Ada yang Menghubungi Semalam

"Siapa dia? Mengapa jam segini mengirim pesan ke nomor Mas Fajar? Tapi, mengapa tidak ada riwayat chatnya?"

Dadaku bergemuruh setelah melihat pesan yang tak biasa. Sebisa mungkin aku berusaha menetralkan emosi yang rasanya hendak meledak ini.

Ku kembalikan ponsel suamiku di tempat sebelumnya agar suamiku tak tahu bahwa aku mengecek ponselnya.

Ku coba memejamkan kedua mataku, berharap setelah ini aku bisa terlelap ke alam mimpi. Susah!

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ibadah di sepertiga malam yang sudah hampir usai karena mendekati waktu subuh. Ku adukan semuanya kepada Sang Pencipta. Aku meyakini bahwa Tuhanku akan mengabulkan doa makhluknya yang benar-benar meminta dan ikhlas.

Usai salat malam, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Perlahan tapi pasti, perasaan resah yang sebelumnya menggelayuti, kini telah pergi. Hingga aku terpejam dan kembali ke alam mimpi.

Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku terbangun di sekitar jam itu, kadang pukul empat lebih lima belas menit atau kurang lima belas menit.

Suara azan berkumandang. Sudah waktunya subuh di mana tak lama lagi pagi akan tiba.

Ku bangunkan suamiku yang masih tampak lelap di tidurnya. Aku tak ingin membuatnya melewatkan kewajibannya untuk beribadah sebagai seorang hamba.

"Mas, ayo bangun, sudah hampir pagi. Salat subuh dulu. Kalau memang masih ngantuk setelah subuhan, bisa tidur lagi," ucapku.

Melihatnya kelelahan seperti itu sungguh aku tak tega. Bagaimanapun dia masih suamiku.

Dia pun bangun, berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.

Ku hamparkan dua buah sajadah untuk kami salat. Aku sudah bersiap dengan mukena ku. Beberapa saat kemudian, putri kami tampak terusik tidurnya. Aku pun menghampiri putri kecilku dan menenangkannya, berharap gadis kecil itu kembali tertidur.

"Aku salat subuh duluan ya?" tanya Mas Fajar yang baru saja ku lihat sudah keluar dari kamar mandi.

"Iya'" jawabku singkat.

Aku masih dalam posisiku menemani putri kecilku yang sedikit rewel karena merasa terganggu akan suara pergerakan kecil disekitarnya. Kulihat Mas Fajar yang sedang melaksanakan salat subuh itu dengan saksama. Pikiranku pun melayang, membayangkan akan bagaimana reaksi pria yang kini melakukan tiap gerakan salat wajib dua rakaat itu.

Melihat putri kecil kami yang kembali terlelap, perlahan aku bergerak ke arah sajadah yang sudah terhampar di belakang Mas Fajar. Pria itu sedang melakukan gerakan sujud terakhir di rakaat kedua, dan aku mengikuti gerakannya usai melakukan gerakan takbir.

Beberapa saat kemudian, ia sudah menyelesaikan salatnya sementara ku melengkapi salatku agar sempurna.

Usai berdoa, pria itu bergegas menuju tempat tidur kami tanpa merapikan sajadah yang ia pakai sebelumnya.

Beberapa menit berikutnya, salatku pun selesai. Ku lantunkan doa kepada Sang Pencipta agar hatiku tak goyah saat mendapati kenyataan yang akan disampaikan oleh suamiku. Tak hanya itu, aku berdoa agar semua perkataan ku akan lancar ku ucapkan.

Dengan cukup santai, ku lihat Mas Fajar sedang mengangkat bantal dan selimut yang dia kenakan sebelumnya. Bahkan, laci meja dan lemari yang berada di kamar kami tak luput dari pemeriksaannya.

"Cari apa, Mas?" tanyaku dengan suara yang aku buat setenang mungkin.

Meski jantungku berdetak tak karuan, sebisa mungkin aku berusaha untuk tampak tenang. Tanganku sedikit bergetar. Namun, aku berusaha agar suaraku tak bergetar.

"Kamu lihat hapeku, nggak?" tanya Mas Fajar masih mencari benda pipih itu ke tempat-tempat di mana ia biasa meletakkan benda itu.

"Memangnya semalam kamu taruh mana?" tanyaku masih berpura-pura tak tahu.

"Seingat ku semalam aku menaruhnya di atas meja ini. Tapi kenapa tak ada. Apa mungkin kamu memindahkannya?"

Aku tersenyum. Perlahan aku berjalan mendekat ke arahnya. Ku tuntun dia untuk duduk di tepi ranjang agar tak lagi gusar. Aku tak ingin si kecil kembali terbangun dan membuat pembicaraan kami tak menemukan titik terang.

"Ini ponselmu," ujar ku sembari memberikan benda pipih berwarna hitam miliknya.

Mas Fajar menerima ponselnya dengan wajah sumringah. Namun, sesaat kemudian raut wajahnya berubah.

"Ada yang menghubungimu semalam! Foto profilnya seorang perempuan," ucapku berusaha tegar.

Mas Fajar kembali gusar. Tangannya yang tengah memegang ponsel itu tampak bergetar. Ia pun tampak tak nyaman duduk berdampingan denganku.

"Namanya Cahya," ucapku lagi sembari tersenyum.

Mas Fajar masih terdiam. Dia tampak kehabisan kata-kata. Kedua matanya tak berani menatap ke arahku. Wajahnya pun ia tundukkan seperti seorang yang melakukan kesalahan.

"Siapa dia, Mas?" tanyaku lagi.

"Dia hanya teman. Bukan siapa-siapa," ujarnya berusaha membela diri.

"Teman? Kalau teman, kenapa kamu hapus percakapan antara kalian sebelumnya?" tanyaku.

"Ya karena bukan hal yang penting," elaknya.

Aku tersenyum miring. Aku sudah hafal karakter Mas Fajar. Dia akan menghapus percakapan teman-temannya kecuali memang ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Kalau bukan hal penting dan hanya teman, apakah mungkin seorang teman wanita menghubungi saat dini hari? Itu bukan hal yang wajar," ucapku masih berusaha menahan gemuruh yang rasanya ingin meledak.

Mas Fajar masih terdiam. Dia diam karena dia salah. Seperti itulah pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu, tak berkutik sembari mengusap layar ponselnya yang tidak dalam keadaan menyala.

"Siapa dia?" tanya ku tanpa sedikit pun emosi dalam setiap perkataan ku.

"Dia temannya Kak Afan. Seorang perwira polisi yang waktu itu kita temui di pameran."

"Oh. Lalu?" tanyaku singkat.

"Dia janda beranak satu. Kami hanya teman," ujarnya membela diri.

"Janda, ya? Lalu bagaimana ceritanya kalian bisa kenal?" tanyaku lagi.

"Mas Afan menitipkannya kepadaku. Dia seseorang yang sangat dekat dengan Mas Afan."

Adalah hal aneh jika seorang perwira polisi yang sudah memiliki istri mengenalkan seorang wanita lain yang dekat dengannya kepada orang lain. Sesuatu hal yang aneh dan tak benar ada di sini.

"Tak mungkin kalau pria beristri menitipkan orang dekatnya kepada orang lain," ujarku.

"Ya, memang dia wanita lain dari Mas Afan," celetuk Mas Fajar.

"Aku tak peduli entah dia wanita lain dari Mas Afan. Yang aku heran, kenapa dititipkan ke kamu? Kamu menafkahinya? Apa mungkin???" tanyaku dengan penuh selidik.

Mas Fajar kembali salah tingkah.

"Aku tak akan menghubunginya lagi," ujar Mas Fajar berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Aku tak peduli kamu berkata tak akan menghubunginya atau tidak. Karena bisa saja kalian kembali berhubungan tanpa sepengetahuanku," ujar ku.

Mas Fajar gugup. Ia menelan ludahnya kasar.

Aku tak semudah itu percaya dengan orang lain, kini mengalami krisis kepercayaan kepada suamiku sendiri. Bukan tanpa sebab, semua reaksinya sangat jelas membuat siapa pun curiga. Dia sudah pernah bertukar pesan mesra dengan orang lain sebelumnya. Dan tak menutup kemungkinan kejadian yang sama akan terulang kembali.

"Bagaimana kalau misal suatu hari nanti aku mendapati hal yang sama? Mendapati pesan dari wanita lagi di ponselmu yang mungkin lebih mesra dari percakapan teks yang kamu hapus itu?"