Apa yang Kalian Sembunyikan?

Panik? Pasti.

Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.

Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.

Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.

Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopan

Saya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.

Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.

Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.

Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.

Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.

Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?

"Lacak GPS!"

aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk mencari keberadaan mobil itu.

Benar saja, mobil itu terlacak berada di kota yang sama. Bergerak dari wilayah kota ke wilayah kabupaten.

Tak menunggu lama, aku meminta Mas Fajar mengikuti arah perginya mobil sesuai GPS yang terhubung dengan ponselnya. Dia pergi bersama dua orang kakak sepupuku untuk berjaga agar tak sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Apakah ini karma tunai karena Mas Fajar mencurangi aku selama ini?

"Rabbi ... ampuni hamba mu ini. Berilah kemudahan dalam pencarian kami," ucapku lirih

Aku memilih mengambil air wudhu, menyucikan diri sebelum melaksanakan salat sunnah dua rakaat. Setelah itu ku hamparkan sajadah dan memakai mukenah. Lalu melaksanakan tiap rukun salat dengan khusyuk.

Jujur saja aku khawatir, takut, dan merasakan perasaan campur aduk. Tak luput rasa menyesal dalam hati, mengapa waktu itu mengalah begitu saja dengan bujuk rayu Mas Fajar.

Terlintas pikiran buruk tentang Mas Fajar. Apakah mungkin Mas Fajar sengaja dan terlibat? Tapi tidakkah ia tahu resikonya?

"Sabar ya, Nduk," ucap ibu menghampiriku kala itu.

"Ya, Bu. Terima kasih. Mohon maaf jika sudah menyinggung ibu sehingga hal ini terjadi," ungkap ku kepada ibu kandungku saat aku menceritakan apa yang terjadi.

"Ini ujian kamu. Ibu yakin kamu bisa melewatinya," ucapnya sembari tersenyum.

"Ya, aku pasti bisa melewatinya. InsyaaAllah," sahutku.

Aku mendapat kabar dari Mas Fajar kalau mobil kami sudah ada dalam pantauan. Mas Fajar dan sepupuku tak serta merta bergerak. Mereka memantau mobil dari kejauhan. Melihat apakah Bu Endang juga ada di dalam sana.

Tidak ada!

Mobil kami dikendarai oleh orang lain yang tak kami kenal. Seorang pria dengan tubuh tegap dan tampak penuh luka, keluar dari mobil kami memasuki sebuah rumah sederhana tak jauh dari tempat mereka mengawasi mobil. Dan semua informasi itu aku dapatkan dari Mas Fajar yang aku pinta untuk selalu bertukar kabar.

Mas Fajar tak memberi aku kabar lagi setelah sore itu mengatakan bahwa mobil kembali dibawa ke lokasi berbeda. Aku sedikit gelisah. Namun, sebisa mungkin aku menghibur diri agar tak berpikiran buruk tentang apa yang terjadi.

Tiba-tiba budheku mendatangi rumah kami. Beliau pun ikut panik. Kabarnya kakak sepupuku meminta bantuan untuk melabrak seseorang di rumahnya. Seseorang yang berbeda dari penyewa atau orang yang tadi diikuti Mas Fajar.

Banyak orang berpakaian preman di sekitar rumah orang yang mana terdapat mobil kami terparkir di sana. Kata budheku, berdasarkan pesan yang ia terima di lokasi itu terdapat salah seorang dari mereka membawa senjata tajam.

Mendapat kabar seperti itu membuat kami sekeluarga panik dan khawatir.

"Aku akan menyusul ke sana," ucap Bapakku tiba-tiba.

Aku menoleh ke arah pahlawanku itu. Beliau rela melakukan apa saja demi kebahagiaan putrinya yang kini tengah khawatir dengan suaminya.

"Bawa teman-teman Afandi. Kita kerahkan semua orang. Orang-orang mereka pasti akan takut," ujar Bapak kepada budheku.

Kami pun menyusun strategi sebelum berangkat ke lokasi.

Mas Fajar tak memberikan kabar apapun setelah beberapa jam berlalu. Apa terjadi sesuatu?

Ingin rasanya aku menyusul ke tempat itu. Tapi aku takut akan merusak rencana yang telah tersusun. Aku memainkan ponselku, berharap ada kabar dari mereka yang mengupayakan mobil kami agar bisa kembali.

Fajar sudah kusuruh pulang bawa mobilku. Apa sudah ada di sana?

Sebuah pesan dari kakak sepupuku kuterima.

Mas Fajar tak memberi kabar apapun dan masih belum tiba. Akhirnya aku jawab sesuai keadaan sebenarnya.

Ponselku berdering. Mas Afandi menghubungikusaat aku hendak membalas pesannya.

"Sebentar lagi dia pasti akan tiba. Bersama dengan salah seorang temanku. Minta penjagaan ketat juga di sana. Tadi ada yang mengikuti suamimu saat suamimu membawa mobilku pulang," ucap Mas Afandi langsung pada intinya.

Aku menyampaikan pesan kepada teman Mas Afandi yang lain yang dia mintai tolong untuk menjaga sekitar rumah kami.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil putih tampak dari kejauhan. Kendaraan roda empat itu datang dari arah selatan. Hal itu menimbulkan banyak tanda tanya di kepala kami. Tak hanya itu, mobil yang dikemudikan oleh Mas Fajar itu melaju cukup kencang.

"Ada yang mengikuti kami," ucapnya singkat sebelum memarkirkan kendaraan di garasi mobil.

Kami bergegas menutup pintu garasi rumah usai Mas Fajar memasukkan mobil ke dalam garasi rumah kami.

Aku menunggu mas Fajar turun dari mobil dan memberikan penjelasan kepada kami.

"Tadi ada yang mengikuti kami. Saat kami lihat dari spion mobil, beberapa dari mereka membawa benda tajam."

"Beberapa? memangnya ada berapa orang yang mengejar?" tanyaku penasaran.

"Lima pemotor. Masing-masing dari mereka berboncengan mengejar kami dari rumah orang itu hingga daerah sumber mata air di selatan itu," ungkap Mas Fajar menjelaskan.

"Lalu bagaimana kalian bisa lolos?"

"Kami melajukan mobil tanpa menghidupkan lampu mobil," ujar teman Mas Afandi menjelaskan.

***

"Maaf ya, Yang. Ternyata benar. Selama ini aku salah. Maaf karena tak mendengar perkataan mu," ujar Mas Fajar sembari mendekap ku.

Aku bisa mendengar detak jantungnya yang masih berdetak cukup keras. Namun, aku hanya diam saja tak membalas.

"Aku sebenarnya mendapat kabar lain juga."

"Apa itu?"

"Setelah aku cari tahu, ternyata Bu Endang sering menggelapkan mobil yang dia sewa. Tak hanya itu, dia juga sering melakukan hal serupa dengan sepeda dan motor orang yang ia pinjam dari rumah sakit."

Aku terperanjat mendengar penuturan Mas Fajar itu.

"Apa Bapak tahu? Mas Afandi tahu? Kamu sudah memberi tahu?" selidik ku.

"Tidak. Aku takut mereka akan semakin memakiku," ujar Mas Fajar merasa bersalah.

"Ya, kamu harus terima, Mas. Karena kamu salah. Jangan ada yang kamu tutupi. Kamu beritahu semua yang kamu tahu secara jujur supaya bisa membantu mereka yang berjuang agar mobil kembali."

Aku kesal dengan penuturan Mas Fajar. Kenapa dia selalu berubah menjadi penakut seperti ini? Kenapa dia pengecut sekali?

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa lagi yang kamu tutupi?!!"