan kembali. Rima menoleh sembari senyum-senyum. Ah, mereka sangat manis.
"Dalam piring itu sate siapa? Buat Bang Agam?" tanya Alan.
"Bukan, Nak, itu buat Aksa," jawab Ibu.
"Mbak Risa, ambil satenya buat Bang Agam sama ketupatnya juga. Kasihan kan, nanti Abang pulang pasti lapar," titah Alan.
Aku belum berani mengambil sebelum ada perintah dari Ibu atau Bapak. Sebab, aku tahu diri. Siapa aku di mata mereka.
"Agam biar nanti bikin lagi, Lan," ujar Bapak santai.
"Kelamaan, Pak," jawab Alan agak kesal sepertinya. "Udah, Mbak, ambil aja."
Aku menatap Rima, dia mengedipkan matanya. Akan tetapi, tetap saja aku tidak berani. Namun, tanpa diduga, Alan mengambilkan makanan itu dan diberikannya padaku.
"Simpan di lemari dapur, Mbak. Lalu, jangan lupa nanti bawa pulang untuk Bang Agam."
Aku menerimanya sembari melirik ke arah Bapak dan Ibu. Mereka masih tak acuh saja, menyantap makanan tanpa terganggu sedikit pun. Aksa makan sambil memainkan ponsel. Aku ingin sekali menegurnya, apalagi dia menyahut ucapan Bapak tanpa menatap orangnya langsung, tidak sopan!
"Aksa, awas nanti kamu salah ambil! Taruh saja dulu ponselnya," ujarku pada akhirnya.
Aksa menoleh, lalu dia menyimpan ponselnya dengan wajah masam. Bapak menggeleng pelan. Aku tidak peduli, beliau pun sering menegur suamiku karena hal sepele, mengapa Aksa tidak ditegur juga?
Setelah selesai makan, azan Zuhur berkumandang. Sudah biasa, jika berkumpul di rumah Bapak, para lelaki akan pergi salat ke masjid. Ya, ketiga anak beliau memang dibiasakan seperti itu. Akan tetapi, kalau di rumah sendiri, baik itu Alan atau Bang Agam, tidak selalu pergi ke masjid. Terkadang, suamiku akan salat di rumah karena baru pulang kerja. Ya, aku tidak memaksanya untuk ke masjid, setelah memberitahunya secara baik-baik, tetapi dia tidak menggubris, yasudah, yang penting Bang Agam melaksanakan kewajibannya.
"Loh, Pak, Aksa gak diajak ke masjid sekalian?" tanya Alan.
Alan dan Bapak sudah rapi dengan baju koko serta sarung. Ayah dan anak itu akan pergi ke masjid.
"Enggak, kasihan dia capek, Lan. Mau istirahat dulu katanya."
Kulihat Alan mengembuskan napas kasar, mungkin ingin menjawab, tetapi malas ribut, seperti Bang Agam. Akhirnya, lelaki beda generasi itu berangkat ke masjid hanya berdua.
Aku sangat ingat saat pertama kali tinggal di rumah ini. Bapak sering marah ketika Bang Agam salat di rumah. Katanya, lelaki harus salat di masjid. Ya, itu memang benar, tetapi cara Bapak dalam mengajak atau mengingatkan, selalu membentak. Karena anak sulungnya sering tidak menurut, akhirnya Bapak tidak pernah lagi menegur untuk urusan itu.
Aku dan Asti salat lebih dulu di mushola rumah, sedangkan Rima menjaga Salsa, dan Ibu melaksanakan salat di kamarnya.
Setelah Rima dan aku selesai salat, kami menuju dapur untuk mencuci piring bekas makan tadi. Meskipun orang tua Rima cukup kaya, tetapi dia tidak jijik atau malas untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Alan beruntung memiliki istri seperti Rima.
"Mbak, udah selesai? Lantainya udah selesai aku pel."
"Sudah, Rim. Makasih, ya, sudah bantu."
Rima mengangguk, lalu kami menuju ruang keluarga menemani anak-anak main sama mainan baru pemberian Aksa.
Di sana sudah ada Ibu, beliau menemani cucu-cucunya bermain. Ada senang menyelimuti hati. Sebab, Ibu jarang sekali bercanda dengan mereka, terlebih dengan putriku. Maka dari itu, Asti tidak begitu dekat dengan neneknya, pun dengan ibuku.
Terkadang, aku dan Bang Agam sama-sama mengeluh tentang sikap keluarga kami. Tak jarang air mata meluncur bebas membasahi pipiku. Kukira hubungan darah akan lebih kuat dibandingkan dengan uang, tetapi aku salah. Apalagi melihat sikap mertua seperti yang tidak peduli dengan Bang Agam.
Aku dan Rima duduk lesehan di samping Ibu. Beliau menoleh sekilas, lalu kembali bermain dengan anak-anak.
"Mbak Rima, makasih banyak, ya, uangnya udah Ibu belanjakan dipakai keperluan." Ibu membuka obrolan.
Ada nyeri menyelinap diam-diam ke dalam hatiku. Aku belum bisa memberikan materi yang melimpah seperti adik-adik Bang Agam yang lain.
"Sama-sama, Bu." Hanya itu jawaban Rima, dia menatapku. Mungkin, dia takut aku tersinggung atau bagaimana, aku tersenyum lembut ke arahnya. Memberi tahu, kalau aku baik-baik saja.
***
Sepulang dari rumah Ibu, aku langsung menyiapkan sate dan ketupat yang tadi untuk Bang Agam. Ya, bakda Asar tadi, suamiku pulang dan menjemputku di rumah Ibu.Aku memberikan makanan kepada Bang Agam, dia tersenyum lembut. Kuperhatikan wajahnya yang tampak lelah, sepertinya suamiku itu bukan hanya membersihkan kolam renang. Bajunya pun kotor dan basah oleh keringat. Aku menahan sesak di dada, betapa dia sudah berusaha sekuat tenaga. Ya Allah, lancarkanlah urusan suamiku dalam mencari rezeki.
Bapak atau Alan bukan tidak membantu, tetapi Bang Agam tidak mau menerimanya. Dia bersikukuh ingin menunjukkan kepada Bapak kalau dia bisa berhasil tanpa bantuan.
Sebelum menikah, Bang Agam bekerja menjadi pelayan di mall. Keterbatasan ijazah, membuat dia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Setelah menikah satu tahun lebih, barulah Bapak memberi satu petak sawah untuk Bang Agam. Waktu itu, sawah Bapak belum banyak. Suamiku senang telah mendapat bantuan dari orang tuanya. Dia dengan rajin mengurus sawah, ya, meskipun masih dibantu oleh Mang Ujang, tetangga kami. Sebab, suamiku belum terbiasa.
Namun, tiba-tiba Bapak menjual sawah itu untuk biaya sekolah Aksa dan Alan. Terlebih untuk Aksa, dia tidak mau bersekolah di tempat biasa. Dari mulai SMP sampai perguruan tinggi, dia bersekolah di tempat favorit. Tentu saja biayanya tidak murah. Bang Agam sangat kecewa dengan keputusan Bapak, tetapi mau bagaimana lagi, dia tidak punya kuasa untuk membantah atau tidak memberikan sawah tersebut. Sejak saat itu, suamiku tidak mau lagi mendapat bantuan apa pun dari Bapak. Bang Agam berpikir, mengapa harus sawah yang sedang digarapnya yang dijual? Padahal, Bapak mempunyai sawah lain.
"Dek, melamun aja. Ada apa?" tanya Bang Agam.
"Eh, enggak, Bang."
Aku segera membawa piring yang telah kosong ke dapur. Lalu, menghampiri Bang Agam kembali. Kupijat betisnya pelan, dia tampak menikmati."Bagaimana tadi di rumah Ibu?" tanya Bang Agam.
"Kami membuat sate dan makan bersama."
"Apa ada hal lain lagi?"
Aku mengerti maksud pertanyaan Bang Agam. Setiap kali aku pulang dari rumah Ibu, pasti suamiku menanyakan hal lain. Dia sangat hafal dengan sifat orang tuanya. Pasti akan ada ucapan yang menyakitkan hati.
Aku mengulas senyum seraya menggeleng. Kuharap, Bang Agam percaya. Akan tetapi, suamiku tidak bisa dibohongi. Dia mengusap kepalaku, lalu berujar, "Terima kasih sudah kuat dan sabar menjadi istriku."
Ungkapan itu membuatku sesak karena haru. Kami bersitatap, sorot mata Bang Agam masih sama seperti dulu, begitu teduh. Lelaki beralis tebal itu mengusap pipiku. Ah, pipi ini masih saja menghangat ketika disentuh olehnya.
"Mengapa kamu tetap baik kepada Ibu dan Bapak?" Pertanyaan Bang Agam membuatku mengerutkan kening.
"Aku bahkan tidak bisa sepertimu, Dek. Tidak bisa bersikap baik kepada orang-orang yang telah menyakitiku, tetapi kamu berbeda. Itulah, mengapa aku sangat mencintaimu."
"Mungkin itu alasan kita berjodoh, Bang. Berbuat baik itu kepada siapa aja, Bang. Soalnya, kita tidak tahu melalui tangan siapa kita akan mendapatkan pertolongan."
Akhirnya, kami mengobrol sampai menjelang Magrib. Bang Agam menyerahkan uang hasil dari membersihkan kolam renang di rumah Pak Wijaya. Aku mengucap syukur sambil menerima uang itu.
"Dek, aku ingin cerita sesuatu, tapi kamu jangan marah, ya?"
Mataku memicing menatap Bang Agam. Tidak biasanya dia memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu. Ah, lebih tepatnya permohonan agar aku tidak marah. Pria berhidung bangir itu menatapku tanpa berkedip. Mungkin menunggu jawabanku dengan harap-harap cemas.
"Cerita apa, Bang? Jangan bikin aku takut, deh!"
Bang Agam mengembuskan napas pelan, lalu menjawab, "Sebenarnya ...." Bang Agam menggantungkan kalimat.
Bang Agam bercerita dengan wajah berkaca-kaca. Bagaimana tidak, Pak Wijaya memercayakan rumah yang selama ini sering dibersihkan. Katanya, rumah itu akan ditinggali oleh anaknya dari kota. Akan ada dua orang pembantu, dua satpam, dan satu tukang kebun nantinya. Suamiku dipercaya untuk mengawasi para pekerja, sesekali dia bisa membantu. Akan tetapi, Bang Agam harus lebih fokus dengan mengawasi saja. Jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa melalui Bang Agam. Nantinya, dia yang akan menyampaikannya langsung kepada anak Pak Wijaya. Aku mengucap syukur berulang kali. Itu berarti, suamiku akan mempunyai gaji setiap bulannya. Ada harapan untuk mulai menabung dan kami tidak akan kesusahan membeli beras lagi. "Alhamdulillah, Bang, Allah telah memberikan jalan untuk kita mengubah nasib." "Iya, Dek. Perbanyak bersyukur, jangan selalu melihat ke atas, ya. Semoga Allah memudahkan langkah kita." Aku memeluk Bang Agam. Kami memang tidak mempunyai harta yang melimpah, tetapi kami mempunyai jutaan
Sesampainya di rumah, aku langsung minum. Amarahku belum mereda, aku sangat tahu perjuangan Bang Agam. Tanpa terasa, aku menangis. Percayalah, menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan. Awal pernikahan, aku dan Bang Agam berjuang bersama. Ekonomi kami masih di bawah, tetapi aku ikhlas mendampinginya. Yang terpenting, dia bisa menjadi imam yang baik untukku. Bang Agam tidak pernah malu bekerja apa pun, asal halal. Suamiku sempat berjualan es lilin karena kena PHK. Bang Agam tidak mengeluh, padahal jarak yang sering dia tempuh, entah berapa kilometer. Banyaknya penjual es yang kekinian, membuat dia kalah saing. Bukan tidak ingin meniru mereka, tetapi modalnya yang tidak ada. Aku sudah menyarankan untuk meminjam uang kepada Bapak, tetapi beliau bilang uangnya akan digunakan untuk kebutuhan Aksa. Lagi-lagi, suamiku menelan kecewa. Harapan satu-satunya sudah hilang, dia merasa terabaikan oleh orang tua sendiri. Aku hanya bisa menyemangati dia dan berdoa. Lantas, memberitahunya agar ti
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Wanita dengan tubuh tinggi kecil itu mengenakan kacamata cokelat. Rambutnya panjang indah tergerai. Gaun di atas lutut memamerkan kulit pahanya yang mulus. Dia berjalan bak model papan atas, lalu berdiri di samping Aksa sembari merangkul lengannya. "Rim, Ibu dapet karma," bisikku. Sekuat hati aku menahan tawa. "Iya, Mbak. Aku masih ingat saat Ibu dan Bapak komen soal penampilan anak Bu Rika." Iya, saat kuliah, anak Bu Rika naksir berat sama Aksa. Siapa yang tidak jatuh hati kepada adik iparku itu. Kulitnya putih karena sering perawatan. Bajunya selalu rapi serta wangi. Jangan lupakan gayanya yang cool, membuat para gadis terpikat. Ibu tidak suka sama anak Bu Rika karena cara berpakaiannya yang seksi. Selalu memakai celana jeans ketat atau rok pendek di atas lutut. Belum lagi kerah bajunya yang selalu memperlihatkan belahan dadanya. "Pokoknya Ibu gak mau punya mantu kaya anak Bu Rika. Bajunya kaya gak ada lagi, kekurangan bahan begitu," amuk Ibu. "Aku gak suka sama dia, Bu. Lagi
Sore ini aku kembali ke rumah lama. Bang Agam sudah mewanti-wanti agar aku tutup mulut, tidak memberitahukan tentang usaha dan rumah baru kami. Aku tidak bisa menolak, biarkan saja terserah dia mau apa. Sebelum pulang, aku menyempatkan belanja ke supermarket. Mumpung tahu kalau Bang Agam ternyata banyak duit. Dia langsung memberiku kartu ATM. Katanya, kalau aku butuh sesuatu ambil saja. Sebab, dia akan sangat sibuk mengurus usaha baru, yaitu bekerja sama dengan perusahaan di kota. Suamiku berinvestasi di sana bersama Ryan. Ryan mengajari Bang Agam berbagai bisnis. Suami Mita itu sangat baik, tetapi mengapa bisa punya kebiasaan menggoda wanita di luaran sana. Aku akan ke rumah Mita besok. Ya, rumahnya ternyata tepat di depan rumahku yang baru. Saat menjemput Asti tadi di rumah Rima, aku memberikan satu kantong jeruk dan satu kotak donat untuk Salsa. Tadinya, Rima menolak, tetapi aku memaksanya untuk menerima. Aku jelaskan, kalau Bang Agam dapat bonus dari Pak Wijaya. Akhirnya, adik
Pak Ryan mendekat ke arahku. Lalu, dia berkata, "Saya hanya becanda, Mbak. Kami gak akan pergi untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur." Aku tidak memedulikan ucapan Pak Ryan. Aku hanya ingin jawaban dari Bang Agam. Sejauh mana dia akan berbohong. Bukan hanya masalah wanita, tetapi aku penasaran, suamiku akan bertemu dengan siapa dan ada urusan apa. "Ini saatnya Risa tahu, Gam," ujar Mita. Dia juga mendekat ke arahku. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain." Bang Agam pasrah. Aku dituntun oleh Bang Agam untuk duduk di sofa. Mataku tidak terlepas darinya. Aku akan mengintimidasi dia lewat tatapan. Benar saja, Bang Agam mulai bercerita. "Aku punya usaha, Dek. Mita dan Ryan yang membantuku." "Usaha apa?" tanyaku ketus. "Usaha di bidang makanan. Kami membuat resto berkonsep keluarga. Alhamdulillah, Abang sudah punya tiga tempat." Aku terkejut mendengar penuturan Bang Agam. Percaya tidak percaya, tiga tempat dalam waktu berapa bulan, sih? Masa iya membangun usaha secepat itu
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bang Agam memelukku dari belakang sangat erat. Dari suaranya, dia seperti menahan tangis. Aku tidak ingin melihat wajahnya. 11 tahun menikah, baru kali ini kami bertengkar. Padahal, kesengsaraan dan kesedihan telah kami lewati bersama. "Jangan tinggalkan aku! Mita bukan selingkuhanku, tapi dia ...." Kulepaskan tangan Bang Agam yang melingkar di perut. Kubalikan tubuh, menatap matanya dengan nanar. Kami bersitatap, ada sorot kesedihan di matanya. "Dia siapa?" tanyaku lirih. Aku sudah menyiapkan hati seandainya Bang Agam mengatakan hal pahit sekali pun. Aku tidak boleh menyerah. Seharusnya, aku semakin erat menggenggam tangan Bang Agam, bukan malah melepaskan. Karena tidak ada jawaban dari Bang Agam, aku kembali berujar, "Besok aku ingin ikut ke rumah Mita." "Apa? Untuk apa kamu ke sana?" "Kenapa terkejut, Bang? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Bang Ahmad bergeming. Aku tahu, dia pasti tengah bingung sekarang. Jangan coba-coba m
Sepanjang perjalanan pulang dari pasar, pikiranku tidak fokus. Entah mengapa, ucapan Ibu, sikap Mita dan Bang Agam mengganggu sekali. Apa aku melamar jadi pembantu saja, ya, di rumah Mita? Dengan begitu, aku bisa mengawasi gerak-gerik Bang Agam. Aku bahkan sampai lupa, sudah satu minggu terakhir, Bang Agam belanja baju sepertinya. Sebab, aku tidak pernah melihat kemeja-kemeja yang kemarin dia pakai. Aku terlalu fokus dengan kepulangan Aksa sehingga melupakan itu semua. Aku harus menyelidikinya. Bang Agam sudah berubah semenjak Pak Wijaya memintanya sering bekerja. Biasanya, beliau akan menyuruh Bang Agam seminggu dua atau tiga kali. Sekarang, setiap hari suamiku harus ke sana, ada apa coba? Sesampainya di rumah, aku langsung membantu Ibu. Beliau memberikan perintah seperti biasa. Ibu kembali ke mode semula. Akan tetapi, tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu, kalau beliau sayang dan peduli padaku. Buktinya, tadi melabrak Mita di depanku. Selang beberapa menit, Bapak ke dapur. Kukira u
"Belum lama, sih, ada sekitar beberapa bulan. Aku kenal karena dia menantu Pak Wijaya." Kok, aku, masih kurang percaya, ya? Aku mencoba menyusun kalimat lagi. Bertanya, sejauh apa mereka saling mengenal. Akan tetapi, Bang Agam bangun karena lupa sudah berjanji akan bertemu seseorang. Dia segera berganti pakaian, lalu pamit padaku tanpa menunggu jawaban. Ih, Bang Agam menyebalkan! Aku merengut karena kesal. Seandainya aku punya ponsel, pasti aku akan mengganggu dia, tidak peduli sepenting apakah pertemuannya. Tiba-tiba Asti membuka gorden, lalu berucap, "Ibu, aku lupa, tadi kata Tante Rima, main ke sana. Katanya, Tante bikin bakso." "Oh, sekarang, Nak?" "Iya, Bu. Ayok, kita ke sana!" Daripada jengkel di rumah, lebih baik aku ke rumah Rima. Untung saja rumah iparku itu dekat, jadi kami bisa jalan kaki pergi ke sana. Suasana kampung sudah sepi, padahal baru jam setengah delapan. Tidak ada aktifitas anak muda yang bermain gitar atau sekadar bermain kartu. Setelah mengaji bakda Magri
Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. "Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. Mengapa aku jadi curigaan begini, si
Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. "Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. "Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. "Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. "Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. "Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas.
Selesai menerima telepon, Bang Agam berpamitan akan pergi. Sebelum itu, dia sempat mengganti baju sangat rapi. Dulu, Bang Agam tidak begini. Sekarang, dia mulai memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Minyak wangi selalu ada di nakas. "Abang mau ke mana?" tanyaku penuh curiga. "Emm ... aku mau pergi ke rumah Pak Wijaya." "Betul kah?" Aku merapatkan tubuh pada Bang Agam. Suamiku tampak gugup. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Jika pun benar Bang Agam selingkuh, aku tidak akan menangis apalagi memohon untuk dia mengakhiri hubungan dengan wanitanya. Aku istri sah juga ibu dari anaknya. Aku lebih berhak dan berkuasa atas diri Bang Agam. "Benar, Dek. Kamu gak percaya sama aku?" Dia balik bertanya. "Enggak, aku percaya, kok. Yasudah, Abang hati-hati, ya." Aku mencium punggung tangannya. Bang Agam berlalu dengan terburu-buru. Lelaki bertubuh jangkung itu memang sangat tampan, apalagi kalau mempunyai pekerjaan mapan. Aku rasa, akan banyak gadis yang jat