"Apa yang kalian bicarakan? Ada apa lagi?" Suara Bapak membuat kami menoleh. Tidak tahu sejak kapan Bapak di sana dan mendengar pembicaraan kami berdua.
"Katakan! Apa lagi yang masih kamu sembunyikan?" desak Bapak kepada Mas Fajar. "E … em … tidak ada, Pak," sahut Mas Fajar spontan. Aku yakin dia saat ini tidak menjawab dengan jujur. "Ya sudah. Nanti Bapak mau tanya sesuatu. Sekarang subuhan dulu," ucap Bapak berlalu menuju masjid tak jauh dari rumah kami. *** Seperti yang sudah Bapak katakan saat subuh tadi, beliau memanggil Mas Fajar. Mereka duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. Dan di sana hanya mereka berdua. Aku mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan bapakku kepada Mas Fajar. Mendengar jawaban suamiku itu, aku merasa kecewa karena Mas Fajar tidak berbicara jujur dan menutupi kenyataan yang ada. "Bapak mendengar dari orang lain kalau kamu dekat dengan seorang wanita. Benar begitu?" Mas Fajar terlihat salah tingkah. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana dia menyembunyikan wajahnya sementara kedua tangannya saling meremas satu sama lain. "Apa benar, Fajar?" ulang Bapak menuntut jawaban. "Sudah tidak lagi, Pak," sahut Mas Fajar. Hatiku terasa sakit mendengar jawaban mas Fajar. Ternyata benar dugaanku selama ini kalau Mas Fajar memiliki kekasih lain meski saat ini dia mengaku kalau sudah tidak lagi dekat dengan wanita itu. Aku pun melihat raut kecewa bapakku usai mendapat jawaban dari Mas Fajar. Beliau lantas menasehati suamiku itu agar berubah dan tak mengulangi hal yang sama. Hanya saja aku sudah tidak lagi terlalu percaya dengan suamiku. Kepercayaanku mulai terkikis karena kebohongan demi kebohongan yang dia sembunyikan. Dia saja bisa berbohong di depan bapakku, apalagi kepadaku? Suara notifikasi pesan membuyarkan fokusku dalam menguping pembicaraan mertua dan menantu di teras rumahku. Aku menoleh ke arah meja kecil yang ada di sudut ruang tamu di mana sebuah ponsel sedang diisi dayanya. Bukan milikku, melainkan milik Mas Fajar. [Mas, nanti bisa mengantarku seperti biasa?] Sebuah pop-up pesan di layar depan benda pipih yang masih menyala itu membuat jantungku kembali berdetak tak karuan. Bukan karena jatuh cinta. Tapi karena dugaanku benar bahwa Mas Fajar masih memiliki hubungan dengan wanita lain seperti yang dikatakan olehnya beberapa saat lalu di hadapan Bapak. Ku lihat nama pengirim pesan itu. Namun ternyata Mas Fajar tak memberi nama asli siapa orang itu. Pantas saja selama ini kebohongannya tidak mudah dibongkar. Hanya saja, aku bertekad akan mencari tahu siapa orang yang selama ini bertukar pesan mesra dengan Mas Fajar. Aku pun akan mencari tahu sejauh apa hubungan mereka. Bunyi notifikasi pesan dari ponselku membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan dari Rania aku terima. Katanya dia akan bertamu ke rumah. Aku bimbang, apalagi keadaan di rumah saat ini sedang tidak kondusif. Ingin menolak kedatangan sahabatku itu namun rasanya tak nyaman. Pada akhirnya aku mengiyakan, mempersilakan Rania untuk datang. Tak lama Mas Fajar dan Bapak selesai berbincang. Entah apa lagi yang tadi mereka bicarakan, aku tak lagi fokus mendengarkan. Hanya inti yang aku tangkap, Bapak memperingatkan Mas Fajar untuk jujur agar masalahnya lekas usai. "Sarapannya sudah siap?" tanya Mas Fajar saat memasuki rumah. Aku menggeleng. Mana sempat memasak sementara pikiran kacau. Apalagi urusan mobil, meski kendaraan itu sudah kembali, masalah belum sepenuhnya selesai. Mungkin urusan dengan Bapak sudah. Tapi dengan keluarga besarku masoh belum. "Beli saja gapapa?" tawarku. Mas Fajar mengangguk. Bisa aku lihat raut kecewa yang tercetak jelas di wajahnya. Namun, aku bisa apa. Masalah yang terjadi hari ini pun karena keputusannya yang gegabah. Gegas ku keluarkan motor dari garasi rumah, kulajukan kuda besi itu menuju warung makan tak jauh dari rumah. Aku membeli 3 bungkus nasi, untukku, Rania dan juga Mas Fajar. Oh, aku lupa memberitahu suamiku itu kalau Rania akan datang bertamu pagi ini. Usai membeli sarapan, gegas aku pulang ke rumah. Ku lihat sebuah motor matic lain terparkir di carport samping teras. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Rania. Aku mengucap salam dan gegas memasuki rumah. Ku lihat Mas Fajar baru saja membuatkan minuman bagi tamu yang datang. "Tuh, orangnya udah datang," celetuk Mas Fajar saat aku memasuki ruang tamu rumahku yang pintunya terbuka lebar. Rania tersenyum dan menyambut kedatanganku. "Sudah dari tadi?" sapaku?" "Enggak. Ini baru aja datang," sahut Rania. "Aku kira datang bareng Shakila," ucapku berbasa-basi, "ayo sarapan bareng!" Rania menolak. Namun, aku memaksa karena memang aku membeli nasi bungkus tiga. Mas Fajar pun tak mempermasalahkan dan dia juga membujuk Rania untuk sarapan bersama. "Adelia belum bangun?" tanya Rania di sela sarapan. "Tadi subuh bangun. Tapi terus tidur lagi," sahutku. Rania menganggukkan kepalanya. Ku lihat dia tersenyum singkat. Entah apa yang membuatnya tersenyum padahal tidak ada hal lucu yang tengah kami bicarakan. "Kamu hari ini ada acara nggak?" tanya Rania tiba-tiba. Aku mengernyit. Entah mengapa aku merasa sedikit aneh dengan pertanyaan Rania. "Kayaknya sih nggak ada. Kenapa?" Aku kembali bertanya. "Gapapa sih. Takutnya kamu lagi sibuk aja. Tadinya mau curhatin sesuatu," ucap Rania melirik ke arah Mas Fajar yang sedang menikmati makanannya. Aku menangkap sebuah isyarat dari Rania. Namun, aku tak yakin apa yang dimaksud perempuan itu adalah ingin bicara berdua denganku nanti kalau gak ada Mas Fajar? "Nanti aja kalau gitu," ucapku setengah berbisik. Rania pun mengangguk. "Mas abis ini mau ke bengkel. Servis motor kamu. Abis itu mau ke rumah ibu," ucap Mas Fajar seolah paham kalau aku dan Rania butuh waktu bicara berdua. Aku mengangguk seraya tersenyum. "Pulangnya jangan terlalu malam dari rumah Ibu," sahutku. Hari ini Mas Fajar libur kerja. Biasanya memang kalau libur, dia mengajakku dan Adelia ke rumah orangtuanya. Karena hari ini ada Rania dan adanya jadwal rutin motor diperiksa di bengkel, dia berangkat sendiri. "Mas berangkat dulu, ya?" ucap Mas Fajar usai sarapan. Aku pun mengangguk seraya tersenyum mengantar kepergiannya hingga depan rumah. Beberapa saat kemudian, kulihat Rania menenteng tas selempang yang biasa dia bawa. Ponselnya pun masih di tangannya. Dia pun selesai sarapan. "Yar, aku balik dulu ya. Ini pacarku telepon ngajak ketemuan. Nanti kita ngobrol lewat telepon aja," ucapnya sembari mengangkat benda pipih di tangannya. Dia tampak terburu-buru. "Oh, ya udah kalau gitu." Aku pun mengangguk dan mengantarnya hingga depan rumah. Setelah melihat kepergian mereka berdua, fokusku teralihkan pada sebuah benda pipih yang masih ada di meja kecil di sudut ruang tamu. Mas Raka lupa membawa ponselnya. Ku lihat sebuah pesan di sana. [Mas, sudah sampai mana? Aku tunggu di bengkel ya?]"Bagaimana dia bisa tahu kalau Mas Fajar hendak ke bengkel hari ini? Apa mereka ada janji? Dia sebenarnya siapa?" Aku bergumam pada diri sendiri seraya memegang benda pipih milik Mas Fajar yang terkunci.Khawatir Mas Fajar membutuhkan ponselnya, aku berniat untuk mengantar benda itu kepada pemiliknya. Hanya saja saat aku melewati teras, aku berpikir, dengan apa aku menyusul Mas Fajar? Motorku 'kan dibawa dia ke bengkel.Rasanya aku ingin mengutuk diri sendiri yang sedikit sulit berpikir cepat karena kejadian sebelumnya. Aku masih merasa masalah itu belum sepenuhnya selesai.Saat hendak berbalik, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku pikir orang lain, ternyata itu Mas Fajar yang kembali pulang. Sudah bisa aku tebak apa yang hendak dia ambil karena terlupa."Yang, ponsel," ucapnya saat melihatku berdiri di teras.Aku pun mengangguk dan berjalan menghampirinya. Benda pipih yang dia maksud masih ada di tanganku. Setelahnya, dia pamit kembali ke tujuan semula.Setelah kepe
"Mendong Mbak lihat dulu deh, siapa orangnya. Barangkali Mbaknya tahu," ucap pemilik bengkel yang masih menatap iba ke arahku.Ya, aku yakin dia merasa kasihan kepadaku. Apalagi karena kejadian ini, dia tahu kalau aku mendapat pengkhianatan dari suamiku."Ngga usah kayaknya mending enak langsung dilabrak aja," sahutku datar."Iya, Mbak. Laki-laki ngga setia gitu mah cemen. Masa beraninya sembunyi-sembunyi dari istri. Aku kalau udah nikah, ngga bakal istriku aku duain gitu," timpal pekerja bengkel yang menangani motorku mengompori."Emang kamu udah ada istri, Jo?" tanya sang pemilik bengkel."Hehe, belum bos. Masih nyari. Maaf, Bos. Maaf, Mbak. Abisnya kesel. Dia udah punya istri cantik gini malah nyari cewek baru. Saya aja nyari satu susah dapat. Padahal nih, Mbak, wajah suami Mbaknya itu biasa aja, pas-pasan. Lebih ganteng Pak Bos-"Ucapan pria yang tangan dan pakaian kerjanya lebih banyak noda hitam itu terhenti saat pria berkacamata di dekatku berdeham cukup keras. Tanpa sadar aku
"ada apa? Kenapa aku ngga boleh sampai tahu?" tanyaku penuh selidik.Bisa kulihat dengan jelas dua perempuan di hadapanku saling sikut, memberi kode yang hanya mereka pahami maksudnya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanyaku lagi.Kulihat Shakila menarik napas panjang sebelum menghempaskannya dengan kasar. Dia lantas meraih tanganku yang kebetulan ada di atas meja."Tadinya kami mau memberi kejutan untuk ulangtahunmu. Tapi karena kamu lebih dulu tahu, kami merasa gagal," ucap Shakila dengan raut wajah sedihnya. Begitu pula dengan Rania yang mengangguk dan memasang wajah sedih."Jadinya gagal deh ngasih kamu kejutan ulangtahun," ucap Rania yang kini angkat suara.Aku mengerjap sesaat. Mengingat-ingat kembali kalau memang ulang tahunku tak lama lagi akan tiba. Aku sendiri sudah lupa. Sementara dua orang di hadapanku mengingatnya."Ya udah, aku pura-pura ngga tau aja, deh!" ucapku bercanda.Mereka kompak berdecak. "Mana bisa gitu!" sahut Rania dan Shakila hampir bersamaan. Dan kami pun
“Yang, Shakila sama Rania mau mampir. Kamu siap-siap ya,” ucap suamiku sore itu.Aku mengernyit bingung. Kenapa Shakila dan Rania menghubungi suamiku? Bukan menghubungiku ke ponselku?“Baik, Mas.” Hanya itu jawaban yang bisa ku lontarkan.Biasanya kalau dua orang temanku itu berkunjung saat sore hari, mereka pasti akan menginap. Dan suamiku sudah paham akan hal itu.Hanya saja aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dengan suamiku. Dia merasa bahagia meski nantinya ia harus mengurus anak kami. Tak seperti hari biasanya saat aku meminta tolong untuk menjaga anak kami sebentar.Belum terlalu sore, seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang ke rumah kami. Wanita itu mengutarakan niatnya untuk menyewa mobil kami, tanpa sopir.“Nanti anak saya yang akan menjadi sopirnya, Pak. Saya mau sewa empat hari karena mau iring-iringan pengantin ke Blitar,” ucap wanita itu.“Oh, begitu. Baik, Bu. Bisa. Nanti hari Minggu siang, mobilnya harus kembali ke sini ya. Kebetulan banget soalnya, sopirnya ada ac
“Sudah bangun, Ki?” sapa ku kepada wanita itu sembari tersenyum.“Em.” Dia menganggukkan kepalanya.“Kamu mau masak?” tanyanya kemudian.“Iya-““Aku bantuin, ya?” tawarnya.Aku mengangguk. Tak ada salahnya kalau aku menggunakan tenaga ya, bukan?Meskipun aku sanggup memasak dalam porsi banyak, bukankah itu hal bagus kalau ada yang membantu? Lebih efisien dan lebih ringan.***Kami berdua memasak banyak menu. Aku yakin makanan yang terhidang itu akan habis. Karena yang akan menghabiskan sarapan pagi itu bertambah dua orang. Belum lagi dua wanita itu akan lebih banyak menghabiskan sayur dan makanan yang mengandung protein. Mereka sedikit makan nasi. Tak sepertiku.Aku yang masih belum menyapih putriku, sering kali merasa lapar. Kalau tak mengonsumsi nasi, rasa lapar masih selalu menghampiri. Tak heran kalau bentuk tubuhku tak seperti dulu lagi.Berat badanku yang sebelumnya hanya empat puluh lima kilo, kini bertambah menjadi lima puluh tujuh kilo. Lengan dan kaki yang membengkak dan per
"Siapa dia? Mengapa jam segini mengirim pesan ke nomor Mas Fajar? Tapi, mengapa tidak ada riwayat chatnya?"Dadaku bergemuruh setelah melihat pesan yang tak biasa. Sebisa mungkin aku berusaha menetralkan emosi yang rasanya hendak meledak ini. Ku kembalikan ponsel suamiku di tempat sebelumnya agar suamiku tak tahu bahwa aku mengecek ponselnya. Ku coba memejamkan kedua mataku, berharap setelah ini aku bisa terlelap ke alam mimpi. Susah! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ibadah di sepertiga malam yang sudah hampir usai karena mendekati waktu subuh. Ku adukan semuanya kepada Sang Pencipta. Aku meyakini bahwa Tuhanku akan mengabulkan doa makhluknya yang benar-benar meminta dan ikhlas. Usai salat malam, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Perlahan tapi pasti, perasaan resah yang sebelumnya menggelayuti, kini telah pergi. Hingga aku terpejam dan kembali ke alam mimpi. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku terbangun di sekitar jam itu, kadang pukul em
"Bagaimana, Mas?"Mas Fajar terdiam. Ia tampak berpikir tentang jawaban dari pertanyaan ku.Aku hanya berjaga-jaga agar hal itu tak terulang lagi. Orang lain mungkin berpikir bahwa aku terlalu posesif.Tidak!Aku bukan orang picik yang memaksa hati orang lain untukku. Kalau pun ia benar memiliki perasaan dengan orang lain, aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya. Sehingga hati ini bisa siap menerima kenyataan yang mau tak mau harus ku hadapi di depan mata.Lebih baik mengetahui dan mempersiapkan diri di awal daripada sakit hati belakangan, bukan?"Aku hanya bisa berjanji bahwa aku tak akan mengulangi yang sama," ujar Mas Fajar menjawab pertanyaan ku."Apa yang akan menjadi jaminan bahwa kamu akan memegang perkataan mu?""Aku tak bisa menjamin apa-apa. Tapi aku berjanji kalau kamu tak akan pernah mendapati aku berbalas pesan seperti itu lagi di kemudian hari." Mas Fajar berjanji.Aku terdiam, meski merasa tak puas dengan jawabannya aku rasa jawaban pria yang seatap denganku itu
Panik? Pasti.Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopanSaya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?"Lacak GPS!"aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk
"ada apa? Kenapa aku ngga boleh sampai tahu?" tanyaku penuh selidik.Bisa kulihat dengan jelas dua perempuan di hadapanku saling sikut, memberi kode yang hanya mereka pahami maksudnya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanyaku lagi.Kulihat Shakila menarik napas panjang sebelum menghempaskannya dengan kasar. Dia lantas meraih tanganku yang kebetulan ada di atas meja."Tadinya kami mau memberi kejutan untuk ulangtahunmu. Tapi karena kamu lebih dulu tahu, kami merasa gagal," ucap Shakila dengan raut wajah sedihnya. Begitu pula dengan Rania yang mengangguk dan memasang wajah sedih."Jadinya gagal deh ngasih kamu kejutan ulangtahun," ucap Rania yang kini angkat suara.Aku mengerjap sesaat. Mengingat-ingat kembali kalau memang ulang tahunku tak lama lagi akan tiba. Aku sendiri sudah lupa. Sementara dua orang di hadapanku mengingatnya."Ya udah, aku pura-pura ngga tau aja, deh!" ucapku bercanda.Mereka kompak berdecak. "Mana bisa gitu!" sahut Rania dan Shakila hampir bersamaan. Dan kami pun
"Mendong Mbak lihat dulu deh, siapa orangnya. Barangkali Mbaknya tahu," ucap pemilik bengkel yang masih menatap iba ke arahku.Ya, aku yakin dia merasa kasihan kepadaku. Apalagi karena kejadian ini, dia tahu kalau aku mendapat pengkhianatan dari suamiku."Ngga usah kayaknya mending enak langsung dilabrak aja," sahutku datar."Iya, Mbak. Laki-laki ngga setia gitu mah cemen. Masa beraninya sembunyi-sembunyi dari istri. Aku kalau udah nikah, ngga bakal istriku aku duain gitu," timpal pekerja bengkel yang menangani motorku mengompori."Emang kamu udah ada istri, Jo?" tanya sang pemilik bengkel."Hehe, belum bos. Masih nyari. Maaf, Bos. Maaf, Mbak. Abisnya kesel. Dia udah punya istri cantik gini malah nyari cewek baru. Saya aja nyari satu susah dapat. Padahal nih, Mbak, wajah suami Mbaknya itu biasa aja, pas-pasan. Lebih ganteng Pak Bos-"Ucapan pria yang tangan dan pakaian kerjanya lebih banyak noda hitam itu terhenti saat pria berkacamata di dekatku berdeham cukup keras. Tanpa sadar aku
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Mas Fajar hendak ke bengkel hari ini? Apa mereka ada janji? Dia sebenarnya siapa?" Aku bergumam pada diri sendiri seraya memegang benda pipih milik Mas Fajar yang terkunci.Khawatir Mas Fajar membutuhkan ponselnya, aku berniat untuk mengantar benda itu kepada pemiliknya. Hanya saja saat aku melewati teras, aku berpikir, dengan apa aku menyusul Mas Fajar? Motorku 'kan dibawa dia ke bengkel.Rasanya aku ingin mengutuk diri sendiri yang sedikit sulit berpikir cepat karena kejadian sebelumnya. Aku masih merasa masalah itu belum sepenuhnya selesai.Saat hendak berbalik, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku pikir orang lain, ternyata itu Mas Fajar yang kembali pulang. Sudah bisa aku tebak apa yang hendak dia ambil karena terlupa."Yang, ponsel," ucapnya saat melihatku berdiri di teras.Aku pun mengangguk dan berjalan menghampirinya. Benda pipih yang dia maksud masih ada di tanganku. Setelahnya, dia pamit kembali ke tujuan semula.Setelah kepe
"Apa yang kalian bicarakan? Ada apa lagi?" Suara Bapak membuat kami menoleh. Tidak tahu sejak kapan Bapak di sana dan mendengar pembicaraan kami berdua."Katakan! Apa lagi yang masih kamu sembunyikan?" desak Bapak kepada Mas Fajar."E … em … tidak ada, Pak," sahut Mas Fajar spontan.Aku yakin dia saat ini tidak menjawab dengan jujur."Ya sudah. Nanti Bapak mau tanya sesuatu. Sekarang subuhan dulu," ucap Bapak berlalu menuju masjid tak jauh dari rumah kami.***Seperti yang sudah Bapak katakan saat subuh tadi, beliau memanggil Mas Fajar. Mereka duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. Dan di sana hanya mereka berdua.Aku mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan bapakku kepada Mas Fajar. Mendengar jawaban suamiku itu, aku merasa kecewa karena Mas Fajar tidak berbicara jujur dan menutupi kenyataan yang ada."Bapak mendengar dari orang lain kalau kamu dekat dengan seorang wanita. Benar begitu?"Mas Fajar terlihat salah tingkah. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana dia menyemb
Panik? Pasti.Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopanSaya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?"Lacak GPS!"aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk
"Bagaimana, Mas?"Mas Fajar terdiam. Ia tampak berpikir tentang jawaban dari pertanyaan ku.Aku hanya berjaga-jaga agar hal itu tak terulang lagi. Orang lain mungkin berpikir bahwa aku terlalu posesif.Tidak!Aku bukan orang picik yang memaksa hati orang lain untukku. Kalau pun ia benar memiliki perasaan dengan orang lain, aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya. Sehingga hati ini bisa siap menerima kenyataan yang mau tak mau harus ku hadapi di depan mata.Lebih baik mengetahui dan mempersiapkan diri di awal daripada sakit hati belakangan, bukan?"Aku hanya bisa berjanji bahwa aku tak akan mengulangi yang sama," ujar Mas Fajar menjawab pertanyaan ku."Apa yang akan menjadi jaminan bahwa kamu akan memegang perkataan mu?""Aku tak bisa menjamin apa-apa. Tapi aku berjanji kalau kamu tak akan pernah mendapati aku berbalas pesan seperti itu lagi di kemudian hari." Mas Fajar berjanji.Aku terdiam, meski merasa tak puas dengan jawabannya aku rasa jawaban pria yang seatap denganku itu
"Siapa dia? Mengapa jam segini mengirim pesan ke nomor Mas Fajar? Tapi, mengapa tidak ada riwayat chatnya?"Dadaku bergemuruh setelah melihat pesan yang tak biasa. Sebisa mungkin aku berusaha menetralkan emosi yang rasanya hendak meledak ini. Ku kembalikan ponsel suamiku di tempat sebelumnya agar suamiku tak tahu bahwa aku mengecek ponselnya. Ku coba memejamkan kedua mataku, berharap setelah ini aku bisa terlelap ke alam mimpi. Susah! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ibadah di sepertiga malam yang sudah hampir usai karena mendekati waktu subuh. Ku adukan semuanya kepada Sang Pencipta. Aku meyakini bahwa Tuhanku akan mengabulkan doa makhluknya yang benar-benar meminta dan ikhlas. Usai salat malam, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Perlahan tapi pasti, perasaan resah yang sebelumnya menggelayuti, kini telah pergi. Hingga aku terpejam dan kembali ke alam mimpi. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku terbangun di sekitar jam itu, kadang pukul em
“Sudah bangun, Ki?” sapa ku kepada wanita itu sembari tersenyum.“Em.” Dia menganggukkan kepalanya.“Kamu mau masak?” tanyanya kemudian.“Iya-““Aku bantuin, ya?” tawarnya.Aku mengangguk. Tak ada salahnya kalau aku menggunakan tenaga ya, bukan?Meskipun aku sanggup memasak dalam porsi banyak, bukankah itu hal bagus kalau ada yang membantu? Lebih efisien dan lebih ringan.***Kami berdua memasak banyak menu. Aku yakin makanan yang terhidang itu akan habis. Karena yang akan menghabiskan sarapan pagi itu bertambah dua orang. Belum lagi dua wanita itu akan lebih banyak menghabiskan sayur dan makanan yang mengandung protein. Mereka sedikit makan nasi. Tak sepertiku.Aku yang masih belum menyapih putriku, sering kali merasa lapar. Kalau tak mengonsumsi nasi, rasa lapar masih selalu menghampiri. Tak heran kalau bentuk tubuhku tak seperti dulu lagi.Berat badanku yang sebelumnya hanya empat puluh lima kilo, kini bertambah menjadi lima puluh tujuh kilo. Lengan dan kaki yang membengkak dan per
“Yang, Shakila sama Rania mau mampir. Kamu siap-siap ya,” ucap suamiku sore itu.Aku mengernyit bingung. Kenapa Shakila dan Rania menghubungi suamiku? Bukan menghubungiku ke ponselku?“Baik, Mas.” Hanya itu jawaban yang bisa ku lontarkan.Biasanya kalau dua orang temanku itu berkunjung saat sore hari, mereka pasti akan menginap. Dan suamiku sudah paham akan hal itu.Hanya saja aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dengan suamiku. Dia merasa bahagia meski nantinya ia harus mengurus anak kami. Tak seperti hari biasanya saat aku meminta tolong untuk menjaga anak kami sebentar.Belum terlalu sore, seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang ke rumah kami. Wanita itu mengutarakan niatnya untuk menyewa mobil kami, tanpa sopir.“Nanti anak saya yang akan menjadi sopirnya, Pak. Saya mau sewa empat hari karena mau iring-iringan pengantin ke Blitar,” ucap wanita itu.“Oh, begitu. Baik, Bu. Bisa. Nanti hari Minggu siang, mobilnya harus kembali ke sini ya. Kebetulan banget soalnya, sopirnya ada ac