Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan.
Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa. Tangan kirinya berlumuran darah segar, jejak gigitan tajam Zombie terlihat jelas di kulitnya. "Sayang!" seru pria gagah itu, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah. Ia berbalik seketika, senjatanya terus menyalak membantai Zombie yang mendekat. Namun kini fokusnya satu: melindungi wanita yang dicintainya. Dengan tangan yang gemetar namun penuh keteguhan, ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Satu tangan memeluk erat, melindungi tubuh rapuh wanita itu, sementara tangan lainnya terus memuntahkan peluru ke arah para Zombie. Wanita itu terisak dalam pelukannya, air mata bercampur darah membasahi wajahnya. Dengan suara yang bergetar penuh penyesalan, ia berbisik, "Hiks... Maafkan aku... Aku terlalu ceroboh... Aku membuat semuanya—" "Itu tidak penting!" potong pria itu tegas, meski suaranya terdengar serak, hampir pecah oleh emosi. "Aku akan tetap bersamamu... bahkan jika kau menjadi Zombie sekalipun!" Mata mereka bertemu. Dalam tatapan pria itu, ada ketakutan, kepedihan, dan cinta yang tak tergoyahkan. Ia mengangkat tubuh wanita itu, darah mengalir deras dari luka di tangannya. Namun ia tak peduli. Dengan nafas terengah, ia berseru, "Kita pergi dari sini!" Langkahnya mantap, meski bahaya mengepung dari segala arah. Wanita itu, meski terluka, tak mampu menahan air matanya. Di dalam pelukan pria itu, ia menemukan perlindungan, cinta, dan keberanian yang tak tergoyahkan. Mereka berlari menerobos kawanan Zombie, suara tembakan dan jeritan terus mengiringi langkah mereka. Namun satu hal jelas di tengah kegelapan ini: pria itu takkan menyerah, bahkan di hadapan maut sekalipun. "Ayo cepat!" seru seorang gadis yang tengah berbaring santai di atas ranjang, jari-jarinya lincah menyentuh layar ponsel. Mata gadis itu berbinar penuh antusias, terpaku pada adegan dalam game yang sedang ia mainkan. Dunia di sekitarnya seolah memudar, digantikan oleh dunia virtual yang penuh aksi dan emosi. "Kakak Ara! Tolong belikan beras!" Teriakan nyaring itu datang dari arah dapur, suara seorang wanita paruh baya yang memekik begitu keras hingga bisa jadi satu RW mendengarnya. Teriakan itu menghancurkan gelembung indah yang melingkupi gadis di atas ranjang. Dunia fantasi yang begitu nyata di layar ponselnya pun seketika runtuh. "Tidaaaakkk!" Gadis itu, Arabella—yang akrab disapa Ara—melengking penuh kekecewaan. Ia memelototi layar ponselnya dengan tatapan pilu, seakan memohon agar game itu tidak meninggalkannya. Namun, ia tahu dunia game favoritnya harus ditinggalkan. Untuk sementara. Dengan gerakan malas, Ara berguling dari ranjangnya. Matanya memutar, ekspresi wajahnya menggambarkan seseorang yang baru saja kehilangan harta paling berharganya. Sambil bergumam, ia berkata lirih, "Merepotkan..." Ya, itu tadi hanyalah sebuah game. Sebuah dunia maya yang dikuasai oleh aksi dan romansa bernama Love and Zombie atau sering disebut L.Z.. Game ini adalah genre otome action, sebuah inovasi langka dari developer Another World Universe (A.W.U.), yang biasanya hanya memproduksi game untuk pasar pria. Namun kali ini, mereka menciptakan sesuatu yang berbeda: sebuah permainan yang memadukan romansa dan aksi melawan Zombie, khusus untuk para gadis. Ara, gadis 20 tahun yang menjadikan game ini dunianya, berdiri malas. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, ia disambut oleh dua anak kecil—kedua adik kandungnya, usianya mungkin lima dan sepuluh tahun. Wajah mereka penuh harap, mata mereka berbinar seperti telah menemukan harta karun. "Pinjam HP, Kak!" seru mereka serempak, tanpa basa-basi. Ara menatap mereka dengan tatapan datar, campuran lelah dan pasrah. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkan ponselnya, mengorbankan aksesnya ke dunia L.Z. untuk dua anak kecil itu. Gerakannya begitu lamban, seolah ponsel itu adalah sesuatu yang sangat berharga yang harus ia relakan dengan terpaksa. Di dalam kepalanya, ia hanya bisa menggerutu, "Kenapa hidupku penuh gangguan..." "Huft... Benar-benar menyebalkan! Padahal aku sedang seru-serunya bermain game," gumam Ara dengan nada kesal. Langkahnya malas menyusuri jalanan kecil, sendirian, hanya ditemani desiran angin yang menerpa wajahnya. Ia menendang-nendang batu kecil di dekat kakinya, seolah batu itu adalah pelampiasan rasa frustrasinya. Sambil terus berjalan, Ara menengadah, menatap langit biru yang cerah. "Kan bagus kalau dunia ini diserang virus Zombie," katanya pelan, senyumnya kecil tapi penuh imajinasi. "Aku bisa hidup damai berdua bersama pria tampan... seperti di game." Ia berhenti sejenak, membiarkan angannya melayang ke dunia idealnya, sebelum menggeleng kecil dan bergumam, "Tentu saja itu tidak mungkin." Namun, momen damai itu tak bertahan lama. "Rrrawwr!" Sebuah suara aneh memecah kesunyian di belakangnya. Suara yang berat, serak, dan tidak seperti manusia. Seketika tubuh Ara menegang, rasa ngeri menjalar ke seluruh tubuhnya. Perlahan, ia menoleh ke belakang, rasa penasaran bercampur ketakutan menahan napasnya. Dan di sanalah ia melihatnya. Sosok manusia yang tak lagi bisa disebut manusia. Kulitnya hijau keabu-abuan, berlumuran darah kering dan segar, dengan mata kosong yang menatap tajam seperti binatang buas. Geramannya membuat bulu kuduk Ara berdiri. "Zombie!" Jeritan Ara menggema di udara, penuh ketakutan. Jantungnya berdetak kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Tubuhnya gemetar, tapi naluri bertahan hidup memaksanya untuk segera mengambil langkah pertama: melarikan diri.Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.