"ada apa? Kenapa aku ngga boleh sampai tahu?" tanyaku penuh selidik.Bisa kulihat dengan jelas dua perempuan di hadapanku saling sikut, memberi kode yang hanya mereka pahami maksudnya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanyaku lagi.Kulihat Shakila menarik napas panjang sebelum menghempaskannya dengan kasar. Dia lantas meraih tanganku yang kebetulan ada di atas meja."Tadinya kami mau memberi kejutan untuk ulangtahunmu. Tapi karena kamu lebih dulu tahu, kami merasa gagal," ucap Shakila dengan raut wajah sedihnya. Begitu pula dengan Rania yang mengangguk dan memasang wajah sedih."Jadinya gagal deh ngasih kamu kejutan ulangtahun," ucap Rania yang kini angkat suara.Aku mengerjap sesaat. Mengingat-ingat kembali kalau memang ulang tahunku tak lama lagi akan tiba. Aku sendiri sudah lupa. Sementara dua orang di hadapanku mengingatnya."Ya udah, aku pura-pura ngga tau aja, deh!" ucapku bercanda.Mereka kompak berdecak. "Mana bisa gitu!" sahut Rania dan Shakila hampir bersamaan. Dan kami pun
“Yang, Shakila sama Rania mau mampir. Kamu siap-siap ya,” ucap suamiku sore itu.Aku mengernyit bingung. Kenapa Shakila dan Rania menghubungi suamiku? Bukan menghubungiku ke ponselku?“Baik, Mas.” Hanya itu jawaban yang bisa ku lontarkan.Biasanya kalau dua orang temanku itu berkunjung saat sore hari, mereka pasti akan menginap. Dan suamiku sudah paham akan hal itu.Hanya saja aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dengan suamiku. Dia merasa bahagia meski nantinya ia harus mengurus anak kami. Tak seperti hari biasanya saat aku meminta tolong untuk menjaga anak kami sebentar.Belum terlalu sore, seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang ke rumah kami. Wanita itu mengutarakan niatnya untuk menyewa mobil kami, tanpa sopir.“Nanti anak saya yang akan menjadi sopirnya, Pak. Saya mau sewa empat hari karena mau iring-iringan pengantin ke Blitar,” ucap wanita itu.“Oh, begitu. Baik, Bu. Bisa. Nanti hari Minggu siang, mobilnya harus kembali ke sini ya. Kebetulan banget soalnya, sopirnya ada ac
“Sudah bangun, Ki?” sapa ku kepada wanita itu sembari tersenyum.“Em.” Dia menganggukkan kepalanya.“Kamu mau masak?” tanyanya kemudian.“Iya-““Aku bantuin, ya?” tawarnya.Aku mengangguk. Tak ada salahnya kalau aku menggunakan tenaga ya, bukan?Meskipun aku sanggup memasak dalam porsi banyak, bukankah itu hal bagus kalau ada yang membantu? Lebih efisien dan lebih ringan.***Kami berdua memasak banyak menu. Aku yakin makanan yang terhidang itu akan habis. Karena yang akan menghabiskan sarapan pagi itu bertambah dua orang. Belum lagi dua wanita itu akan lebih banyak menghabiskan sayur dan makanan yang mengandung protein. Mereka sedikit makan nasi. Tak sepertiku.Aku yang masih belum menyapih putriku, sering kali merasa lapar. Kalau tak mengonsumsi nasi, rasa lapar masih selalu menghampiri. Tak heran kalau bentuk tubuhku tak seperti dulu lagi.Berat badanku yang sebelumnya hanya empat puluh lima kilo, kini bertambah menjadi lima puluh tujuh kilo. Lengan dan kaki yang membengkak dan per
"Siapa dia? Mengapa jam segini mengirim pesan ke nomor Mas Fajar? Tapi, mengapa tidak ada riwayat chatnya?"Dadaku bergemuruh setelah melihat pesan yang tak biasa. Sebisa mungkin aku berusaha menetralkan emosi yang rasanya hendak meledak ini. Ku kembalikan ponsel suamiku di tempat sebelumnya agar suamiku tak tahu bahwa aku mengecek ponselnya. Ku coba memejamkan kedua mataku, berharap setelah ini aku bisa terlelap ke alam mimpi. Susah! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ibadah di sepertiga malam yang sudah hampir usai karena mendekati waktu subuh. Ku adukan semuanya kepada Sang Pencipta. Aku meyakini bahwa Tuhanku akan mengabulkan doa makhluknya yang benar-benar meminta dan ikhlas. Usai salat malam, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Perlahan tapi pasti, perasaan resah yang sebelumnya menggelayuti, kini telah pergi. Hingga aku terpejam dan kembali ke alam mimpi. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku terbangun di sekitar jam itu, kadang pukul em
"Bagaimana, Mas?"Mas Fajar terdiam. Ia tampak berpikir tentang jawaban dari pertanyaan ku.Aku hanya berjaga-jaga agar hal itu tak terulang lagi. Orang lain mungkin berpikir bahwa aku terlalu posesif.Tidak!Aku bukan orang picik yang memaksa hati orang lain untukku. Kalau pun ia benar memiliki perasaan dengan orang lain, aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya. Sehingga hati ini bisa siap menerima kenyataan yang mau tak mau harus ku hadapi di depan mata.Lebih baik mengetahui dan mempersiapkan diri di awal daripada sakit hati belakangan, bukan?"Aku hanya bisa berjanji bahwa aku tak akan mengulangi yang sama," ujar Mas Fajar menjawab pertanyaan ku."Apa yang akan menjadi jaminan bahwa kamu akan memegang perkataan mu?""Aku tak bisa menjamin apa-apa. Tapi aku berjanji kalau kamu tak akan pernah mendapati aku berbalas pesan seperti itu lagi di kemudian hari." Mas Fajar berjanji.Aku terdiam, meski merasa tak puas dengan jawabannya aku rasa jawaban pria yang seatap denganku itu
Panik? Pasti.Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopanSaya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?"Lacak GPS!"aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk
"Apa yang kalian bicarakan? Ada apa lagi?" Suara Bapak membuat kami menoleh. Tidak tahu sejak kapan Bapak di sana dan mendengar pembicaraan kami berdua."Katakan! Apa lagi yang masih kamu sembunyikan?" desak Bapak kepada Mas Fajar."E … em … tidak ada, Pak," sahut Mas Fajar spontan.Aku yakin dia saat ini tidak menjawab dengan jujur."Ya sudah. Nanti Bapak mau tanya sesuatu. Sekarang subuhan dulu," ucap Bapak berlalu menuju masjid tak jauh dari rumah kami.***Seperti yang sudah Bapak katakan saat subuh tadi, beliau memanggil Mas Fajar. Mereka duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. Dan di sana hanya mereka berdua.Aku mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan bapakku kepada Mas Fajar. Mendengar jawaban suamiku itu, aku merasa kecewa karena Mas Fajar tidak berbicara jujur dan menutupi kenyataan yang ada."Bapak mendengar dari orang lain kalau kamu dekat dengan seorang wanita. Benar begitu?"Mas Fajar terlihat salah tingkah. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana dia menyemb
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Mas Fajar hendak ke bengkel hari ini? Apa mereka ada janji? Dia sebenarnya siapa?" Aku bergumam pada diri sendiri seraya memegang benda pipih milik Mas Fajar yang terkunci.Khawatir Mas Fajar membutuhkan ponselnya, aku berniat untuk mengantar benda itu kepada pemiliknya. Hanya saja saat aku melewati teras, aku berpikir, dengan apa aku menyusul Mas Fajar? Motorku 'kan dibawa dia ke bengkel.Rasanya aku ingin mengutuk diri sendiri yang sedikit sulit berpikir cepat karena kejadian sebelumnya. Aku masih merasa masalah itu belum sepenuhnya selesai.Saat hendak berbalik, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku pikir orang lain, ternyata itu Mas Fajar yang kembali pulang. Sudah bisa aku tebak apa yang hendak dia ambil karena terlupa."Yang, ponsel," ucapnya saat melihatku berdiri di teras.Aku pun mengangguk dan berjalan menghampirinya. Benda pipih yang dia maksud masih ada di tanganku. Setelahnya, dia pamit kembali ke tujuan semula.Setelah kepe
"ada apa? Kenapa aku ngga boleh sampai tahu?" tanyaku penuh selidik.Bisa kulihat dengan jelas dua perempuan di hadapanku saling sikut, memberi kode yang hanya mereka pahami maksudnya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanyaku lagi.Kulihat Shakila menarik napas panjang sebelum menghempaskannya dengan kasar. Dia lantas meraih tanganku yang kebetulan ada di atas meja."Tadinya kami mau memberi kejutan untuk ulangtahunmu. Tapi karena kamu lebih dulu tahu, kami merasa gagal," ucap Shakila dengan raut wajah sedihnya. Begitu pula dengan Rania yang mengangguk dan memasang wajah sedih."Jadinya gagal deh ngasih kamu kejutan ulangtahun," ucap Rania yang kini angkat suara.Aku mengerjap sesaat. Mengingat-ingat kembali kalau memang ulang tahunku tak lama lagi akan tiba. Aku sendiri sudah lupa. Sementara dua orang di hadapanku mengingatnya."Ya udah, aku pura-pura ngga tau aja, deh!" ucapku bercanda.Mereka kompak berdecak. "Mana bisa gitu!" sahut Rania dan Shakila hampir bersamaan. Dan kami pun
"Mendong Mbak lihat dulu deh, siapa orangnya. Barangkali Mbaknya tahu," ucap pemilik bengkel yang masih menatap iba ke arahku.Ya, aku yakin dia merasa kasihan kepadaku. Apalagi karena kejadian ini, dia tahu kalau aku mendapat pengkhianatan dari suamiku."Ngga usah kayaknya mending enak langsung dilabrak aja," sahutku datar."Iya, Mbak. Laki-laki ngga setia gitu mah cemen. Masa beraninya sembunyi-sembunyi dari istri. Aku kalau udah nikah, ngga bakal istriku aku duain gitu," timpal pekerja bengkel yang menangani motorku mengompori."Emang kamu udah ada istri, Jo?" tanya sang pemilik bengkel."Hehe, belum bos. Masih nyari. Maaf, Bos. Maaf, Mbak. Abisnya kesel. Dia udah punya istri cantik gini malah nyari cewek baru. Saya aja nyari satu susah dapat. Padahal nih, Mbak, wajah suami Mbaknya itu biasa aja, pas-pasan. Lebih ganteng Pak Bos-"Ucapan pria yang tangan dan pakaian kerjanya lebih banyak noda hitam itu terhenti saat pria berkacamata di dekatku berdeham cukup keras. Tanpa sadar aku
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Mas Fajar hendak ke bengkel hari ini? Apa mereka ada janji? Dia sebenarnya siapa?" Aku bergumam pada diri sendiri seraya memegang benda pipih milik Mas Fajar yang terkunci.Khawatir Mas Fajar membutuhkan ponselnya, aku berniat untuk mengantar benda itu kepada pemiliknya. Hanya saja saat aku melewati teras, aku berpikir, dengan apa aku menyusul Mas Fajar? Motorku 'kan dibawa dia ke bengkel.Rasanya aku ingin mengutuk diri sendiri yang sedikit sulit berpikir cepat karena kejadian sebelumnya. Aku masih merasa masalah itu belum sepenuhnya selesai.Saat hendak berbalik, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku pikir orang lain, ternyata itu Mas Fajar yang kembali pulang. Sudah bisa aku tebak apa yang hendak dia ambil karena terlupa."Yang, ponsel," ucapnya saat melihatku berdiri di teras.Aku pun mengangguk dan berjalan menghampirinya. Benda pipih yang dia maksud masih ada di tanganku. Setelahnya, dia pamit kembali ke tujuan semula.Setelah kepe
"Apa yang kalian bicarakan? Ada apa lagi?" Suara Bapak membuat kami menoleh. Tidak tahu sejak kapan Bapak di sana dan mendengar pembicaraan kami berdua."Katakan! Apa lagi yang masih kamu sembunyikan?" desak Bapak kepada Mas Fajar."E … em … tidak ada, Pak," sahut Mas Fajar spontan.Aku yakin dia saat ini tidak menjawab dengan jujur."Ya sudah. Nanti Bapak mau tanya sesuatu. Sekarang subuhan dulu," ucap Bapak berlalu menuju masjid tak jauh dari rumah kami.***Seperti yang sudah Bapak katakan saat subuh tadi, beliau memanggil Mas Fajar. Mereka duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. Dan di sana hanya mereka berdua.Aku mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan bapakku kepada Mas Fajar. Mendengar jawaban suamiku itu, aku merasa kecewa karena Mas Fajar tidak berbicara jujur dan menutupi kenyataan yang ada."Bapak mendengar dari orang lain kalau kamu dekat dengan seorang wanita. Benar begitu?"Mas Fajar terlihat salah tingkah. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana dia menyemb
Panik? Pasti.Tapi aku berusaha agar tak terlalu menunjukkan bahwa pikiranku sedang tak karuan. Aku berusaha bersikap tenang, meminta nomor penyewa itu kepada Mas Fajar dan menanyai keberadaannya terlebih dahulu.Saya ada di Blitar, Mbak. Maaf belum bisa pulang sore ini soalnya hujan.Begitulah tulisan dalam aplikasi perpesanan berwarna hijau itu.Aku membalas pesan wanita itu dengan kalimat sopanSaya mau telepon, Bu. Mohon dijawab.Aku pun menekan tombol gagang telepon di bagian pojok kanan atas melalui aplikasi yang sama.Terdengar suara panggilan yang tersambung. Namun, tak ada jawaban dari orang yang bernama Endang itu.Tiba-tiba sebuah pesan chat yang masih dari aplikasi berwarna hijau itu diterima.Endang: Maaf, Mbak teleponnya gak bisa saya terima. Soalnya di sini hujan berpetir.Aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah di sini. Apa kaitannya tak bisa pulang karena hujan dengan mobil?"Lacak GPS!"aku mengirim pesan suara kepada Mas Fajar dan saudara-saudaraku untuk
"Bagaimana, Mas?"Mas Fajar terdiam. Ia tampak berpikir tentang jawaban dari pertanyaan ku.Aku hanya berjaga-jaga agar hal itu tak terulang lagi. Orang lain mungkin berpikir bahwa aku terlalu posesif.Tidak!Aku bukan orang picik yang memaksa hati orang lain untukku. Kalau pun ia benar memiliki perasaan dengan orang lain, aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya. Sehingga hati ini bisa siap menerima kenyataan yang mau tak mau harus ku hadapi di depan mata.Lebih baik mengetahui dan mempersiapkan diri di awal daripada sakit hati belakangan, bukan?"Aku hanya bisa berjanji bahwa aku tak akan mengulangi yang sama," ujar Mas Fajar menjawab pertanyaan ku."Apa yang akan menjadi jaminan bahwa kamu akan memegang perkataan mu?""Aku tak bisa menjamin apa-apa. Tapi aku berjanji kalau kamu tak akan pernah mendapati aku berbalas pesan seperti itu lagi di kemudian hari." Mas Fajar berjanji.Aku terdiam, meski merasa tak puas dengan jawabannya aku rasa jawaban pria yang seatap denganku itu
"Siapa dia? Mengapa jam segini mengirim pesan ke nomor Mas Fajar? Tapi, mengapa tidak ada riwayat chatnya?"Dadaku bergemuruh setelah melihat pesan yang tak biasa. Sebisa mungkin aku berusaha menetralkan emosi yang rasanya hendak meledak ini. Ku kembalikan ponsel suamiku di tempat sebelumnya agar suamiku tak tahu bahwa aku mengecek ponselnya. Ku coba memejamkan kedua mataku, berharap setelah ini aku bisa terlelap ke alam mimpi. Susah! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ibadah di sepertiga malam yang sudah hampir usai karena mendekati waktu subuh. Ku adukan semuanya kepada Sang Pencipta. Aku meyakini bahwa Tuhanku akan mengabulkan doa makhluknya yang benar-benar meminta dan ikhlas. Usai salat malam, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Perlahan tapi pasti, perasaan resah yang sebelumnya menggelayuti, kini telah pergi. Hingga aku terpejam dan kembali ke alam mimpi. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku terbangun di sekitar jam itu, kadang pukul em
“Sudah bangun, Ki?” sapa ku kepada wanita itu sembari tersenyum.“Em.” Dia menganggukkan kepalanya.“Kamu mau masak?” tanyanya kemudian.“Iya-““Aku bantuin, ya?” tawarnya.Aku mengangguk. Tak ada salahnya kalau aku menggunakan tenaga ya, bukan?Meskipun aku sanggup memasak dalam porsi banyak, bukankah itu hal bagus kalau ada yang membantu? Lebih efisien dan lebih ringan.***Kami berdua memasak banyak menu. Aku yakin makanan yang terhidang itu akan habis. Karena yang akan menghabiskan sarapan pagi itu bertambah dua orang. Belum lagi dua wanita itu akan lebih banyak menghabiskan sayur dan makanan yang mengandung protein. Mereka sedikit makan nasi. Tak sepertiku.Aku yang masih belum menyapih putriku, sering kali merasa lapar. Kalau tak mengonsumsi nasi, rasa lapar masih selalu menghampiri. Tak heran kalau bentuk tubuhku tak seperti dulu lagi.Berat badanku yang sebelumnya hanya empat puluh lima kilo, kini bertambah menjadi lima puluh tujuh kilo. Lengan dan kaki yang membengkak dan per
“Yang, Shakila sama Rania mau mampir. Kamu siap-siap ya,” ucap suamiku sore itu.Aku mengernyit bingung. Kenapa Shakila dan Rania menghubungi suamiku? Bukan menghubungiku ke ponselku?“Baik, Mas.” Hanya itu jawaban yang bisa ku lontarkan.Biasanya kalau dua orang temanku itu berkunjung saat sore hari, mereka pasti akan menginap. Dan suamiku sudah paham akan hal itu.Hanya saja aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dengan suamiku. Dia merasa bahagia meski nantinya ia harus mengurus anak kami. Tak seperti hari biasanya saat aku meminta tolong untuk menjaga anak kami sebentar.Belum terlalu sore, seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang ke rumah kami. Wanita itu mengutarakan niatnya untuk menyewa mobil kami, tanpa sopir.“Nanti anak saya yang akan menjadi sopirnya, Pak. Saya mau sewa empat hari karena mau iring-iringan pengantin ke Blitar,” ucap wanita itu.“Oh, begitu. Baik, Bu. Bisa. Nanti hari Minggu siang, mobilnya harus kembali ke sini ya. Kebetulan banget soalnya, sopirnya ada ac